Tarian Dwifungsi Tidak Pernah Mati: Manipulasi Realitas lewat Otoritarianisme

Tarian Dwifungsi Tidak Pernah Mati: Manipulasi Realitas lewat Otoritarianisme

Dwifungsi
Massa aksi 'Tolak UU TNI' membentangkan spanduk protes di depan gerbang Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (27/3/2025).

“Kami menanyakan kepada seluruh anggota apakah Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, apakah dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?” tanya Ketua DPR RI, Puan Maharani sebelum pengesahan UU TNI (21/03/2025).

Pertanyaan itu menjadi sinyal bahwa kita sedang memasuki babak baru dalam pergaulan demokrasi yang kian jelimet. Hal ini dikarenakan pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) menjadi undang-undang. 

Penambahan langkah militer dalam UU TNI dibagi menjadi lima bagian, di antaranya ihwal kedudukan koordinasi TNI, penambahan bidang Operasi Militer Selain Perang (OMSP), penambahan jabatan sipil yang bisa diisi oleh prajurit TNI aktif, dan perpanjangan masa dinas keprajuritan atau batas usia pensiun.

Namun, yang menjadi kekhawatiran bukan hanya menyoal substansi dari penambahan kebijakan saja. Nyatanya, dari pengesahan UU TNI, nilai-nilai semangat agenda reformasi kian dibelokkan dari arah semestinya. Langkah ini menavigasi kembali samar-samar ingatan memilukan sejarah bangsa terkait wacana dwifungsi ABRI di tubuh rezim.

Perlu diperhatikan, awal kemunculan dari embrio dwifungsi ABRI lahir akibat kondisi politik negara yang tidak stabil. Artinya, dwifungsi lahir untuk mendinamiskan stabilitas politik.

Berkaca pada lintasan sejarah, pada 7 November 1955, pasca terpilih kembali menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Abdul Haris Nasution mengenalkan strategi politik bernama “Operasi Karya” dan “Kekaryaan”. Strategi tersebut menjadi langkah paling awal dibangkitkannya semangat dwifungsi dalam tubuh ABRI dan kancah politik nasional. 

Nasution menegaskan doktrin militer “Posisi TNI bukanlah sekedar alat sipil di negara-negara Barat dan bukan pula sebagai rezim militer yang memegang kekuasaan negara. Ia adalah suatu kekuatan sosial, kekuatan rakyat yang bahu-membahu dengan kekuatan rakyat lainnya,” (Tempo, 2021).

Hal ini menciptakan cabang baru dari gerak sejarah, di mana konflik berlatar kelompok elit pemerintahan marak terjadi. Misalnya, Angkatan Darat semakin memperlihatkan sikap permusuhannya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebab dari fenomena ini adalah Nasution yang nampak cemburu oleh Soekarno karena Angkatan Darat seolah menjadi anak tiri akibat muncul wacana persatuan politik Nasionalis, Agamis, dan Komunis (Nasakom) pada tahun 1956.

Seperti luka yang dibiarkan menganga, konflik politik semakin ditajamkan hingga terjadi peristiwa pembantaian pada 30 September 1965. Fenomena kelam ini diakibatkan Angkatan Darat memiliki legitimasi tindakan lewat Dekrit Presiden Nomor 371/1962 dengan dalih “pembangunan negara”. Sejarah mencatat, Angkatan Darat menang, sementara PKI hancur lebur. Namun, bukan berarti dwifungsi ikut selesai, malah semakin kencang pada rezim Orde Baru. 

Pada Pemilu pertama tahun 1971, ABRI merangkul Partai Golkar untuk memenangkan perebutan kursi legislatif. Secara gencar, dukungan ABRI tak absen. Izin kampanye partai, misalnya, bisa saja tak dikeluarkan karena alasan keamanan. ABRI tampak jelas memihak Golkar (Tempo, 2021). Partai Golkar yang baru seumur anak jagung memenangkan Pemilu di atas angin, sebanyak 62,80 persen kursi legislatif direbut pada tahun 1971.

Kemudian, dwifungsi ABRI semakin kuat posisinya. Praktik paling nyata dari dwifungsi ini dapat dilihat dari putaran Pemilu tahun 1982 dan 1987. Ketika tidak ada persaingan politik yang begitu tajam seperti pada medio 60-an, ABRI mulai mengendurkan ikat pinggang dengan mengurangi porsi kekuatan saat pemilu berlangsung. Posisi ini seakan membuat ABRI menjadi salah satu juru kunci atas perubahan tatanan elit politik nasional.

Selain merambah ke praktik elit kekuasaan, nyatanya, dwifungsi mendinamiskan kekerasan di masyarakat sipil dengan embel-embel menjaga pertahanan dan keamanan politik. Sebelum menjabat Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara, Letjen Ali Moertopo lebih dulu menjadi Asisten Pribadi Soeharto sejak 1968. Layaknya seorang Sengkuni dalam cerita Mahabarata, Ali menjadi dalang antagonis dibalik peristiwa besar yang melibatkan berbagai kelompok sipil. 

Ali meracik banyak siasat untuk menciptakan rasa bernama stabilitas dengan membentuk organisasi dan mendinamisasinya. Ali menamakan strategi ini dengan Operasi Khusus (Opsus). Salah satunya dengan mencetak mesin politik bernama partai Golkar pada 1969 (Tempo, 2021) hingga berkepentingan memenangkan partai tersebut di Pemilu legislatif 1971.

Tabiat Ali berlanjut dan menjadi faktor kunci dari kekerasan dalam peristiwa Malam Lima Belas Januari (Malari) pada 1974. Ali mengerahkan jaringan intel lepas, CSIS, dan sejumlah tokoh Gerakan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam (GUPPI)-56 organisasi bentukan Golkar untuk kepentingan Pemilihan Umum 1971. 

Tidak hanya itu, ia juga mengorganisir preman, tukang becak, dan bekas aktivis Darul lslam/ Tentara Islam Indonesia yang didatangkan dari Karawang, Jawa Barat. (Tempo, 2021). Hal ini dilakukan untuk memecah belah gerakan mahasiswa yang berusaha menolak investasi asing dari Jepang. 

Huru-hara besar di sejumlah daerah Jakarta menjadi tak terelakkan akibat peristiwa tersebut. Terhitung korban jiwa 11 orang, 17 luka berat, dan 120 luka ringan. Tidak hanya itu, kerugian material juga ada, seperti kerusakan 807 mobil, 187 sepeda motor, 144 gedung, dan sebanyak 775 masyarakat sipil tertahan.


Otoritarianisme, Sebuah Opsi Bentukan

Baik yang terjadi di masa lalu dan kini mengulang, manifestasi dari tatanan politik berjenis otoritarian melekat kuat bagi identitas Indonesia. Berkaca pada sejarah, sistem politik ini digunakan ketika negara tengah berusaha menavigasi perkembangan ekonomi. Sehingga, proteksi politik yang stabil dibutuhkan untuk menjaga relasi-relasi produksi.

Filsuf post-marxis asal Prancis, Louis Althusser dalam bukunya berjudul Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara (1969) mengklasifikasikan secara sistematis struktur kekuasaan yang turut melanggengkan nafas hidup dari sebuah negara. Bagi Althusser, terdapat dua komponen penting yang menjadi penyusun, yaitu Aparatus Ideologis Negara dan Aparatus Represi Negara.

Kedua komponen tersebut memiliki cara kerja yang berbeda. Aparatus Ideologis Negara mendisiplinkan masyarakat dengan ideologi. Sementara Aparatus Represi Negara, bekerja dengan cara-cara represif untuk mendisiplinkan masyarakat. Namun tetap, baginya negara hanya mesin represi yang melanggengkan kelas penguasa (Althusser, 2015).

Menariknya, dalam konteks dwifungsi, dua komponen antara ideologi dan represif tidak ada sekat pembeda. Melengos pada konteks kelahiran dwifungsi lewat doktrin militer yang dikeluarkan oleh Nasution pada 1955, militer berperan penting dalam membangun kekuatan rakyat lewat cara-cara ideologis untuk melawan kelompok politik lain. Selain itu, dwifungsi juga menawarkan ekspansi kekuatan di mana militer dapat mengisi pos-pos institusi ideologis, seperti partai politik, pemerintahan, hingga organisasi di tingkatan masyarakat akar rumput.

Ini menjadi sebuah tanda jika dwifungsi kembali diterapkan. Seolah memang otoritarianisme menjadi default option atau opsi bawaanyang dapat ditempuh (Syam dan Basri, 2023). Seperti yang dijelaskan oleh filsuf Jerman beraliran Mazhab Frankfurt, Herbert Marcuse, kini tatanan politik dirancang sedemikian rupa berjalan dalam satu dimensi yang hanya bertujuan untuk menjaga relasi-relasi produksi ekonomi.

Dalam buku yang ditulis oleh Guru Besar Filsafat Indonesia, Franz Magnis Suseno, berjudul Dari Mao ke Marcuse: Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin, Marcuse membelah realitas ke dalam dua dimensi. Pertama dimensi afirmatif terdiri atas semua unsur yang membenarkan dan mendukung sistem kekuasaan yang bersangkutan. Sedangkan dimensi negatif terdiri atas unsur-unsur yang menentang struktur-struktur masyarakat, misalnya karena mereka merasakan diri diperlakukan dengan tidak adil (Suseno, 2013).

Posisi dwifungsi berada pada dimensi afirmatif. Otoritarianisme nyatanya bukan opsi bawaan atau berjalan secara alamiah, namun turut dibentuk lewat pembenaran tindakan elit politik. Tentunya hal ini dilakukan untuk menyingkirkan dimensi negatif yang dinilai mengganggu pertahanan dan keamanan Indonesia.

Nilai-nilai otoritarianisme inilah yang menguasai sejarah perkembangan masyarakat kita. Realitas dinamis yang dijalankan oleh rakyat terus dimanipulasi oleh elit kekuasaan. Pemerintah di bangsa ini menjadikan kita sebagai domba-domba yang hanya disuruh menonton, mengikuti, dan mendukung megahnya alur drama politik kekuasaan.

Sekali lagi, otoritarianisme bukanlah opsi bawaan yang bisa disepakati dan harus dilawan seutuhnya. Mengutip UUD 1945, pemerintah perlu merefleksikan jika kedaulatan berada di tangan rakyat. Ditekankan, bukan malah di tangan ABRI.

Kini, nasib bangsa berada di tangan individu atau gerakan yang secara progresif dan disiplin melawan dengan praktik nyata. Sejarah yang telah berjalan bukan untuk menguasai pergaulan kehidupan kita hari ini. Bagaimanapun caranya dalam upaya demokratisasi kembali, realitas yang seharusnya dijalankan oleh rakyat perlu direbut kembali.


Referensi:

Pusat Data dan Analisa Tempo. (2021). Sejarah Militer Indonesia: Perpecahan Tubuh ABRI Sebelum Pecah Pemberontakan PKI 30 September 1965. Tempo Publishing.

Pusat Data dan Analisa Tempo. (2021). Sejarah Militer Indonesia: Isu Konflik Jenderal Dalam Kerusuhan Malari. Tempo Publishing.

Pusat Data dan Analisa Tempo. (2021). Sejarah Militer Indonesia: ABRI dalam Sejarah Awal Pembentukan Golkar. Tempo Publishing.

Pusat Data dan Analisa Tempo. (2021). Ali Moertopo dan Jejaknya Pada Peristiwa Bersejarah Indonesia. Tempo Publishing.

Firdaus Syam dan Seta Basri. (2024). Biopolitik Rivalitas Elit Militer Awal Orde Baru. Damera Press.

Franz Magnis Suseno. (2013). Dari Mao ke Marcuse: Percikan Filsafat Marxis Pasca-Lenin. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Louis Althusser. (2015). Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara (Catatan-Catatan Investigasi). IndoPROGRESS.

Editor: Hastomo Dwi Putra

ARTIKEL LAINNYA

Nyali Pena Puan Sumatra: Dari Reformis sampai Revolusioner di Negeri Jajahan
Gerakan PRD di Nganjuk Setelah Peristiwa Kudatuli 1996
Pawai Terakhir Mayday, Gagalnya Istana Buruh, dan Lintang Kemukus 1965
Pergerakan Sekerdja

Temukan Artikel Anda!