SATU Oktober 2022, layar Twitter tak henti-hentinya menunjukkan cuitan, foto, hingga video yang berkaitan dengan Tragedi Kanjuruhan di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Tagar #PrayforKanjuruhan pun menyebar luas dan menjadi trending topic.
Setelahnya, kabar duka mulai beredar setiap harinya di berbagai media sosial. Satu per satu nama korban mulai teridentifikasi, hingga akhirnya tercatatlah 135+ korban meninggal dunia dan 583 orang cedera.
Di hari itu, Stadion Kanjuruhan yang berkapasitas 38 ribu orang justru memuat 45 ribu penonton. Kelebihan kapasitas terjadi demi memenuhi hasrat panitia pelaksana (panpel) pertandingan yang ingin stadion terisi penuh.
Pangkalnya, berdasarkan laporan Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF), pertandingan Arema FC dan Persebaya Surabaya adalah laga big match. Hal tersebut didasari atas faktor historis kedua tim dan antusiasme penonton yang tinggi.
Malam, 1 Oktober 2022, justru menjadi tragedi bagi Aremania yang menjadi penonton. Aparat menembak gas air mata secara bertubi-tubi dan tanpa peringatan kepada suporter di dalam stadion.
Tribun 11, 12, dan 13 menjadi saksi mata dari kebrutalan aparat. Asap pekat yang perih nan menyesakkan, membawa penonton yang ada di tribun secara otomatis berbondong-bondong menuju ke pintu keluar.
Sikap tersebut seharusnya menjadi titik harapan untuk membebaskan diri dari kondisi yang tak kondusif, tapi yang terjadi malah sebaliknya, sebab pintu keluar justru dalam kondisi terkunci.
Padahal, dalam Regulasi Keselamatan dan Keamanan PSSI, seharusnya stewards berada di gerbang pintu keluar untuk mengawasi dan menjaga pintu. Selain itu, semua gerbang yang mengarah dari area penonton ke area bermain, tetap tidak terkunci.
Pemicu Tragedi Kanjuruhan?
Pitch invader dikatakan sebagai pemicu awal terjadinya kerusuhan di lapangan setelah pertandingan selesai. Pitch invader merupakan tindakan suporter untuk menginvasi lapangan yang dipicu oleh dua hal: kecewa karena tim kalah atau senang karena tim menang.
Beberapa suporter yang turun ke lapangan, membuka jalan bagi suporter-suporter lainnya untuk ikut menyeruak masuk. Di sanalah sinyal aparat mulai menyala dan mendeteksi akan timbulnya kericuhan di lapangan.
Bentrokan terjadi antara suporter dengan aparat yang berjaga di lapangan. Situasi yang dianggap sudah di luar kendali itu menguatkan polisi untuk menembakkan gas air mata sebagai bentuk kontrol massa. Namun, tetap saja itu tak menjadikannya sebagai pembenaran untuk dilakukan di dalam stadion.
Selama ini, peraturan sepak bola di Indonesia mengadopsi standar FIFA atau Federasi Sepak Bola Internasional. Hal-hal yang diatur termasuk pada aturan main, kode etik pemain, waktu bermain, pelanggaran, ukuran lapangan, dan aturan lainnya.
Bahkan peraturan di Indonesia sendiri, misalnya pada Peraturan Menteri Pemuda dan Olahraga Nomor 7 Tahun 2021 yang mengatur standar sarana dan prasarana stadion dan lapangan sepak bola, juga mengacu ke standar yang ditetapkan FIFA.
Walau sudah memiliki aturan dalam pelaksanaan pertandingan sepak bola, tapi jika dirincikan, ada banyak hal yang panpel langgar. Dalam jurnalnya, Improving public safety in events of mass gathering: The 2022 Kanjuruhan Stadium Disaster in Indonesia, Lowilius Wiyono dkk. merincikan pelanggaran keselamatan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan.
Pelanggaran yang dimaksud antara lain: penggunaan gas pengendali massa, pelanggaran pintu darurat dan rencana evakuasi, kurangnya petugas keselamatan dan protokol keselamatan, dan kapasitas stadion yang kelebihan beban.
Petugas atau polisi memang diperlukan di sekeliling lapangan sepak bola, tapi merujuk aturan FIFA pada Pasal 19b, mereka dilarang membawa atau menggunakan senjata api dan “gas pengendali massa”.
Tapi, toh tindak aparat yang menembak gas air mata bukan terjadi pada peristiwa di Tragedi Kanjuruhan saja. Jika kita mundur ke 12 tahun lalu, tepatnya pada 3 Juni 2012, terjadi bentrokan antara polisi dengan suporter Persebaya di Stadion Tambaksari (Gelora 10 November), Kota Surabaya, Jawa Timur. Purwo Adi Utomo adalah korban dari peristiwa tersebut.
Stadion Kanjuruhan sendiri, memiliki track record yang kelam dalam sejarah sepak bola Indonesia. Pada 13 Juli 2005 sebagaimana dilaporkan Kompas.id, terjadi kerusuhan yang menyebabkan satu orang meninggal karena terinjak-injak.
Kemudian pada 2018, Dhimas Duha Romli, seorang pelajar yang kala itu menyaksikan laga pekan keempat Go-Jek Liga 1 pada 15 April 2018, menjadi korban dari kerusuhan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan.
Selain itu, masih banyak bukti-bukti kekerasan aparat yang menyebabkan korban jiwa. Data Save Our Soccer (SOS) mengatakan dalam rentang Januari 1995 sampai Juni 2022, terdapat setidaknya 78 penonton/suporter yang meninggal.
Jika ditambahkan dengan data Kompas pada Juli-September 2022 yang mencatat lima korban meninggal, maka total korban jiwa dalam perjalanan sepak bola Indonesia sebanyak 83 orang.
Hingga akhirnya, duka tersebut bertambah dengan meninggalnya 135+ orang di Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022. Ini belum termasuk korban luka-luka, korban luka yang kemudian meninggal, dan korban-korban lainnya—yang bukan hanya sekadar penonton, melainkan orang-orang yang membawa mimpinya ke sana dan semua itu tak dapat ternilai dengan angka.
Padahal, pada tragedi yang melibatkan Kanjuruhan pada 2018 silam, pihak Arema FC mengakui kelalaian mereka yang menyebabkan adanya satu korban jiwa dan berkata akan menjadikannya pelajaran ke depan. Kenyataannya, orang-orang yang menjadi korban di Tragedi Kanjuruhan justru menjadi beratus kali lipat.
Mengingat adalah Bentuk Perlawanan
Ingatan merupakan suatu trinitas unik yang menurut Golka (2009:23 dalam Marta Wójcicka, 2020) adalah “akumulasi dari pengetahuan masa lalu, pengalaman masa lalu, dan aktivitas masa kini”. Maka, ingatlah Tragedi Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022, sebagai hari di mana sistem beserta orang-orang yang menjalankannya berperan menjadi mesin pembunuh bagi rakyatnya sendiri.
Selain dari pembentukan memori kolektif, kesadaran atas bentuk-bentuk represivitas aparat beserta mangkirnya peran PSSI, PT LIB, panpel, dan berbagai elemen lainnya, turut membentuk kesadaran sosial, sebagaimana hal yang diangkat dalam penelitian Bolakis (2024).
Bolakis mengangkat identitas anti-fasis pada penggemar sepak bola di Yunani, meski tak semua penggemar mengidentitaskan diri sebagai anti-fasis, ia menyoroti bagian-bagian yang ditempati oleh penggemar terorganisasi, yang diartikan sebagai penggemar yang dapat mengekspresikan pandangan politik secara publik melalui berbagai cara, seperti nyanyian, spanduk, dan lainnya.
Ekspresi pandangan politik dalam sepak bola sendiri tak terlepas dari sifat persepakbolaan Indonesia yang politis, sebagaimana dalam olahraga pun memiliki peraturan perundang-undangan yang pembuatannya tak terlepas dari peran pemerintahan.
Dengan berkaca pada beberapa tahun ke belakang, mulai dari Tragedi Kanjuruhan hingga hari ini, kesadaran kolektif yang dibahas oleh Bolakis terbentuk dan menggerakkan, tak hanya suporter dan korban saja, tetapi juga masyarakat yang secara terorganisir untuk bersolidaritas.
Berbagai macam tuntutan dilakukan melalui aksi-aksi langsung, seperti tulisan pada banner, poster, dan atribut belasungkawa lainnya yang ditunjukkan untuk Tragedi Kanjuruhan, khususnya gate 10, 11, 12, dan 13, serta dalam berbagai pertandingan sepak bola lainnya yang masih berjalan setelah peristiwa tersebut.
Stadion dapat menjadi tempat untuk menyatakan aksi dan wacana politik, pernyataan dari penggemar Panachaiki yang terorganisasi, Navajo Antifa, ditulis dalam jurnal Bolakis sebagaimana berikut:
Bentuk merawat ingatan yang lain dapat dilakukan melalui ruang-ruang diskusi yang selalu terbuka untuk umum. Hal ini sekaligus menjadi ruang untuk membentuk memori kolektif setiap orang mengenai Tragedi Kanjuruhan.
Korban tidak akan berdiri sendirian. Miftahudin Ramli atau yang biasa dikenal dengan nama Pak Midun, melakukan aksi gowes sepeda dari Jawa Timur ke Jakarta. Aksi Pak Midun itu telah menghidupi gerakan Kanjuruhan untuk terus menuntut keadilan.
Tagar #UsutTuntas pun menjadi tagar wajib pada setiap unggahan di kanal media sosial yang berkaitan dengan Kanjuruhan, sebagai bentuk desakan kepada pemerintah dan aparat agar bertanggungjawab—bukan hanya kepada masa lalu, tetapi untuk masa depan sepak bola, suporter, dan semua orang.
Usut tuntas adalah tagar yang mengandung berbagai emosi di dalamnya: sedih, marah, kecewa, dan perasaan-perasaan lainnya yang tak dapat diwakilkan dengan kata-kata. Dan 1 Oktober 2022 adalah bagian dari sejarah kelam persepakbolaan Indonesia—juga dunia, yang wajib tercatat dan diketahui semua orang.
Perbincangan tentang Tragedi Kanjuruhan akan selalu ada di setiap tahun dan hari-hari peringatannya, sebagaimana tabuhan dan karangan bunga yang akan selalu ada di setiap sudut gerbang Stadion Kanjuruhan.
Dan tulisan ini hanyalah satu dari sekian banyak tulisan, yang diharapkan dapat merawat api perjuangan kita semua, untuk tetap mengingat, mengawal, dan mengecam segala bentuk kejahatan sistem sepak bola dan negara kita sendiri!
Tidak lupa, untuk memperingati 1.000 hari Tragedi Kanjuruhan dan berbagai tragedi lainnya dalam sepak bola Indonesia, mari kita lafalkan semulia-mulianya doa untuk seluruh korban.