Trio Muller Punya Putusan PK, Tapi Warga Dago Elos Punya Pengadilan Rakyat

Trio Muller Punya Putusan PK, Tapi Warga Dago Elos Punya Pengadilan Rakyat

Pengadilan Rakyat Dago Elos
Dewan Hakim Pengadilan Rakyat Dago Elos dan warga melakukan foto bersama (Diakronik)

Dalam usahanya melawan perampasan tanah yang dilakukan oleh Muller Bersaudara, warga Dago Elos, Bandung, Jawa Barat, menggelar Pengadilan Rakyat. Hal ini dilakukan untuk merespon kejanggalan dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung (MA) pada 2022 silam.

Putusan PK yang dikabulkan MA itu diajukan oleh Heri Hermawan Muller, Dodi Rustandi Muller, dan Pipin Sandepi Muller, serta Jo Budi Hartanto. Melalui putusan nomor 109/PK/Pdt/2022 ini, MA menyatakan bahwa Trio Muller dan Jo Budi Hartanto berhak atas kepemilikan objek tanah seluas 6,3 hektare.

Putusan ini lantas membuat warga Dago Elos ketar-ketir. Pasalnya, putusan itu otomatis membatalkan putusan tingkat kasasi yang menyatakan bahwa warga Dago Elos berhak atas tanah yang dimilikinya saat ini.

Namun, dikabulkannya PK tersebut tak membuat perjuangan warga Dago Elos terhenti. Melalui Pengadilan Rakyat yang digelar di Balai Warga RW 02 Dago Elos pada Selasa (21/5/2024), ada 11 warga yang secara bergantian membacakan laporannya. Laporan itu berkaitan dengan kejanggalan alat bukti yang digunakan oleh Trio Muller serta kesesatan hakim dalam memberikan pertimbangan hukum dalam proses persidangan PK di MA.

“Penyelenggaraan Pengadilan Rakyat ini berangkat dari keresahan warga Dago Elos atas kejanggalan putusan Peninjauan Kembali yang berupaya merenggut hak atas tanah warga,” tulis Dago Melawan dalam rilis pers yang disebarkan, Selasa (21/5/2024).

Laporan yang dibacakan warga dalam persidangan tersebut berasal dari pendalaman fakta yang telah dikumpulkan warga. Salah satu poin yang disampaikan adalah tidak validnya posisi Keluarga Muller sebagai kerabat dari Ratu Wilhelmina Belanda dan sekaligus ditugaskan di Indonesia.

Diketahui, Muller Bersaudara dalam gugatannya menyebut warga Dago Elos telah mendiami secara ilegal tanah seluas 6,3 hektare milik kakek dari Muller Bersaudara bernama George Hendrik Muller, seorang Belanda yang mengaku sebagai Kerabat Ratu Wilhelmina yang ditugaskan di Hindia-Belanda.

“Kebohongan tersebut dituangkan dalam dokumen penetapan ahli waris yang didalamnya juga memalsukan kedudukan ahli waris yang benar,” tulis Dago Melawan.

“Kejanggalan lainnya yang disampaikan oleh warga adalah tentang banyaknya kesesatan hakim dalam memberikan pertimbangan dan putusan dalam pengadilan tingkat pertama sampai dengan tingkat PK,” sambungnya.

Laporan yang dibacakan warga tersebut kemudian diperiksa dan dipertimbangan kembali oleh Dewan Hakim Pengadilan Rakyat yang terdiri dari para praktisi dan akademisi hukum. Dewan Hakim diketuai oleh Siti Rakhma Mary, S.H., sementara anggota Dewan Hakim lainnya adalah Asfinawati, S.H.; Alghiffari Aqsa, S.H.; Bivitri Susanti, S.H., LL.M; dan Dr. Yance Arizona, S.H., M.H., M.A,.


Pentingnya Pengadilan Rakyat Dago Elos

Di Indonesia, istilah Pengadilan Rakyat populer saat agenda International People’s Tribunal 1965 (IPT 65) yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda, pada 2015. Pengadilan Rakyat tersebut digelar oleh kelompok masyarakat sipil dengan tujuan merespon kasus kekerasan dan genosida 1965 yang pernah terjadi di Indonesia dan tidak lekas diselesaikan oleh pemerintah.

Bivitri Susanti, salah satu anggota Dewan Hakim Pengadilan Rakyat Dago Elos menjelaskan bahwa Pengadilan Rakyat, dalam diskursus hukum, merupakan upaya yang digagas di luar mekanisme hukum formal. Prosesnya berbeda dengan pengadilan formal yang memiliki putusan dengan sifat mengikat.

Kendati demikian, ia menyebut Pengadilan Rakyat memiliki esensi penting bagi warga Dago Elos.

“Esensinya bagi warga tentu saja untuk mencari keadilan yang substantif. Sebab, kami melihat bahwa pengadilan formal belum bisa memberikan keadilan yang seadil-adilnya,” ujar Bivitri dalam jumpa pers usai Pengadilan Rakyat Dago Elos.

Pengadilan Rakyat Dago Elos
Dewan Hakim Pengadilan Rakyat Dago Elos mendengarkan laporan yang dibacakan oleh warga, Selasa (21/5/2024)/Diakronik

Sementara itu, Asfinawati yang juga anggota Dewan Hakim Rakyat, mengatakan bahwa Pengadilan Rakyat ini merupakan upaya pengungkapan kebenaran bagi warga Dago Elos. Menurutnya, selama ini ada banyak pengetahuan di masyarakat yang tidak terakomodir dalam proses hukum yang terbilang kejam.

“Itu dikarenakan berbagai aturan yang ada hanya bisa dipahami oleh orang-orang tertentu,” ujar mantan Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu.

Lebih lanjut, Asfinawati menjelaskan bahwa Hakim memang memiliki peran penting dalam berjalannya Pengadilan Rakyat ini. Namun, lanjutnya, keberadaan warga yang terus bertahan dan berjuang juga tak kalah krusial.

Oleh karena itu, Asfinawati menyebut Pengadilan Rakyat ini juga merupakan bentuk apresiasi terhadap warga Dago Elos yang masih bertahan dan berjuang hingga saat ini.

“Kami para hakim hanya muncul di ujung. Tapi untuk para warga, tidak akan mungkin ada sidang ini tanpa ada warga yang bertahan,” ujar Asfinawati.


Pengadilan Rakyat sebagai Pengadilan Alternatif

Diselenggarakannya Pengadilan Rakyat oleh warga Dago Elos tentunya bukan tanpa sebab. Selain untuk merespon kejanggalan putusan PK, hal ini juga disebabkan karena ketidakadilan yang terus menerus dialami oleh para warga.

Ketua Dewan Hakim Pengadilan Rakyat, Siti Rakhma Mary, menyatakan bahwa kasus Dago Elos merupakan salah satu kasus mafia tanah terbesar yang terjadi saat ini. Kasus tersebut, lanjutnya, secara langsung memaksa warga untuk berhadap-hadapan dengan institusi negara yang memiliki kekuasaan.

“Ini bukan sekedar warga berhadapan dengan Muller dan teman-temannya. Tapi kita juga berhadapan dengan salah satu institusi yang terkuat, yaitu pengadilan–dari tingkat pertama sampai Mahkamah Agung,” tutur Rakhma.

Menurut Rakhma, berbagai institusi tersebut telah menjadi perpanjangan tangan bagi para mafia tanah untuk merampas tanah warga Dago Elos. Pasalnya, berbagai institusi tersebut tetap memfasilitasi kasus dengan alat bukti yang palsu dan alas hak kepemilikan yang sebenarnya sudah tidak berlaku, yakni melalui sertifikat Eigendom Verponding.

Pengadilan Rakyat Dago Elos
Salah satu warga selaku pelapor membacakan laporannya, Selasa (21/5/2024)/Diakronik

Merespon hal itu, Yance Arizona menjelaskan bahwa penggunaan alas hak kepemilikan zaman kolonial untuk mengklaim hak kepemilikan tanah merupakan penyimpangan terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Sebab, peraturan tersebut sudah menentukan bahwa hak-hak barat harus dikonversi menjadi hak atas tanah paling lambat 24 September 1980.

Apabila konversi dan peralihan hak itu tidak dilakukan, lanjut Yance, maka tanah tersebut statusnya menjadi tanah negara. Karena alasan itulah, menurutnya, Pengadilan Rakyat yang digelar ini sejatinya memiliki semangat antikolonial.

“Jadi sebenarnya Pengadilan Rakyat ini punya semangat antikolonialisme, untuk menunjukan bahwa sebenarnya praktik berhukum kita itu masih sangat kolonial hingga hari ini. Semangat itu yang ingin dibawa sebenarnya,” tegasnya.

Selain itu, di tengah sistem peradilan hukum yang carut marut, Pengadilan Rakyat bisa menjadi jalan alternatif dalam mencari keadilan. Berbagai hal yang dihasilkan dari Pengadilan Rakyat, menurut Yance, dapat digunakan untuk pembelajaran masyarakat sekaligus untuk menuntut akuntabilitas dari proses peradilan yang kacau.

Sementara itu, Alghiffari Aqsa, pengacara publik Amar Law Firm sekaligus anggota Dewan Hakim Rakyat, turut menyoroti legitimasi Pengadilan Rakyat sebagai sebuah mekanisme hukum non-formal. Baginya, meskipun peradilannya bersifat non formal, tapi berbagai dokumen dan fakta yang dihasilkan dapat digunakan untuk upaya hukum dan keberhasilan advokasi.

“Karena orang-orang yang terlibat dalam Pengadilan Rakyat ini memang orang-orang yang berkompeten di bidangnya. Jadi, pertimbangan atau dokumen yang dihasilkan juga berdasarkan pertimbangan profesional akademisi,” ujar mantan Direktur LBH Jakarta tersebut.

Senada dengan Alghiffari, berdasarkan aspek keilmuan, Bivitri Susanti meyakini bahwa para Dewan Hakim Pengadilan Rakyat dalam kasus Dago Elos memiliki legitimasi yang kuat. Ia juga menyebut keseriusan warga dalam membuktikan kebenarannya semakin menguatkan legitimasi Pengadilan Rakyat ini, meskipun hakim di dalam pengadilan formal seringkali tidak berpihak.

“Jadi saya ingin mendorong teman-teman untuk menguatkan legitimasi ini, dan kalau bisa Pengadilan Rakyat ini direplikasi di banyak tempat, supaya kita bisa buktikan bahwa hukum itu adalah soal keberpihakan pada orang-orang yang tidak punya akses,” pungkas Bivitri.

Editor: Hastomo Dwi Putra

ARTIKEL LAINNYA

Hari HAM Sedunia, Buruh Desak Pemerintah Ratifikasi Konvensi ILO 190
Diskusi BPJS PBI Buruh-Ojol Banten: Minimnya Informasi dan Akibat Status Kemitraan
Survei Komite Hidup Layak: 76% Rumah Tangga Buruh Terjerat Utang karena Politik Upah Murah
Aliansi Dobbrak Buruh-Ojol Advokasi BPJS PBI Serahkan Berkas Permohonan ke Dishub Banten 

Temukan Artikel Anda!