Manusia Modern dan Desekularisasi Entitas Alam

Manusia Modern dan Desekularisasi Entitas Alam

Manusia Modern dan Desekularisasi Entitas Alam
Ilustrasi prilaku manusia modern yang berdampak pada kerusakan lingkungan dan perubahan iklim, sehingga masyarakat adat menjadi salah satu korbannya. Sumber: Freepik/Jcomp.

Sudah sejak lama hubungan harmonis antara manusia modern dengan berbagai entitas alam di Indonesia terputus. Manusia modern seolah semakin tidak peduli dan di level tertentu semakin bersikap kurang ajar terhadap entitas alam.

Hal ini bisa dilihat dari banyaknya orang dan korporasi yang begitu mudah membuang sampah atau limbah ke sungai. Lebih dari itu, sampai melakukan perusakan lingkungan hidup, misalnya menghancurkan kawasan hutan beserta biodiversitasnya, melakukan aktivitas penambangan, dan membangun infrastruktur secara tak terkendali.

Perilaku tersebut  menunjukkan adanya pola hubungan yang beracun (toxic relationship) antara manusia dengan alam. Umumnya, pola hubungan semacam ini berakhir pada hancur dan sakitnya kedua belah pihak.


Problem Sekularisasi

Bila ditelusuri lebih dalam, disharmoni relasi antara manusia modern dengan alam di Indonesia berawal sejak adanya sekularisasi terhadap entitas alam. Alam tidak lagi dilihat sebagai entitas sakral yang mesti disucikan, tapi disekularisasi. Akibatnya, alam sekadar dilihat sebagai benda profan dan benda mati semata.

Sekularisasi tersebut terjadi secara bertahap dan berproses, seiring dengan hadirnya modernitas, kapitalisme, industrialisme, kolonialisme, negara modern, bahkan agama-agama tradisi semitik di Indonesia.

Jika kapitalisme, industrialisme, kolonialisme, dan negara modern melihat entitas alam sebagai benda mati yang dapat dikomodifikasi serta dikomersilkan, agama-agama tradisi semitik cenderung tidak memandang penting penghormatan atas entitas alam yang ada di sekitar kehidupan manusia, sebab hal tersebut bukanlah fokus utama ajarannya.

Bila modernitas kerap menstigma praktik sakralisasi entitas alam sebagai “cara pikir dan perilaku primitif”, para penganut tradisi agama-agama semitik kerap menstigma praktik sakralisasi entitas alam sebagai “perilaku pagan, penyembah berhala, bid’ah, musyrik, dan semacamnya”.

Baik itu modernitas maupun ajaran agama-agama tradisi semitik telah banyak mengubah paradigma dan cara pandang dunia kebanyakan manusia modern di Indonesia saat ini. Khususnya, bagaimana mereka memandang dan memaknai keberadaan entitas alam.

Pergeseran paradigma bisa dilihat dari banyaknya manusia modern Indonesia yang cenderung lebih memikirkan kota atau tanah antah-berantah menurut cerita ajaran agama-agama tradisi semitik tersebut misalnya, ketimbang memikir entitas alam yang ada di sekitarnya. 

Padahal, kebanyakan manusia modern Indonesia tidak memiliki ikatan pengalaman yang kuat dengan kota atau tanah tersebut. Bahkan, tidak terdapat pula hubungan praktis dengan kehidupan sehari-harinya.

Sekalipun agama-agama tradisi semitik adalah institusi agama yang dianggap mengajarkan pengetahuan keagamaan yang sakral, tapi yang terjadi justru merekalah yang sesungguhnya mensekularisasi entitas alam itu sendiri.

Sekularisasi telah mencabut keterikatan hubungan emosional dan spiritual antara manusia dengan entitas alam. Alih-alih menghormati dan mensucikan entitas alam, kebanyakan manusia modern di Indonesia saat ini memilih untuk merusak dan mengeksploitasinya.

Persis pada titik ini, manusia modern mengalienasi kesadaran dan diri dari tanah maupun entitas alam lingkungannya sendiri.

Baca Juga: Berdamai dengan Air

Desekularisasi dan Resakralisasi

Mesti diakui, bahwa keberadaan berbagai macam entitas yang hidup di muka bumi ini berasal dari alam. Misalnya apa yang ada di dalam tubuh manusia, hampir dipastikan semuanya berasal dari berbagai entitas alam, mulai dari makanan, minuman, udara, dan sebagainya. Dengan demikian, alam sebenarnya adalah sumber kehidupan, leluhur sekaligus asal-usul daripada manusia itu sendiri.

Dengan adanya hubungan genealogis-keleluhuran tersebut, maka kesadaran yang perlu dibangun adalah relasi emosi-spiritual antara manusia dengan entitas alam. Kondisi ini sejatinya mirip dengan relasi antara anak kepada orang tuanya, yang mana pada keduanya terdapat ikatan batin yang kuat antara satu sama lain.

Pemahaman relasi tersebut sebenarnya masih banyak diyakini sampai sekarang. Contohnya, di komunitas-komunitas masyarakat adat yang masih memegang teguh ajaran-ajaran agama adat warisan para leluhurnya.

Kebanyakan dari mereka meyakini bahwa entitas alam yang ada di sekitarnya adalah sesuatu yang suci, karena dari sanalah segala sumber kehidupan mereka berasal. Karena posisinya sebagai sumber kehidupan, maka entitas alam tersebut disakralkan, disucikan, dijaga, sekaligus menjadi tempat untuk bersembahyang.

Baik antara alam lingkungan hidup, manusia, hewan-hewan, tumbuhan, tanah, batu, air, dan sebagainya, kesemuanya membentuk relasi timbal balik yang saling memengaruhi satu sama lain sebagai satu kesatuan yang holistik. Maka bila terjadi kerusakan pada salah satunya, akan berimbas pada kerusakan yang lainnya.

Relasi ini dimaknai sebagai relasi spiritual, yang artinya ia menjadi pakem kosmologi spiritual agama-agama adat di Indonesia. Dalam studi filsafat, teologi, dan antropologi agama, model spiritual-keagamaan seperti itu tidak dikategorikan sebagai suatu monoteisme, politeisme, atau bahkan animisme-dinamisme, melainkan panteisme.

Di sisi lain, terjadinya berbagai macam kerusakan alam dan lingkungan hidup secara masif saat ini, menunjukkan terdapat paradigma yang salah yang selama ini dianut oleh kebanyakan manusia modern di Indonesia. 

Lepasnya keterikatan dan kemelekatan hubungan antara manusia modern dengan tanah yang dipijak atau diwarisinya, membuatnya dengan sangat mudah menjual dan bahkan merusak “ibu bumi”-nya sendiri.

Sejumlah kebijakan pelindungan lingkungan hidup diterbitkan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Namun, realitas menunjukkan, secara kuantitas dan kualitas, kerusakan alam semakin menjadi-jadi. Tata ruang sangat begitu mudah berubah hingga semakin tidak terkendali.

Dengan demikian, saat ini kita membutuhkan ide re-harmonisasi hubungan manusia dengan alam. Artinya, yang dibutuhkan adalah perubahan paradigma, cara pandang hidup, dan kesadaran diri manusia modern Indonesia dalam melihat entitas alam: dari yang awalnya melihat secara sekuler, menjadi melihat secara sakral.

Perubahan paradigma semacam itu bisa disebut sebagai desekularisasi dan resakralisasi alam, baik itu dalam konteks kebijakan hukum, kehendak politik, cara pandang spiritual, maupun kebiasaan hidup sehari-hari.

Dengan perubahan paradigma tersebut, maka upaya re-harmonisasi hubungan manusia dengan alam di Indonesia menjadi sesuatu hal yang mungkin.

Kawan Redaksi

Editor: Akbar Ridwan
Reporter:

ARTIKEL LAINNYA

Share

Temukan Artikel Anda!