Democracy is not just the right to vote, it is the right to live in dignity – Naomi Klein.
Dua ribu dua puluh empat adalah tahun yang paling menguras emosi. Selain karena tahun pemilu, juga merupakan tahun dari degradasi ekologis atau lebih mudahnya dalam kalimat lain, sebagai babak ketika ruang yang menunjang kehidupan rakyat semakin mengalami penurunan.
Berangkat dari cerita umum bagaimana rakyat berjibaku melanjutkan kehidupannya, telah tampak dalam kehidupan kita sehari-hari dan mungkin kita juga semua merasakannya. Apabila memeriksa data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang 2023 terdapat 5.365 bencana yang tersebar di seluruh Indonesia.
Kejadian bencana tersebut antara lain: kebakaran hutan dan lahan sebanyak 2.051 kejadian, cuaca ekstrim 1.261 kejadian, banjir 1.255 kejadian, longsor 591 kejadian, kekeringan 174 kejadian, serta abrasi dan gelombang pasang 33 kejadian.
Bencana tersebut telah memaksa delapan juta lebih penduduk mengungsi, sebanyak 250 warga lebih meninggal dunia, dan lima ribu orang luka-luka. Ini belum termasuk angka kehilangan harta benda dan sumber penghidupan sehari-hari.
Angka-angka di atas adalah contoh betapa mengerikannya dampak dari krisis iklim yang didorong faktor multidimensi: politik kebijakan, ekonomi dengan praktik eksploitasi sumber-sumber alam skala besar, dan sosial dalam hal dalih investasi, serta pembangunan untuk mengurangi pengangguran.
Kuasa eksklusi sebagaimana disampaikan oleh Tania Li, merupakan sebuah perangkat lunak (software) yang berisi rumusan-rumusan program merampas ruang hidup rakyat dengan cara peminggiran. Praktik demikian menjadi pemandangan yang lumrah sejak 2006 hingga 2024. Mulai dari lumpur Lapindo hingga pengusiran paksa orang-orang Melayu di Pulau Rempang, Kepulauan Riau.
Lantas bagaimana instrumen kapital, negara, kekerasan, dan pengetahuan saling terkoneksi dalam mengusir orang-orang tersebut? Mengapa ada proyek nasional? Apa yang akan dibangun di sana dan siapa yang akan meraup keuntungan?
Kasus perampasan ruang hidup semakin masif terjadi dengan munculnya Undang-undang Cipta Kerja yang problematik. Produk hukum ini melegitimasi praktik perampasan ruang dan pelemahan hak warga negara. Menurut Tania Li dalam The Will to Improve, fenomena tersebut sebagai cara pikir negara.
Negara selalu mempunyai niat untuk memperbaiki keadaan atau meningkatkan kondisi hidup. Namun, yang dipikirkan dan diusahakan justru sebaliknya. Negara bukan hadir untuk memperbaiki keadaan atau membuat rakyat semakin berdaya. Kehadiran Negara justru sebagai aktor pemula untuk merampas dan melanjutkan bagaimana perampasan tersebut akan dilakukan melalui kehendak negara.
Sejenak mengingat yang dikatakan Vandana Shiva dalam Soil not Oil. Menurutnya, perluasan industri ekstraktif, khususnya migas, untuk pertumbuhan pasar tidak dapat menyelesaikan krisis sosial-ekologi yang ditimbulkan. Hal ini dikarenakan alam menyusut bersamaan dengan bertambahnya modal. Niat hati menyelesaikan krisis, tapi setelahnya krisis-krisis baru sudah mengintip di balik pintu. Itulah yang terjadi di dalam tubuh republik ini!
Tidak cukup di situ, aneka aturan telah dibuat dengan sedemikian rupa untuk memfasilitasi perluasan geografis kapital dan penghancuran sendi-sendi kehidupan rakyat. Tujuannya untuk memperkaya para penguasa dengan kroninya. Juga semakin mencengkramkan kekuasaan mereka untuk tetap melakukan praktik-praktik ekstraksi (pemerasan) sumber penghidupan rakyat.
Banalitas tersebut diulangi dengan kejadian politik hari ini. Kita menyaksikan pelbagai bentuk pelanggaran konstitusi: semakin menunjukkan wajah dari elit politik yang haus kekuasaan. Tidak ada yang baru hari ini. Mereka yang tampil adalah perwujudan dari kepanjangan tangan para penguasa kapital yang ingin mengeruk semua sumber-sumber alam. Wajah itu sejatinya menunjukkan bagaimana kekuasaan rezim yang berkuasa saat ini.
Bencana ekologis tidak pernah menjadi peringatan bagi penguasa atau kapital. Mereka semakin gila dengan dalih kesejahteraan, tapi banyak melanggar konstitusi. Legitimasi untuk kemaslahatan perlu dipertanyakan. Pasalnya, masih banyak orang-orang tidak berdosa setiap hari bertahan menghadapi krisis sosial-ekologi yang ditimbulkan oleh kapital. Rakyat berjuang semampunya untuk tetap hidup dan hanya itu yang mereka bisa.
Melihat persoalan rakyat dengan aneka pelanggaran dan perampasan terhadap hak-haknya, semakin membuat pesimis mengenai keberlanjutan kehidupan, terutama dalam republik ini. Semakin hari yang tampak adalah perentanan kehidupan.
Krisis mulai terlihat, dari air, pangan, bahkan sosial. Efek yang saling terkoneksi satu sama lainnya. Ketimpangan disebabkan perampasan hak dan dari ketimpangan itu, akan memunculkan anek praktik kejahatan, sebagai konsekuensi sosial.
Pemilu bukan sekedar memilih, meski sebenarnya cukup jengah karena tidak pernah merasa mengajukan perwakilan dari rakyat. Sepanjang pemilu kita selalu dijejalkan tawaran yang tidak melibatkan rakyat dalam menentukannya, baik program maupun yang akan mewakili.
Demokrasi hari ini masih sebatas prosedural, tanpa melihat makna sesungguhnya demokrasi; dari rakyat untuk rakyat. Nyatanya, kini pemenang Pemilu tidak akan berbeda dengan sebelumnya. Mereka yang menang mewarisi semangat yang sama; keruk, keruk, dan keruk.
Pola ekspansi ekstraktivisme akan terus digenjot. Seiring waktu, jaring-jaring pengaman ekosistem akan remuk. Sekalipun kecemasan ini mungkin hanya dirasakan sebagian kecil kalangan, tapi itulah tantangannya ke depan!
Maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah akan melanjutkan pola yang sama: ketika narasi hanya menjadi milik sebagian kecil kalangan. Narasi yang tidak pernah menyentuh dan memijak bumi.
Sekarang gerakan sosial perlu mengevaluasi bagaimana cara mereka bekerja, juga memikirkan cara mengajak teman sebanyak-banyaknya. Pada pokoknya, diperlukan upaya sungguh-sungguh untuk membumikan narasi agar semua mengerti dan paham. Vandana Shiva mengatakan, “Living democracy grows like a tree, from the bottom up.“
Ke depan, sepertinya tidak usah muluk-muluk banyak berkelakar soal demokrasi ini dan itu. Cukup apakah mau membumi untuk memperluas narasi, bahwa demokrasi itu sejatinya dari rakyat dan untuk rakyat. Membuat mereka tidak lagi alergi politik, tidak memandang politik hanya dengan uang, atau sekadar kelekatan fisik, citra personal, dan kultus. Tentu itu yang dapat kita lakukan, sembari bertahan dan berusaha merawat solidaritas yang telah kita bangun.