Mencari Serikat Buruh Genuine, Metode Bermain dalam Pendidikan Buruh

Mencari Serikat Buruh Genuine, Metode Bermain dalam Pendidikan Buruh

Mencari Serikat Sejati, Metode Permainan dalam Pendidikan Buruh
Mencari Serikat Sejati, Metode Permainan dalam Pendidikan Buruh (Diakronik/Ilham Hermansyah)

Tulisan ini merupakan salah satu penggalan pengalaman saya dalam memfasilitasi pendidikan buruh.  Bagi saya, metode permainan hanya salah satu dari sekian banyak cara untuk menurunkan konsep-konsep abstrak agar mudah ‘dikunyah’ oleh semua orang.

Pada akhir Januari 2024, saya mendapat kesempatan untuk menyelenggarakan pendidikan bersama salah satu serikat buruh di Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Sebut saja mereka adalah serikat buruh Y. Kegiatan pendidikan ini saya sebut sebagai “lingkar belajar buruh”, karena buruh yang hadir berasal dari satu perusahaan dan lintas lini produksi. Kegiatan ini menekankan aspek pengalaman para peserta sebagai materi pembelajaran utama. Pengalaman merupakan bahan baku bagi orang dewasa belajar.

Kegiatan lingkar belajar diikuti oleh anggota buruh yang baru saja bergabung dalam organisasi serikat buruh, dengan jumlah peserta sekitar 21 orang. Peserta yang hadir dari satu pabrik yang sama,  PT PGI. Perusahaan ini memproduksi tisu untuk dipasok kembali memenuhi permintaan jenama internasional. PT PGI baru saja berdiri sekitar tahun 2023. Usia yang singkat bagi sebuah perusahaan manufaktur.

Dalam menyelenggarakan lingkar belajar, tempat saya bekerja sama dengan pengurus Pimpinan Pusat (PP) dan Pimpinan Daerah (PD) dari serikat buruh Y. Semua kegiatan disusun secara bersama-sama, sejak mendesain materi hingga metode yang digunakan dalam pendidikan. Sehingga, pilihan materi belajar, metode yang digunakan, durasi kegiatan, dan tempat pelaksanaan, serta aspek teknis lainnya, semua dirumuskan secara partisipatif. 

Sebelum kegiatan dimulai, saya menyapa salah seorang buruh. Tujuannya untuk mencari tahu kondisi kerja mereka secara sepintas. Saya bertemu dengan seorang bernama Darsam, pria asal Yogyakarta yang kini berusia 35 tahun. Darsam dipercaya oleh anggotanya sebagai ketua serikat buruh tingkat pabrik atau Pimpinan Unit Kerja (PUK).  

Pabrik tempat Darsam bekerja menerapkan sistem kerja kontrak per tiga bulan, enam bulan, sampai dengan satu tahun. Kendati begitu, PT PGI juga mempekerjakan buruh dengan status perjanjian kerja tetap atau PKWTT. Pada awal produksi, pabrik acap kali menerapkan sistem kerja lembur tanpa upah. Istilahnya adalah jam molor.

Darsam pernah punya pengalaman menginisiasi protes tentang upah lembur yang tidak dibayarkan. Kala itu Darsam memulainya dengan mengumpulkan buruh-buruh dari berbagai lini produksi yang juga memiliki kesamaan pandangan. Setelah dirasa cukup, secara bersama-sama, mereka bergerak mendatangi manajemen pabrik. Saat itu, protes yang dilakukan belum mengatasnamakan organisasi serikat buruh. Darsam dan kawan-kawannya, menamakan diri mereka sebagai komunitas buruh. 

Kedatangan massa dalam jumlah banyak membuat pihak manajemen tertekan. Singkat cerita, akhirnya manajemen menyepakati tuntutan yang diajukan oleh Darsam dan kawanannya. Gerakan protes menentang kebijakan lembur paksa menjadi arus balik Darsam dan kawanannya untuk mendirikan serikat buruh. 

Namun, setelah serikat buruh berdiri, justru sikap manajemen pabrik mendadak berubah menjadi lunak: manajemen menerapkan politik akomodatif. Bagi Darsam perubahan sikap manajemen tersebut sinyalemen bahaya. Darsam semakin takut apabila perubahan ini kelak membuatnya semakin menjauh dari kegiatan berserikat. 

Bagi saya, penggalan cerita Darsam adalah seutuhnya wujud dari membumikan konsep “ilmu pohon”: semakin tinggi pohon, maka semakin kencang terpaan angin. Mungkin, saya rasa Darsam paham tentang hal itu. Karenanya, ia cukup berhati-hati. 


Metode Bermain, Merangsang Kesadaran Kritis

Setelah mendengar cerita Darsam dan beberapa sesi materi belajar. Tibalah pada sesi pendidikan selanjutnya, yaitu permainan. Saya menamai sesi permainan atau game kali ini dengan judul “Siapa yang diuntungkan?”

Tujuan dari permainan ini adalah merangsang kesadaran kritis peserta, bahwa status sosial dan ekonomi seseorang sangat berpengaruh terhadap keistimewaan yang dinikmati. Setelah itu, saya membagikan masing-masing peserta kertas. Totalnya sebanyak 21 kertas. Setiap kertas yang dibagikan telah tertulis nama-nama status sosial yang hidup di dalam masyarakat: buruh gendong, pengemudi ojek daring (Ojol), anak presiden, pekerja seks, pengusaha, orang disabilitas, pemilik pabrik, dan seterusnya. 

Peserta kemudian diarahkan untuk membentuk lingkaran besar dan menghadap ke depan. Saya bertindak sebagai fasilitator yang memberikan arahan kepada peserta untuk bertindak dalam sesi permainan ini. Setelah itu, saya menyampaikan aturan permainan kepada peserta.

Cara memainkan permainan ini sederhana. Setiap kali fasilitator bertanya dan apabila pertanyaan tersebut dirasa merupakan sesuatu hal yang bisa dilakukan, maka peserta boleh maju satu langkah. Dengan maju satu langkah artinya, peserta mampu melakukan hal tersebut. Sebaliknya, dengan berdiam posisi, artinya peserta tidak mampu melakukan itu.

Pertanyaan pertama yang saya ajukan, “Siapakah yang bisa mendapatkan hak atas kesehatan?” Semua orang bergerak serempak maju satu langkah. Selanjutnya, saya mengajukan pertanyaan kedua, “Siapakah yang dapat menempuh pendidikan sampai kuliah?” Kini perubahan terjadi. Hanya ada beberapa orang yang maju satu langkah dan yang lainnya tidak bergerak. 

Kemudian, saya memberikan pertanyaan ketiga, “Siapakah yang bisa membeli mobil mewah dan berlibur ke luar negeri?” Kini jumlahnya jauh lebih sedikit. Hanya beberapa status sosial dan ekonomi tertentu yang melangkah maju ke depan. Begitu juga dengan pernyataan keempat, “Siapakah yang bisa maju mencalonkan diri jadi presiden?” Jumlah peserta yang maju semakin sedikit. Permainan lalu ditutup.

Saya meminta semua peserta untuk melihat posisi mereka satu sama lain. Ternyata, ada beberapa orang yang berdiri membelakangi sebagian besar orang dengan jarak yang jauh. Sementara, ada sebagian besar mereka yang berada di posisi belakang. 

Setelah semua orang saling mengamati, sesi selanjutnya adalah diskusi dan refleksi. Saya memberikan pertanyaan kepada peserta, “Mengapa ada peserta yang sulit bisa maju ke depan? kenapa ada peserta yang hanya maju setengah jalan? dan kenapa ada juga peserta yang bisa maju sampai ke titik akhir?”

Salah seorang peserta memberikan pandangannya. Ia mengatakan, bahwa peserta yang berada di posisi belakang adalah mereka yang memiliki status sosial sebagai: buruh gendong, orang disabilitas, pekerja seks, dan pengemudi Ojol. Status sosial tersebut membuat mereka sulit untuk melangkah ke depan. Hal ini  dikarenakan mereka miskin dan tidak memiliki akses terhadap layanan publik. 

Sedangkan, mereka yang berada di garis depan adalah posisi yang selama ini hanya bisa dinikmati oleh orang-orang dari status sosial tertentu, seperti pengusaha tambang, pemilik pabrik, dan anak presiden. Mereka mampu berada di puncak kelas sosial karena memiliki uang dan kekuasaan. 

Uraian yang disampaikan adalah cerminan realitas kehidupan kita hari ini. Setelah mendengar jawaban peserta, saya memberikan pertanyaan kembali kepada peserta, “Lebih banyak mana jumlah orang yang tidak bisa maju dengan lancar, dibandingkan dengan mereka yang bisa maju beberapa langkah saja atau bahkan tidak dapat maju sama sekali?” 

Berbagai responden bermunculan dari peserta. Butuh waktu beberapa menit untuk mengatur kembali sesi diskusi. Hal ini perlu dilakukan agar peserta tidak mengalami kebingungan. Stimulan kemudian dibutuhkan agar bisa mengatur fokus kembali. Caranya dengan memberikan penjelasan tentang makna dari permainan yang sedang dilakukan.  

Permainan tentang “Siapa yang diuntungkan?” mengajak peserta untuk bisa memahami dengan cara yang lebih mudah tentang konsep “keadilan substantif”. Dalam konsep tersebut, setiap orang seharusnya mendapatkan perlakuan yang adil dan hidup sejahtera, serta menikmati kehidupan yang bermakna. Hal tersebut merupakan hak dasar dari setiap manusia. Namun, kondisi yang terjadi justru sebaliknya. Hanya segelintir orang saja yang bisa menikmati kesejahteraan dan akses tersebut; artinya dalam hidup ini terjadi masalah ketidakadilan. 

Konsep keadilan substantif seharusnya adil secara prosedural atau proses dan juga adil secara hasil dengan kata lain memiliki hasil yang sama. Jika orang yang diperlakukan sama secara proses, namun berbeda secara hasil, artinya telah terjadi praktik diskriminatif. Sebaliknya, apabila seseorang telah diperlakukan adil secara proses dan sama atau lebih baik secara hasil, maka keadilan tersebut telah substansial.


Serikat Buruh Sebagai Organisasi Massa

Setelah menjelaskan, saya kemudian memberikan kembali pertanyaan kepada peserta “Apakah kawan-kawan percaya, bahwa serikat buruh bisa membawa perubahan yang baik terhadap kondisi kerja kawan-kawan sekalian?” Semua peserta mengatakan, “Bisa!”. 

Benar apa yang dikatakan oleh peserta. Serikat buruh adalah alat perjuangan yang bertujuan untuk menciptakan kondisi kerja menjadi lebih baik. Sehingga, kehadiran organisasi serikat buruh dapat memberikan manfaat kesejahteraan bagi anggota beserta keluarganya. Hanya saja, organisasi serikat buruh membutuhkan prasyarat untuk bisa melakukan hal tersebut. 

Pertama, karena serikat buruh adalah sekumpulan buruh yang menyatukan dirinya dalam sebuah organisasi, maka segala sesuatu yang berhubungan dengan perjuangan buruh, harus dilakukan secara kolektif atau bersama-sama dan bukan sesuatu hal yang hanya dilakukan individu. Karena kekuatan buruh terletak dalam jumlah, bukan pada tataran keterampilan individu dalam berdebat dan menguasai peraturan perundangan. 

Kedua, karena serikat buruh dibangun dalam bentuk kepemimpinan kolektif, maka dalam corak kerjanya: mulai dari merumuskan kegiatan hingga tataran penerapan adalah proses perwujudan ide kolektif dan memiliki pembagian tugas yang jelas.

Sayangnya kini tidak semua proses pembentukan serikat buruh mencerminkan gagasan-gagasan asli atau genuine. Karena itu di lapangan kita akan menemukan perbedaan antara serikat buruh asli atau sejati dengan serikat buruh palsu. 

Serikat buruh asli muncul dari keinginan buruh dan dijalankan oleh buruh, untuk buruh, dan dari buruh. Sedangkan, serikat buruh yang palsu adalah organisasi yang kemunculannya karena kepentingan pengusaha atau pemerintah. Beberapa pengurusnya mendapatkan pembiayaan dari pihak yang berkepentingan. Begitu juga dengan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan mendapat sokongan pendanaan dari pihak pengusaha atau pemerintah untuk tujuan penundukan. 

Keberadaan serikat buruh palsu, sangat merugikan posisi buruh yang tulus berjuang untuk menciptakan kesejahteraannya. Kita bisa lihat ciri-ciri dari serikat palsu tersebut dari banyak hal. Alat pemeriksaan dapat dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan: pertama, bagaimana organisasi mereka menerapkan prinsip kemandiriannya? Sementara, serikat buruh asli hanya bergerak karena mewakili kepentingan anggota atau buruh yang termarginalkan. Bukan melayani atau menghamba pada oleh orang lain, terlebih kelas yang menindasnya.  

Pada segi pendanaan misalnya, serikat buruh tidak boleh bergantung pada pihak di luar serikat, baik itu pengusaha, pemerintah, maupun lembaga-lembaga swasta–termasuk lembaga swadaya masyarakat atau NGO sekalipun. Serikat buruh harus mandiri dalam hal pendanaan. Iuran anggota harus menjadi sumber dana yang utama. Jika sumber dana yang utama adalah sumbangan dari pengusaha, pemerintah, atau suatu lembaga swasta, serikat yang bersangkutan tidak bisa disebut mandiri. 

Organisasi serikat buruh dikatakan mandiri apabila proses merumuskan agenda organisasi dan mengambil keputusan dilakukan dengan melibatkan partisipasi anggota biasa secara penuh. Rapat pengurus dan rapat umum merupakan situs dari proses perumusan dan pengambilan keputusan serikat. Sebaliknya, jika keputusan serikat dibuat dalam rapat antara pengurus dengan pengusaha, pengurus dengan pemerintah, atau pengurus dengan lembaga swasta, serikat itu juga tidak bisa disebut mandiri.

Biasanya juga serikat buruh palsu tidak memiliki prinsip demokratis dalam menjalankan tugas-tugas organisasi. Ciri yang pertama, selalu menjaga jarak dari anggotanya setiap keputusan penting yang menyangkut keorganisasian tidak melibatkan keanggotaan. Kedua, hanya mewakili kepentingan seseorang atau segelintir elit pimpinan saja dalam organisasi. Sementara, anggota tidak pernah dilibatkan dalam proses partisipasi yang bermakna dalam merumuskan agenda dan mengambil keputusan organisasi. 

Dalam hal melakukan advokasi, serikat buruh palsu biasanya memberi jarak antara pengurus dan anggota yang sedang berkasus. Beberapa kasus yang ditemui, sebagai pengurus atau pimpinan serikat mengklaim dirinya sebagai perwakilan anggota serikat dalam hal advokasi, namun perlakuan mereka dalam menangani kasus tidak pernah transparan, menutup keterlibatan anggota, menempatkan anggota hanya sebagai klien yang menerima hasil, dan juga kadang meminta imbalan yang seharusnya tidak dibebankan kepada anggota. Padahal, selama anggota hidup dalam organisasi mereka telah dipajaki untuk membayar iuran organisasi. Karena itu, cara-cara meminta imbalan saat anggota berkasus tidak dibenarkan. Sehingga, penanganan kasus seharusnya adalah sebuah bentuk kerja-kerja serikat yang sudah melekat dalam tugas dan fungsi serikat buruh.

Secara sederhana, saya mencoba untuk menyarikan tentang prinsip-prinsip demokratis dalam organisasi serikat buruh. Hal ini mungkin berguna untuk khalayak pembaca dalam membedakan: mana serikat buruh asli dan mana serikat buruh palsu. Karena itu ada delapan ciri yang sekiranya bisa menjadi penanda: 

  1. Semua anggota mendapatkan hak dan kewajiban yang sama. Semua anggota harus terwakili dalam proses pembuatan keputusan. Keputusan itu pada akhirnya harus mencerminkan kepentingan mayoritas anggota serikat buruh.
  2. Para anggota harus mendapat prioritas untuk memahami peraturan serikat, sehingga mereka tidak ragu untuk berperan aktif.
  3. Pengurus harus dipilih secara berkala melalui pemungutan suara langsung, secara tertulis dan tertutup atau rahasia. Di samping itu pengurus bisa diberhentikan atau dicopot dari posisinya, jika kinerjanya tidak memuaskan mayoritas anggota.
  4. Setiap kegiatan dan kebijakan yang diambil oleh organisasi boleh diketahui oleh seluruh anggota biasa. Selain itu, setiap kegiatan yang dirancang dan kebijakan yang diambil melibatkan usulan dari anggota biasa.
  5. Serikat buruh asli selalu menempatkan pengurus dan anggota merupakan satu-kesatuan yang saling menguatkan satu sama lain. Para pengurus membuka diri terhadap keterlibatan anggota dan melibatkan anggota dalam suatu proses pengambilan keputusan. 
  6. Selain itu, pengurus juga memperhatikan kebutuhan anggota untuk bisa mengakses informasi secara inklusif. Karena itu, biasanya mereka mempersiapkan ragam media yang dapat mendekatkan pengurus dan anggota. Beberapa di antaranya, seperti agenda pendidikan dan konsolidasi yang rutin yang dilakukan secara tatap muka. Sehingga, hal itu dapat merangsang partisipasi anggota untuk terlibat lebih aktif dalam kegiatan organisasi. 
  7. Di sisi lain, serikat buruh asli juga memberikan pelajaran penting, bahwa bukanlah hasil akhir saja yang menjadi penting untuk menjadi capaian, namun titik tekanan ada pada aspek proses sebagai pembelajaran yang utama. Dengan begitu serikat buruh berhasil menjadi organisasi pembelajar bagi semua orang.

Kedelapan corak yang telah saya sampaikan adalah tangkapan pengalaman saya secara sederhana. Pada kenyataannya alat periksa tersebut bisa terus bertambah dan mungkin lebih banyak, seperti daftar belanja bulanan.

Editor: Syaukani Ichsan

ARTIKEL LAINNYA

Brutalitas Negara dan Sejumlah Alasan Mengapa Polisi Dibenci
Menuju Negara Leviathan dalam Selubung Demokrasi: Wacana Penambahan Kodam dan RUU Penyiaran
Klub Sepak Bola Alternatif: Sebuah Harapan dan Autokritik
Rumah Kaca Dago Elos, Keadilan Membusuk

Temukan Artikel Anda!