Di satu nagari kawasan Sumatra Barat, lahirlah bocah perempuan yang terkesima melihat buku-buku kepunyaan bapaknya. Di usia yang belum genap lima tahun, ia memilih bermain dengan buku-buku yang dilihatnya itu.
Perilakunya tak lazim, lebih-lebih di negeri yang tengah dijajah dan kehidupan perempuan masih dikerangkeng. Namun, si bapak tak mempersoalkannya, begitulah tindak tanduk sang moderat.
Bukan melarang, dia malah mengajarkan anaknya membaca. Tak pelak, di usia lima tahun, buah hatinya sudah mengenal ragam huruf dari pelbagai bahasa: Latin, Arab, dan Melayu.
Setahun berselang, sang bapak yang notabene pegawai pemerintah, dimutasi ke Alahan Panjang, Sumatra Barat. Di sana keluarganya bertetangga dengan seorang jaksa bernama Lebi Bajo Nan Soetan dan istrinya Adiesa.
Pasangan tersebut tak memiliki buah hati, sehingga senang bukan main tatkala tahu ada satu keluarga yang baru pindah dengan anak-anaknya nan masih kecil-kecil.
Si bocah penggila buku yang lincah ini, menarik perhatian Lebi Bajo Nan Soetan dan Adiesa, hingga akhirnya diperkenankan untuk sering main ke rumah.
Di rumah pasangan itu, dijumpai banyak surat kabar, majalah, dan buku. Si cilik girang. Melihat tingkah tersebut Adiesa akhirnya memutuskan mengajarkan sang bocah membaca dan menulis.
Dalam 24 bulan atau saat usianya delapan tahun, si anak mampu melumat lima abjad: Arab, Latin, Arab Melayu, Melayu, dan Belanda. Tidak hanya membaca, tapi dia pun pandai menuliskannya.
Demikian Fitriyani meriwayatkan masa kecil Siti Roehana Koeddoes dalam Roehana Koeddoes: Tokoh Pendidik dan Jurnalis Perempuan Pertama Sumatera Barat.
Selain belajar baca tulis, Ahmat Adam lewat Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan, mengatakan Adiesa turut membuat Roehana menguasai seni merenda, suatu jenis kerajinan penting di Koto Gadang, Sumatra Barat.
Roehana merupakan putri pertama Moehamad Rasjad Maharadja Soetan dan Kiam yang notabene keluarga kelas menengah. Bagian Bumi yang ia lihat pertama adalah Koto Gadang, pada 20 Desember 1884.
Sepanjang ia tumbuh, tidak sekalipun pendidikan formal dikenyam. Praktis sumber pengetahuannya hanya dari keluarga dan Adiesa.
“Sedari kecil, dia (Roehana) gemar membaca buku dan surat kabar, menulis, serta berlatih kerajinan tangan sulam terawang. Semua dikuasainya dalam tempo yang cepat, meski tanpa bersekolah formal bahkan beberapa dipelajarinya secara autodidak,” ungkap Hajar Nur Setiowati di esai “Siti Roehana Koeddoes: ‘Membaca Suratkabar Seperti Meminum Air Laut’” dalam Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia.
Kegemaran Roehana membaca koran disampaikan pula oleh Hendra Naldi. Melalui riset sejarahnya, dia mengungkap, saat pers kian maju di Sumatra Barat, di samping media kalangan Belanda, Tiongkok, dan bumiputra, juga banyak dijumpai surat-surat kabar lokal, seperti dari Medan dan Jakarta, bahkan Belanda dan Singapura.
“Semua surat kabar tersebut dengan semangat selalu dibaca oleh Roehana,” kata Hendra dalam bukunya “Booming” Surat Kabar di Sumatra’s Westkust.
Di usia delapan tahun, Roehana, dua adik, dan orang tuanya pindah lagi ke Simpang Tonang Talu, Pasaman, Sumatra Barat. Hal ini, lagi-lagi, karena bapaknya dimutasi ke dusun terpencil itu.
Di tempat barunya, kata Fitriyani, Roehana banyak menghabiskan waktu di teras rumah sambil membaca. Di kesempatan itu, teman-teman sebaya kerap mendengarkan.
Sesekali, remaja dan orang tua yang melintas rumahnya juga ikut nimbrung mendengarkan Roehana. Keadaan tersebut terbilang sangat wajar.
Pasalnya, kala itu hanya sedikit orang yang bisa baca tulis, lebih-lebih perempuan. Maka itu, apa yang dikuasai Roehana terbilang istimewa. Akhirnya, mereka yang didongengi Roehana lekas-lekas minta pula diajarkan baca tulis.
“Saat itu 99% perempuan di tanah Melayu masih buta huruf, tapi di sebuah dusun terpencil di Simpang Tonang Talu, seorang anak perempuan sudah menjadi guru kecil di usia delapan tahun pada 1892,” tulis Fitriyani.
Roehana mengajar teman-temannya di teras rumah. Bapaknya memberikan bekal perkakas tulis menulis.
Dalam momen ini, orang tuanya sesekali ikut mendampingi. Menurut Fitriyani, sang bapak juga memberikan pelajaran agama, budi pekerti, dan membacakan buku-buku sastra terbitan luar negeri dan surat kabar.
Aktivitas mengajar tak terasa sudah bertahun-tahun lamanya, sampai ia kembali lagi ke Koto Gadang. Kendati demikian, sekolah yang didirikannya bukan tanpa hambatan.
Fitriyani mengungkap, suara sumbang makin kencang karena suami Roehana adalah Abdoel Koeddoes.
Roehana menikah dengan Abdoel Koeddoes di usia 24 tahun pada 1908. Kata terakhir dari nama suaminya itulah yang kemudian bertengger di belakang nama Roehana.
Suami Roehana dikenal sebagai pemuda anti-Belanda. Menurut Hajar, Abdoel merupakan aktivis Insulinde dengan latar belakang pendidikan hukum.
Abdoel seorang notaris independen yang tidak sudi bekerja untuk Pemerintah Hindia Belanda. Di samping itu, dia juga jurnalis yang tulisannya terbit di pelbagai surat-surat kabar.
“Tulisan Abdoel Koeddoes memuat kritik dan bersifat memberontak Pemerintah Hindia Belanda. Kelak, saat Roehana menekuni dunia surat kabar, Abdoel Koeddoes adalah orang yang mengoreksi tulisan Roehana agar enak dibaca,” tulis Hajar.
Lantaran itu, kata Hajar, banyak propaganda miring terhadap sekolah Roehana. Orang-orang menebar curiga, takut anak gadis mereka lupa mengurus pekerjaan rumah kalau menghabiskan waktu bersama Roehana untuk belajar.
Roehana dan suaminya pun dituduh melibatkan para murid dalam gerakan politik. Propaganda tersebut lantas membuat para orang tua khawatir anak mereka ditangkap karena dituding melawan Belanda.
“Akibat hasutan, sampai-sampai muncul permintaan untuk menutup sekolah. Roehana lalu meninggalkan Koto Gadang sementara waktu ke kampung Maninjau dan Padang Panjang selama tiga tahun. Pada 1911, ia kembali ke Koto Gadang dan mendirikan perkumpulan Kerajinan Amai Setia pada 11 Februari 1911,” tulis Hajar.
Kata Fitriyani, sekolah tersebut berdiri setelah Roehana, atas bantuan Ratna Puti—istri seorang jaksa, memprakarsai pertemuan yang mengundang sekitar 60 istri tokoh adat dan agama yang dikenal Bundo Kanduang di Koto Gadang.
“Tujuan sekolah keterampilan ini agar mereka (murid) bisa mandiri, tidak tergantung pada orang lain secara ekonomi. Terutama perempuan dari kalangan ekonomi sulit,” ungkapnya.
Fitriyani menyampaikan, mata pelajaran sekolah kepandaian putri itu, antara lain: kerajinan tangan; baca tulis huruf Arab, Arab Melayu, dan latin setingkat sekolah rakyat; pendidikan rohani dan akhlak; kepandaian mengurus rumah tangga, memasak, dan mengasuh anak; dan pengetahuan umum.
Soenting Melajoe: Si Pembabat Alas
Soenting Melajoe bukan sembarang surat kabar. Inilah koran perempuan pertama di tanah Sumatra! Reni Nuryanti di esai “Soenting Melajoe Roehana Koeddoes Membuat Koran” dalam Seabad Pers Perempuan: Bahasa Ibu, Bahasa Bangsa, mengatakan kelahirannya seiring dengan matinya Poetri Hindia.
Di buku yang sama dengan esai “Poetri Hindia: Perintis Pers Perempuan”, Reni berkata, surat kabar mingguan tersebut merupakan koran pertama khusus perempuan di Indonesia. Pendirinya adalah R. M. Tirto Adhi Soerjo dan R. T. A. Tirtokoesomo.
Nama yang disebut pertama merupakan dedengkot pers bumiputra yang belakangan didapuk sebagai Sang Pemula oleh Pramoedya Ananta Toer—jurnalis, sastrawan, dan sejarawan terkemuka Indonesia. Tirto dinobatkan pula sebagai Bapak Pers Indonesia.
Dua orang tersebut hanya mendirikan saja, sedang keberlangsungan Poetri Hindia mayoritas dijalankan para perempuan. Beberapa di antaranya: Mevrouw Binkhorst-Martel, Laura Elmensdrop, R. A. Tjokrodikoesoemo, R. A. Hendraningrat, Raden Fatimah, M. Loro Nasiah Rogoatmodjo, Raden Sinta Mariana, Soeida, dan R. A. Siti Habiba.
Setelah terbit pada 1 Juli 1908 di Batavia—kini Jakarta, Poetri Hindia harus menghembuskan napas terakhir pada 1912. Namun, sejak 10 Juli 1912, semangatnya seakan-akan diteruskan Soenting Melajoe yang terbit di tanah Sumatra.
Latar belakang Roehana ingin mendirikan surat kabar masih berkelindan dengan kegelisahannya akan pendidikan. Fitriyani menerangkan, Roehana tidak ingin murid-muridnya saja yang pandai. Hal inilah yang mendorongnya menambah pengalaman kaum puan di daerah-daerah lain.
Keinginan tersebut lantas dihadapkan tantangan menemukan cara untuk tetap mengajar tanpa harus bertatap muka. Roehana pun menjadikan menulis di surat kabar sebagai solusi.
Akan tetapi, dia berhadapan dengan kenyataan banyak surat kabar yang hanya menulis perlakuan buruk perempuan atau menjadikan perempuan sebagai hiburan dan perhiasan bagi pria.
Kendati begitu, Roehana tak hilang akal dan justru bersikeras mendirikan surat kabar sendiri. “Baginya (Roehana), melalui surat kabar dia bisa berbuat banyak. Ilmunya bisa diamalkan dan pada saat bersamaan ia pun bisa menambah ilmunya,” tulis Fitriyani.
Menurut Fitriyani, Abdoel mendukung penuh keinginan istrinya. Lantas untuk mewujudkannya, Roehana berkirim surat kepada Datoek Soetan Maharadja, seorang pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe sekaligus tokoh pers di Sumatra.
Warkat tersebut dibalas dengan tak terduga, sebab Datoek Soetan Maharadja langsung berangkat dari Padang, Sumatra Barat, ke Koto Gadang untuk menemui Roehana.
Di rumah Roehana, kesepakatan pendirian surat kabar Soenting Melajoe tercapai. Soenting artinya perempuan dan Melajoe maksudnya adalah tanah Melayu.
Berbagai sumber mencatat Soenting Melajoe terbit pertama kali pada 10 Juli 1912. Sementara pelacakan saya di koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, mendapati edisi paling tua 14 Juli 1912. Sangat mungkin, itu bukan terbitan pertama.
Koran ini membawa semboyan: “Soerat Chabar Perempoean di Alam Minang Kabau” dan terbit saban Jumat. Penerbit koran tersebut adalah Snelpersdrukkerij “Orang Alam Minang Kabau”.
Hajar mengatakan, Roehana ditetapkan sebagai pemimpin redaksi dan berkedudukan di Koto Gadang, Fort de Kock—kini Bukittinggi. Dia berbagi tugas dengan Zoebaidah Ratna Djoewita yang berposisi redaktur pelaksana di Padang.
Dari edisi Soenting Melajoe, diketahui Datoek Soetan Maharadja bertindak sebagai pemimpin, sedang administrasi diurus Soetan Maharadja.
Ahmat menerangkan, Zoebaidah merupakan anak perempuan Datoek Soetan Maharadja. Sedang menurut Reni, Zoebaidah merupakan kader Tirto Adhi Soerjo dengan bukti dia menjadi penulis produktif di Poetri Hindia.
Namun, Zoebaidah tidak selamanya mengurus dapur redaksi Soenting Melajoe sampai koran ini berhenti terbit pada Januari 1921. Di edisi Soenting Melajoe 28 September 1917, terjadi perubahan susunan redaksi. Kedudukan Zoebaidah di Padang digantikan Sitti Noerma.
Di edisi 26 Oktober 1917, muncul nama Amna yang mengurus Soenting Melajoe dari Benkoelen—kini Bengkulu. Pada terbitan 24 Mei 1918, punggawa Soenting Melajoe bertambah dengan kedatangan Sitti Djatiah yang berkedudukan di Padang dan sejak edisi 20 September di tahun yang sama, pindah ke Pasar Johar Kayu Tanam.
Per terbitan 6 Agustus 1920, posisi Sitti Djatiah di Pasar Johar Kayu Tanam diganti Sitti Noersiah. Sampai edisi termuda yang berhasil saya lacak, 28 Januari 1921, Sitti Noerma, Sitti Noersiah, Siti Roehana Koeddoes, dan Amna adalah orang-orang yang mengurus dapur redaksi hingga Soenting Melajoe berhenti terbit.
Menurut Ahmat, Soenting Melajoe dimaksudkan sebagai surat kabar perempuan reformis yang dapat digunakan intelektual perempuan Minangkabau untuk mengajak perempuan lain dalam mengejar kemajuan dan perbaikan nasib.
Adapun Hendra menyebut, walau Soenting Melajoe mengajak kaum perempuan Minangkabau untuk maju, tapi secara tegas diakui kemajuan tersebut tetap mempertahankan nilai-nilai moral tradisional.
“Dalam artian, pikiran boleh maju, tapi harus tetap memelihara sikap-sikap keperempuanan dengan selalu merendahkan diri,” tulis Hendra.
Keterangan Hendra berbeda dengan Ahmat. Menurut Ahmat, Soenting Melajoe telah membuka babak baru dalam gerakan perempuan di Pantai Barat.
Dibandingkan Poetri Hindia, surat kabar itu lebih tajam mengimbau para perempuan dan menyadarkan mereka pentingnya peranan kaum puan dalam membantu terciptanya perubahan dan kemajuan bagi masyarakat.
“Secara umum, tema yang mendominasi halaman-halaman Soenting Melajoe adalah problem kaum perempuan yang berhadapan dengan masyarakat tradisional. Koran ini juga tidak mengabaikan masalah-masalah seputar perceraian, poligami, serta kontroversi antara adat dan hukum Islam mengenai kedudukan perempuan,” jelas Ahmat.
Lebih lanjut, kata Ahmat, seperti Poetri Hindia, kehadiran Soenting Melajoe telah meramaikan kegiatan perkumpulan-perkumpulan perempuan. Menurutnya, kebangkitan perempuan Melayu di Pantai Barat Sumatra menjadi terbukti saat sejumlah perkumpulan kecil yang dijalankan sekaligus dikelola perempuan mulai bermunculan secara sporadis.
Sementara Hajar mengatakan, Soenting Melajoe memuat artikel, syair, sejarah, termasuk biografi tokoh. Roehana menambah konten dengan berita dari luar negeri dan sejarah yang disadur dari majalah, buku, atau surat kabar Belanda. Tulisan Roehana disebut menggoyahkan peraturan adat yang mapan.
“Saya terutama sekali menulis mengenai segi keagamaan dan keharusan adat Minangkabau, khususnya Koto Gadang, yang mengubah sikap mereka mengenai perempuan,” kata Roehana ketika ditanya materi tulisan dalam surat kabar, dikutip dari esai Hajar.
“Seakan menanti ajal, tak lama berdatangan surat-surat yang berisi caci maki,” lanjut Hajar yang turut menukil salah satu bagian surat nan dimaksud: “Jadi perempuan tak perlu banyak ulah, kenapa harus mencari perkara dengan pemikiran dan kegiatan yang tak penting.”
Roehana, kata Fitriyani, berharap tulisannya mampu membangkitkan semangat kaum perempuan. Secara umum, karyanya memang lebih banyak menyoroti kehidupan perempuan dari kelas masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
“Roehana tahu bagaimana penderitaan perempuan dari kalangan menengah ke bawah ini karena dia sendiri merasakan hidupnya yang penuh perjuangan dan banyak mengalami konflik dalam kehidupannya, walaupun tak seberat nasib perempuan yang menjadi buruh,” ungkap Fitriyani.
Cara Roehana yang menulis pun bikin banyak pembacanya tersentak. Menurut Fitriyani, goresan penanya dianggap para pembaca begitu bersemangat.
“Tujuannya agar perempuan bangkit memperjuangkan nasibnya yang selama ini terkungkung oleh adat istiadat yang kaku serta peraturan yang begitu mengekang, bahkan perempuan patut pula terjun bahu membahu bersama laki-laki dalam kancah politik,” tulisnya.
Menyoal politik, terang Fitriyani, bagi Roehana bukanlah cita-cita karena situasi dalam keadaan terjajah yang membuatnya merasa terpanggil. Terlebih, suaminya merupakan pengurus organisasi pemuda yang anti-Belanda.
Apa yang sampaikan berbagai sumber terkonfirmasi di edisi-edisi Soenting Melajoe. Misal, dalam artikel “Setia Gera’kan Perempoean Zaman Ini”, edisi 23 Mei 1913, Roehana dengan tegas mengatakan bukan cuma orang kaya yang boleh mendapat kemajuan. Sebab, maju tidaknya perempuan berasal dari usahanya. Dia pun menyarankan pembacanya untuk berserikat.
“Sebab itoelah seharoesnja waktoe sekarang kita jang beringin akan kemadjoean mentjari djalan; djalan nan kita tjari itoe doegaan saja tidak lain melainkan sepakat bersatoe hati, berserikat mendirikan perserikatan; dengan peratoeran perserikatan itoelah moedah moedahan kela’ akan dapat maikat hati kita atas beberapa hal menoedjoe djalan kebaikkan kemadjoean jang bererti dan berpedah,” tulis Roehana.
Dia melanjutkan, “Karena njatalah beberapa perserikatan itoe, boekan bermaksoed, berhaloean dan bertoedjoean oentoe’ hidoep mentjari makan sadja akan tetapi sesoenggoehnjalah akan mentjari sepakat bersatoe hati membiasakan bertolongan dan mendjaoehi atau mehapoeskan thabiat berhati kibir chizit dan chianat serta akan membiasakan bertolong tolongan.”
Di lain kesempatan, Roehana pernah menulis pengalamannya diajarkan oleh seorang Belanda. Ia menyapanya Nyonya van Ronkel yang tiba di Fort de Kock akhir Juli 1912. Bersama sekira 12 perempuan, ia belajar sopan santun, mengurus rumah tangga, memasak, sampai mengoperasikan mesin untuk kerajinan tangan.
Ilmu-ilmu tersebut tak dilahap sendiri, melainkan dibagikan kepada siapa saja yang ingin mempelajarinya. Dalam konteks ini, Roehana terlihat ingin memberikan sumbangsih ekonomi karena keterampilan yang dipelajarinya dapat dijadikan sebagai mata pencaharian.
“Demikian djoea kepandaian anjam-anjaman dari rotan dan memperboeat perkakas kota2 dan lain-lain dari kertas2 sematjam pentjaharian djoea oentoek kita orang2 perempoean2 miskin,” tulis Roehana dalam “Meoetjapkan Selamat Djalan Kepada Goeroe Kami “Mevrouw van Ronkel” Mehantarkan Ana’anda Beliau ke Holland”, Soenting Melajoe, edisi 10 April 1914.
Sastri Sunarti dalam Kajian Lintas Media Kelisanan dan Keberaksaraan dalam Surat Kabar Terbitan Awal di Minangkabau (1859-1940-an), mengatakan Soenting Melajoe termasuk koran yang mendapat dukungan bagus dan iklan yang banyak pada masa itu dari para pembacanya.
“Meskipun bukan satu-satunya surat kabar yang fokus pada masalah perempuan, tetapi termasuk surat kabar yang memiliki jaringan pelanggan yang bagus, baik di Sumatra maupun di luar Sumatra seperti Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi,” tulis Sastri.
Namun, pada 1921, riwayat Soenting Melajoe harus berakhir setelah sembilan tahun terbit. Hajar mengatakan, ini terjadi karena jajaran redaksinya terlalu sibuk mengelola surat kabar lain.
Setahun sebelum Soenting Melajoe berhenti beredar, Roehana merantau ke Medan, Sumatra Utara, untuk mengajar di Sekolah Dharma Putra. Di sana, dia juga menulis untuk koran Perempoean Bergerak.
Hajar berkata, Perempoean Bergerak bukan sembarang koran. Sisi luar biasa dari surat kabar tersebut adalah keberhasilannya berjejaring dengan Europesche Vrouwen en Juffvrouw atau Forum Istri-istri dan Wanita (lajang) Eropa untuk menerbitkan kabar dan arus pergerakan feminisme di Eropa, sejak edisi Juni 1919.
“Dua dekade awal abad 20 adalah satu babak penting dalam pergerakan perempuan barat edisi pertama selain pada pertengahan dan akhir abad 19. Sebuah gerakan perempuan yang memilih fokus gerakan pada perjuangan hak suara bagi perempuan dan sedang menyaring gaungnya,” kata Hajar.
Sementara Dian Andika Winda di “Perempoean Bergerak: Dari Deli untuk Kesetaraan” dalam Seabad Pers Kebangsaan 1907-2007, menjelaskan surat kabar dwibulanan tersebut terbit pertama kali pada 15 Mei 1919 di Deli, Sumatra Timur—kini bagian dari Sumatra Utara. Beberapa jurnalisnya: Boetet Satidjah, Ada Anong S. Hamidah, Ch. Baridjah, Siti Sahara, dan T. A. Safariah.
“Meski kental dengan nuansa feminisme, Perempoean Bergerak tak hanya dimotori oleh sebarisan srikandi, tetapi juga para lelaki. Di sana ada Parada Harahap yang menjadi hoofdredacture. Sebelumnya Parada Harahap duduk sebagai redaktur di Crani dan Benih Merdeka. Ada juga Abdul Rachman sebagai administrateur,” tulis Dian.
Soeara Perempoean: Pembaharu itu Bernama Saadah Alim
Di musim panas pada 9 Juni 1898, lahirlah seorang anak perempuan di Padang yang kelak diberi nama Saadah Alim. Saadah bukan pula sembarang perempuan, sebab dia punya pemikiran yang melampaui zaman!
H. B. Jassin di tulisan “Saadah Alim Pengarang Optimis” dalam Bahasa dan Kesusastraan, mengatakan Saadah adalah lulusan sekolah guru atau Kweekschool di Bukittinggi.
Setelah tamat pada 1917, ia langsung menjadi guru di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Padang dan Meisjes-Normaalschool atau sekolah guru putri di Padang Panjang.
“Segera setelah ia (Saadah) menjadi guru di Padang, ia menerbitkan majalah wanita bernama Soeara Perempoean, berisi karangan-karangan dalam bahasa Indonesia dan Belanda, dengan harapan akan memberi kesempatan bersuara kepada kaum wanita,” tulis Jassin.
Soara Perempoen inilah yang bikin Saadah lain daripada yang lain. Sebuah majalah yang menunjukkan dirinya berani mendobrak adat nan mengungkung kaumnya: perempuan.
Riset Taufik Abdullah berjudul “Modernization in the Minangkabau World: West Sumatra in the Early Decades on the Twentieth Century” dalam Culture and Politics in Indonesia, mengungkap tujuan penerbitan Soeara Perempoean.
“Untuk mendorong anak-anak perempuan Sumatra agar mengejar ketertinggalan dari suadari-saudari perempuan kita yang lebih berpendidikan dari Jawa, Menado, dan Sunda,” tulis Taufik mengukip Soeara Perempoean edisi September 1918.
Tidak seperti Soenting Melajoe, lanjut Taufik, Soeara Perempoean mengawali argumentasinya dengan mengemukakan ketidaksesuaian antara cita-cita adat dan realitas sosial.
Sementara itu, penerbitan majalah tersebut pun tidak lepas dari dukungan pimpinan gerakan Kaum Muda di Padang.
Merujuk karya Mestika Zed, Kota Padang Tempo Doeloe (Zaman Kolonial), gerakan Kaum Muda mulanya berjuang melakukan revisi terhadap pemahaman tradisional tentang adat dan agama dengan cara lebih maju.
“Di Padang, sasaran utama mereka (Kaum Muda) ialah kaum bangsawan di kota itu, yang dianggap sangat feodal. Di bidang keagamaan mereka ingin memperbaharui praktik keagamaan yang sering bercampur-aduk dengan mistik, yang diajarkan ulama-ulama Kaum Tua,” tulis Mestika.
Jika ingin menelusuri jejak Saadah Alim dan Soeara Perempoean, maka teranglah sulit dilakukan. Riwayat hidupnya bagai kepingan yang terpencar-pencar. Nyaris tidak diberikan tempat.
Mungkin—bila tak berlebihan, sampai saya menulis artikel ini, satu-satunya orang yang menurut saya berjuang mengumpulkan dan menyusun kepingan-kepingan kisah hidup Saadah adalah Aura Asmaradana.
Penelitian Aura yang dimaksud bertajuk “Di Bawah Bayang-bayang Adat: Sebuah Pembacaan Atas Hidup, Pemikiran, dan Karya Saadah Alim” dalam Yang Terlupakan dan Dilupakan: Membaca Kembali Sepuluh Penulis Perempuan Indonesia.
Berdasar riset yang dilakukan Aura, diketahui Saadah adalah perempuan yang cukup menonjol dalam dunia literasi. Selain sebagai jurnalis, Saadah merupakan pengarang dan penerjemah.
Sementara itu, Mestika mengungkap, Saadah juga tokoh perempuan yang aktif mengadakan openbare vergadering atau rapat terbuka di Padang. Soeara Perempoean yang dikepalai Saadah pun disebut-sebut sebagai gerakan feminis fase kedua, setelah yang pertama dinahkodai Soenting Melajoe.
“Banyak disebut pula bahwa Soeara Perempoean lebih radikal dalam menyuarakan kebebasan bagi perempuan dibandingkan dengan Soenting Melajoe,” tulis Aura.
Aura menulis Soenting Melajoe sebagai surat kabar yang berorientasi pada adat Minangkabau dan sangat kooperatif terhadap program-program Hindia Belanda—diperlihatkan oleh slogan “Ikrarlah Keradjaan Olanda dan Sentausalah Tanah Hindia”.
Saya menduga, Aura merujuk pada karya Sastri sebagaimana yang saya rujuk di tulisan ini.
Dalam risetnya, Sastri menyinggung peran Datoek Soetan Maharadja di Soenting Melajoe dan Oetoesan Melajoe. Dia disebut memiliki sikap yang kooperatif dan pro kepada pemerintah kolonial Belanda.
“Ini juga tertera secara eksplisit di surat kabar yang dipimpinnya (Datoek Soetan Maharadja) dengan mencantumkan ikrar kesetiaan kepada Kerajaan Belanda yang berbunyi: ‘Ikrarlah Keradjaan Olanda dan Sentausalah Tanah Hindia’,” demikian tulis Sastri.
Akan tetapi, apa yang disebut sebagai slogan oleh Aura sebagaimana ditulis Sastri, perlu diuji lagi kebenarannya. Slogan dalam surat kabar, biasanya tertera di halaman pertama bagian atas. Ini tak ubahnya identitas yang berisi visi atau misi dari suatu media.
Ihwal Soenting Melajoe, sepanjang saya mendedah koran tersebut sejak edisi Juli 1912 sampai Januari 1921, tidak ditemukan adanya slogan “Ikrarlah Keradjaan Olanda dan Sentausalah Tanah Hindia”.
Di awal penerbitannya sampai edisi 3 April 1913, moto yang dibawa Soenting Melajoe adalah “Soerat Chabar Perempeoan di Alam Minang Kabau”. Dalam terbitan 17 April 1913, slogan tersebut ditambah keterangan “Bertoekoek Bertambahlah Ilmoe dan Kepandaian Perempoean”, yang letaknya di bawah identitas penerbit.
Sampai edisi paling muda, 28 Januari 1921, keterangan “Soerat Chabar Perempeoan di Alam Minang Kabau” dan “Bertoekoek Bertambahlah Ilmoe dan Kepandaian Perempoean” masih bertengger.
Dengan ini, jelas sudah saya tidak mendapati adanya slogan “Ikrarlah Keradjaan Olanda dan Sentausalah Tanah Hindia” di Soenting Melajoe.
Jika Datoek Soetan Maharadja disebut kooperatif sama Pemerintah Hindia Belanda, memang demikian. Sebab, merujuk karya Ahmat, surat kabar Oetoesan Melajoe yang didirikan Datoek Soetan Maharadja pada Januari 1911 adalah pendukung pemerintah.
“Pada kop surat kabar ini (Oetoesan Melajoe) tercantum teks ‘Oentoek kemadjoean, kepandaian, ilmoe pengetahoean, peroesahaan tanah dan perniagaan. Haluan koran ini sangat pro-pemerintah, seperti yang tercermin pada slogan yang dicantumkan di halaman depan: ‘Tegoehlah setia perserikatan hati antara bangsa anak negeri dengan orang Wolanda’. Oetoesan Melajoe menjadi corong para penegak adat Minangkabau melalui kalam editornya,” tulis Ahmat.
Namun, masih merujuk Ahmat, Datoek Soetan Maharadja tidak melulu mendukung pemerintah. Sebelum di Oetoesan Melajoe, dia lebih dulu memimpin Pelita Ketjil di Padang. Di masa itu, dia sempat tersandung kasus pers karena dituduh menyerang pemerintah lewat tulisan berkepala “Kesengsaraan dan Perlindungan Rakyat Biasa” dan “Pikiran Orang Aceh”.
“Bahwa pelanggaran itu serius dapat disimpulkan dari hukuman yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi di Padang, yakni penjara satu bulan dan denda fl (gulden) 100. Ini mendorong Datoek Soetan Maharadja naik banding ke Mahkamah Agung di Batavia. Sayang, tidak ada kelanjutan kabarnya,” tulis Ahmat dalam penjelasan tambahan kasus tersebut.
Motto Oetoesan Melajoe sebagaimana ditulis Ahmat, mirip dengan yang dinukil M. Yuanda Zara di artikel bertajuk “Oetoesan Melajoe: Koran Utusan Kaum Adat” dalam Seabad Pers Kebangsaan 1907-2007.
Slogan lengkapnya: “Oentoek kemadjoean, kepandaian, ilmoe pengetahoean, peroesahaan tanah dan perniagaan. Tegoehlah setia, persaoedaraan anak negeri dengan orang Wolanda”.
Dengan demikian, meski Datoek Soetan Maharadja pendukung Belanda di belakangan hari, tapi slogan “Ikrarlah Keradjaan Olanda dan Sentausalah Tanah Hindia” tidaklah ditemukan di Oetoesan Melajoe.
Syahdan, keterangan Aura yang menulis Soenting Melajoe berslogan tersebut pun patut disayangkan dan dikoreksi. Sementara itu, saya juga belum berhasil melacak sumber Sastri dalam menulis slogan “Ikrarlah Keradjaan Olanda dan Sentausalah Tanah Hindia”.
Lepas dari itu, Soeara Perempoean memang lebih radikal daripada Soenting Melajoe dalam menyuarakan kebebasan perempuan. Bahkan, kedua pers tersebut sempat melakukan konfrontasi terbuka di edisi masing-masing. Baik Sastri maupun Aura, mengangkat isu ini.
Polemik terjadi karena ada dua sudut pandang yang berbeda. Soenting Melajoe, meski memperjuangkan perempuan, tapi dalam beberapa kesempatan tegak lurus dengan adat.
Sedang Soeara Perempoean yang diidentikan gerakan feminis Minangkabau fase kedua, membawa semangat yang berseberangan dengan adat.
“Gerakan feminis fase kedua mengusung slogan vrijheid atau freedom demi menghapus semua pembatasan pada pendidikan perempuan yang ditentang Soenting Melajoe dan Oetoesan Melajoe,” tulis Aura.
Sastri menjelaskan, perbedaan pandangan dua media itu terletak pada pemaknaan konsep kebebasan itu sendiri. Menurut penulis Soeara Perempoean, kata Sastri, kebebasan perempuan hendaknya setara dengan perempuan Eropa, baik dalam pendidikan maupun menentukan pilihan hidup.
“Dengan kata lain, terlepas dari kungkungan adat dan ninik mamak (pemuka adat). Sebaliknya, kebebasan perempuan menurut penulis-penulis di SM (Soenting Melajoe) tetap bersandar pada aturan adat-istiadat dan mereka menentang keras gagasan kebebasan yang mengacu ke Barat tersebut,” tulis Sastri.
Pertentangan vrijheid yang diusung Soeara Perempoean nan dikomandoi Saadah Alim, terekam di Soenting Melajoe, misal, edisi 21 Maret 1919 dalam artikel berkepala “Haloean Vrijheid”.
Penulisnya, Abrikozen, mengawali tulisan dengan menandai bagian dalam artikel yang ditulis Loekman dan terbit di Soeara Perempoean edisi No. 1, 1919. Abrikozen tampak tersulut sampai-sampai membuat tujuh catatan untuk tulisan Loekman.
Catatan yang diberikan pun tak ubahnya sebagai sanggahan atas apa yang diutarakan Loekman.
Contoh, Abrikozen memberikan catatan kelima dalam kalimat “Anak negeri Sumatra koerang madjoenja anak negeri tanah Djawa?” yang ditulis Loekman. Abrikozen memberikan pembelaan dengan mengatakan, “Anak negeri tanah Djawa banjak jang djadi koeli contract tetapi anak negeri Sumatra beloem.”
“Djangan marah lihatlah kebanjakan dari pada orang jang teeken contract dari tanah Djawa itoe tidak ada berkepandaian landjoet, tidak faham dan ta’ pandai tjara Belanda tjara modern, lagi poela kebanjakan mereka itoe miskin,” tulis Abrikozen.
Dia melanjutkan, “Tetapi anak negeri Sumatra, apabila telah pandai tjaro londo, lantas dia meninggalkan tanah tempat toempah darahnja, didjoealnja harta bendanja, sawah ladangnja berangkat dia kenegeri lain, sampai menjeberang laoetan, karena na’ dapat pekerdjaan jang berpatoetan dengan sekolahnja.”
Secara spesifik, Abrikozen menyudutkan gagasan vrijheid dan Soeara Perempoen dengan kalimat, “Ingatlah wahai bangsakoe Melajoe nasibnja bangsa kita jang akan datang, djanganlah digila pena sadja dan sebentar2 minta vrijheid, minta hak ini, minta hak itoe, o, pandir2 maoe mereboet hak seperti hak laki2 tidak maoe tertinggal dari bangsa laki2 (Soeara Perempoean) ah.”
Sayangnya, kiprah Saadah Alim di Soeara Perempoean tak berusia lama. Merujuk catatan Sastri, majalah tersebut hanya bertahan dua tahun atau sekira 1917-1919.
Dalam perjalanannya, tulisan-tulisan juga disuplai dari beberapa pria, seperti: Mohammad Hatta, Bahder Djohan, Moh. Jamin, dan Adi Negoro, yang pada waktu itu masih duduk di sekolah lanjutan.
Kendati demikian, semangat Saadah tetap berlanjut. Suaranya nyaring di tiap-tiap tulisannya, sebab dia masih terlibat di pelbagai surat kabar, sebagaimana dicatat Aura dan Panitia Almanak Nasional Sumatera di tulisan “Saadah Alim Perintis Sastrawati, Wartawati Indonesia dari Sumatera Barat” dalam Almanak Sumatera 1969.
Pada 1925, Saadah tergabung di mingguan Bintang Hindia dan harian Bintang Timoer yang dinahkodai Parada Harahap. Di rentang 1930-1940, dia pernah memimpin harian berbahasa Belanda Volks Courant dan duduk di redaksi Krekot’s Magazijn.
Berikutnya, pembantu Pandji Pustaka terbitan Balai Pustaka, ikut mengurus Poestaka Timoer pimpinan Andjar Asmara, dan aktif pula di Het Dagblad Volks Editie dari Java Bode.
Masih merujuk dua sumber sebelumnya, Saadah Alim semasa hidup memiliki nama pena Aida S.A. Dia tercatat juga menerjemahkan buku, antara lain: Djalan Pengajaran Menurut Widuri karya F. A. Volkers Schippers, Angin Barat Angin Timur karya Pearl S. Buck, dan Pengalaman Huckleberry Finn karya Mark Twain.
Lalu, Rahasia Bilik Terkunci karya Diet Kramer, Zuleika Menjingsingkan Lengan Badju karya Ruisco, Margret Hendak Tegak Sendiri karya Freddy Hagers, Menghadapi Hidup Baru karya G. A. Leen Bruggen, dan Jacob Silurus Hati karya Kapitein Marryat.
Sementara menurut Jassin, buku-buku yang ditulis Saadah adalah Pembalasannja dan Taman Penghibur Hati. Aura menjelaskan, Pembalasannja merupakan naskah drama, sedang Taman Penghibur Hati adalah kumpulan cerita pendek.
Istri dari Alim Sultan Maharadja Besar ini, meninggal dunia pada 18 Agustus 1968 dan dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum Karet, Jakarta. Saadah Alim, dalam Ensiklopedia Sastra Indonesia, disebut meninggalkan empat putri dan tiga putra.
Adapun Siti Roehana Koeddoes, merujuk Hajar, berpulang pada 17 Agustus 1972. Dia menyusul Saadah untuk beristirahat selama-lamanya di Tempat Pemakaman Umum Karet.
Baik Roehana maupun Saadah adalah dua perempuan hebat. Jelas, dua orang tersebut punya sumbangsih besar dalam gerakan perempuan di Indonesia, meski selayaknya manusia pada umumnya, dua orang ini pasti memiliki kekurangan.
Namun, itu bukan soal. Tidak ada pula kewajiban menjadi sempurna dan memang manusia tidak akan pernah bisa sempurna.
Siti Roehana Koeddoes bak api yang menyulut kaum puan agar bergerak maju. Dia membabat alas, membuka jalan, untuk kemajuan perempuan khususnya melalui pendidikan. Dia menjadikan pena dan pers sebagai senjatanya.
Saadah Alim, tak ubahnya cahaya yang kian menerangi jalan yang sebelumnya dibuka Roehana. Nyalinya tidak perlu diragukan: revolusioner. Tanpa ba–bi–bu, dia tahu apa yang kaumnya butuhkan. Senjatanya pun setali tiga uang dengan pendahulunya: pena dan pers!
Bertahun-tahun setelah mangkat, pada November 2019, Pemerintah Indonesia menetapkan Siti Roehana Koeddoes sebagai pahlawan nasional, melansir Detik.com. Sedang Saadah Alim, oleh negara, seakan-akan “disengaja” untuk tetap di tempat paling sunyi: ter-lu-pa-kan!