Pada tulisan sebelumnya, saya telah menjelaskan tentang konsep tatapan berlawan yang tidak sepenuhnya bisa digunakan untuk menilai film-film dokumenter di Papuan Voices. Meskipun kerangka tatapan berlawan tidak sepenuhnya cocok, konsep ini mampu memperkenalkan konsep tatapan emansipatif.
Melalui film-film dokumenter yang diceritakan oleh orang Papua sendiri, penonton non-Papua dapat membangun kesadaran kritis untuk menentang stigma-stigma absurd tentang orang Papua dan mengekspresikan solidaritas. Selain itu, film dokumenter Papuan Voices dapat mendorong penonton untuk merenungkan hidup mereka sendiri dan menyadari bahwa keadilan adalah sesuatu yang layak diperjuangkan.
Selain tatapan berlawan, secara umum kerangka pemikiran bell hooks berangkat dari akar sejarah dan sosial yang spesifik. Untuk melihat Papua yang berbeda secara historis, antropologis, sosial dari konteks perbudakan di Eropa dan Amerika, diperlukan sikap reflektif (Candraningrum, 2021: 205). Dalam esai berjudul Homeplace: A Site of Resistance, bell hooks (2015: 82-83) menulis begini:
Penting untuk mencermati kata home dalam kutipan di atas yang diberi tanda petik oleh bell hooks. Tulisan ini, lagi-lagi meminjam tafsir Dewi Candraningrum (2021: 205), mengartikan home dalam tanda petik sebagai latar sejarah dan kondisi sosial perempuan Papua memiliki akar yang berbeda. Tafsir itu berhasil mendudukkan karya dan aktivisme bell hooks agar menjadi inspirasi pada praktik-praktik dominasi di seluruh dunia. Termasuk penindasan berlapis yang dialami perempuan Papua.
Selama tahun 2013-2018, mama-mama dan perempuan di Papua mengalami KDRT dan kekerasan negara karena stigma separatis (Wandita dkk., 2019). Kekerasan kepada perempuan di Papua berupa penahanan ilegal, penyiksaan, hilangnya tanah adat, kehilangan atau kerusakan properti, suami atau anggota keluarga ditahan, upaya penembakan, kekerasan seksual, dan suami atau anggota keluarga yang dihilangkan (Wandita dkk., 2019: 21).
Tato separatis yang dilekatkan negara pada tubuh perempuan-perempuan di Papua berimplikasi terhadap kehidupan anak-anak mereka. Sebagian besar anak-anak Papua mengalami pelbagai macam bentuk diskriminasi, sehingga mereka sulit mengakses kebutuhan dasar: pendidikan, kesehatan, dan kehidupan layak sebagai warga negara. Secara tidak langsung negara sedang mendorong orang Papua untuk ke jurang kemiskinan.
Secuil contoh kekerasan berlapis yang dialami anak perempuan di Papua diabadikan dalam film dokumenter berjudul “Suara Mama Fin”. Film ini diproduksi pada 20 April 2016 di Timika. Sepanjang sepuluh menit, Mama Fince Womsiwor menceritakan pengalamannya bersinggungan dengan anak-anak Pekerja Seks (PS) di Timika. Alasan anak-anak itu menjadi PS kebanyakan disebabkan oleh masalah struktural.
Tidak sedikit jumlahnya anak-anak Papua yang harus memasuki dunia kerja lebih awal, karena mereka ditelantarkan oleh kedua orang tuanya yang bercerai. Kondisi kerentanan tersebut membuat anak-anak Papua kerap mengalami kekerasan saat menjalani pekerjaannya. Kekerasan yang dialami berupa: upah yang tidak dibayarkan, penelantaran, bahkan hingga perampokan. Mereka juga tidak mendapatkan jaminan perlindungan atau jaminan sosial dasar oleh otoritas setempat. Pada konteks pekerja seks anak, justru sebagian besar ‘pelanggan’ tetap adalah pejabat dan pegawai negeri sipil (PNS) di Papua.
Tidak hanya kekerasan struktural dan pelabelan buruk dari negara, orang-orang Papua juga kerap mendapatkan kekerasan verbal berupa makian dalam kehidupan sehari-hari mereka. Di tengah situasi tersebut, maka satu-satunya akses ekonomi yang memungkinkan untuk melanjutkan hidup adalah menjadi pekerja seks.
Tentu mereka sadar dengan resiko yang dipilih, meskipun begitu, setidaknya mereka memiliki keberanian untuk menjalani pekerjaan tersebut. Sembari tetap menjaga spirit bertahan hidup di tengah struktur sosial dan praktik kultural yang brengsek. Spirit yang ada di dalam diri mereka itu, layak dibaca sebagai isyarat radikal menghadapi dominasi dan penindasan. Pembacaan demikian bukan disebabkan karena mereka menderita, tapi lebih pada perjuangan mereka untuk tetap bertahan di tengah penderitaan yang tak tepermanai.
Usaha untuk terus memperjuangkan sesuatu yang memang hak mereka, termasuk gestur subversif yang radikal. Kondisi demikian, dalam pandangan bell hooks, akan diingat secara terhormat. Tidak peduli norma-norma sosial yang sedang berlaku, sebab mereka ditindas karena sistem yang beroperasi.
Sebagai anak perempuan Papua mereka tidak mendapat perlindungan dari pemerintah setempat. Bahkan, pemerintah setempat melalui pejabat dan PNS turut menjadi pelanggan, ketimbang mengambil tindakan untuk menciptakan kondisi kerja yang lebih layak. Dalam kondisi tersebut, orang Papua tidak hanya orang mengami dominasi berbasis gender. Pada saat yang bersamaan, anak-anak perempuan Papua, juga ditindas karena status kelas sosial mereka.
Penindasan seperti itu mau tidak mau menciptakan ingatan kolektif pada anak-anak perempuan pekerja seks tersebut. Ingatan kolektif membuka kesempatan untuk menyadari, bahwa mereka tumbuh di lingkungan yang tidak adil. Kesadaran dari pengalaman bersama itulah, akar dari resistensi.
Resistensi bertujuan agar individu atau kelompok marginal bisa merasakan dirinya secara penuh-seluruh setelah hak-hak dasar sebagai manusia dirusak oleh sistem. Ingatan kolektif pada anak-anak perempuan pekerja seks dibangun karena kesamaan perasaan. Kesamaan perasaan yang turut menciptakan energi agar terus melanjutkan hidup.
Film dokumenter “Kisah Ema” diawali dengan cerita Ema yang terpaksa kehilangan suaminya, karena konflik yang terjadi di daerah Nabire. Diceritakan saat itu suami Ema, Willem Manimwarba, sedang mendirikan posko di Taman Gizi. Posko itu mengibarkan bendera merah-putih dan bintang kejora selama kurang lebih satu bulan sebelum polisi datang dan melakukan penembakan ke arah posko. Willem sempat dibawa ke rumah sakit, seturut kesaksian dokter, Willem dibunuh secara sadis. Ketika konflik terjadi, Ema sedang melaksanakan tugas negara di Enarotali sebagai suster.
Monika menjadi korban salah tangkap polisi. Tanggal 6 Agustus 2009 Monika ditangkap polisi di pasar Karang. Saat Monika sampai di pasar Karang untuk belanja, ada kerumunan massa yang juga turun untuk demo di pasar itu. Tak lama polisi datang menutup jalan keluar Monika. Seketika Monika bingung, berdiri menghadap dinding pasar. Setelah itu polisi menangkap Monika, ia dihajar dengan rotan tiga puluh kali.
Pukul sepuluh siang ia dibawa ke kantor polisi. Sesampainya di sana, ia dihantam sepatu laras oleh anggota polisi bernama Nelce Makabori. Setelah dipenjara dua bulan enam puluh empat hari, Monika disidang di pengadilan.Pengadilan memutuskan Monika bersalah dan dihukum penjara selama dua setengah tahun. Hal itu menyebabkan suami Monika stres dan akhirnya meninggal dunia. Monika menyimpan ingatan pahit ini.
Cerita ketiga dari Damela Zonggonau yang mengalami KDRT dan ancaman. KDRT dilakukan suaminya sampai mata sebelah kanan buta. Delapan anaknya turut membenci Damela hingga ia diusir dari rumah. Dalam film, Damela mengatakan bahwa dia punya masalah seperti itu, tapi tidak tahu harus lapor ke mana. Ia juga tidak mendapat perlindungan sedikit pun. Pengalaman-pengalaman traumatik itu ia harapkan tidak terjadi lagi.
Suara tiga perempuan Papua itu dirangkai membentuk wadah bernama Honai Perempuan untuk Perdamaian. Wadah tersebut menjadi lokasi penanaman resistensi mereka, membuka ruang untuk membangun sekaligus memelihara spirit perjuangan keadilan. Honai Perempuan untuk Perdamaian, meminjam istilah bell hooks, ialah “homeplace”.
Salah satu basis analisis dari konsep “homeplace” dibangun dari cerita Frederick Douglass dengan ibunya. Frederick Douglass adalah seorang Afrika-Amerika yang berhasil kabur dari perbudakan di Amerika. Ia dikenal sebagai reformis abad 19 yang lantang menentang perbudakan di Amerika. Satu karya terkenal Douglass pada tahun 1845 berbicara tentang riwayat hidupnya.
Douglass merasa tidak menikmati hubungannya dengan ibu, karena mereka hanya bisa bertemu di malam hari. Ibunya bekerja di rumah Stewart yang berjarak kurang lebih 19,2 kilometer dari rumah Douglass. Jarak sepanjang itu ditempuh dengan berjalan kaki oleh ibu Douglass. Aturan Stewart menuntut ibu Douglass sudah berada di rumah Stewart saat matahari terbit. Ibunya baru pulang ketika semua pekerjaan selesai, sehingga hanya bisa bertemu Douglass di malam hari.
Dia menemani Douglass saat tidur hingga bangun. Ketika Douglass bangun, sang ibu telah tidak ada disisinya lagi, lantaran sang ibu harus berangkat ke rumah Stewart. Relasi tidak menyenangkan dalam pikiran Douglass, boleh jadi karena ia menganggap ketangguhan ibunya untuk menemani Douglass kecil di malam hari, semata-mata sebagai peran ‘alamiah’ yang memang harus ibunya lakukan. Dalam konteks patriarchal white supremacist, apa yang dilakukan ibu Douglass selayaknya dilihat sebagai pilihan politis.
bell hooks menawarkan cara pandang yang amat berbeda. Ia melihat apa yang dilakukan ibu Douglass sebagai bentuk resistensi. Betapa tangguh ibu Douglass memeluk Douglass di malam hari setelah melalui hari yang melelahkan sekaligus menjengkelkan. bell hooks (2015: 81) mengatakan,
Memeluk Douglass di malam hari adalah usaha ibunya untuk memberi ruang aman agar Douglass kecil tak merasakan dehumanisasi di tengah sistem yang amat brengsek. Sekalipun samar-samar, ungkapan Douglass, mencerminkan struktur dominasi laki-laki terhadap perempuan, keengganan mengakui bentuk resistensi perempuan kulit hitam dalam lingkup patriarchal white supremacist, hanya menggembosi perjuangan kebebasan itu sendiri. Kegagalan Douglass melihat peran ibunya sebagai pilihan politis, keberanian, ketangguhan ialah sebentuk kelalaian yang berbahaya. Itulah alasan bell hooks mengadopsi cerita Douglass, menawarkan lensa baru yang jauh lebih jernih, inklusif, sekaligus berdaya.
“Homeplace” adalah tempat berbagi yang diciptakan, dihidupi, dipelihara, diperuntukkan bagi perempuan kulit hitam. “Homeplace” dalam konsep bell hooks menjadi penting, sebab menjadi satu-satunya tempat (recover) yang dituju saat kelompok dominan berusaha meluluhlantakkan, mencacah jadi bagian-bagian kecil keluarga kulit hitam.
Keberanian Ema, Monika, dan Damela untuk memulai, membuka ruang, dan membagi pengalaman-pengalaman mereka menolak dehumanisasi adalah sebentuk resistensi dalam bayangan bell hooks. Pilihan mereka membangun Honai Perempuan untuk Perdamaian pantas dilihat sebagai pilihan politis. Sebab, merujuk pada bell hooks (2015: 85), ketika hal itu tak dilihat secara politis akan berdampak negatif ke kesadaran politis identitas kulit hitam.
Dalam ruang Honai Perempuan mereka bisa saling mengafirmasi pengalaman, kemenjadian, dan cinta yang dibutuhkan, serta sekaligus membangunkan kesadaran kolektif. Walaupun bell hooks membangun konsep “homeplace” dalam kerangka “merawat-mempertahankan” yang sedikit berbeda dengan latar berdiri Honai Perempuan untuk Perdamaian, namun konsep itu tetap membantu untuk membaca praktik kehidupan sehari-hari perempuan di Papua sebagai bentuk resistensi. Honai Perempuan untuk Perdamaian adalah wadah solidaritas perjuangan atas hak-hak mereka sebagai perempuan Papua. Akhir film Kisah Ema menceritakan bila masyarakat Papua kerap dicap separatis.
Pelabelan itu hanya menimbulkan kekerasan-kekerasan baru yang sering berujung konflik. Menurut Ema, ada hal lebih penting yang perlu diperhatikan, yaitu pemerataan kesejahteraan. Masyarakat Papua sudah terasing di tanah leluhurnya sendiri. Ketimpangan akses ekonomi, pendidikan, layanan kesehatan, hukum, dan jaminan sosial ditengarai menjadi sebabnya. Kondisi itu yang dilihat bell hooks sebagai praktik dehumanisasi sistematis.
Perempuan Papua diletakkan di ujung jurang dan ditempatkan dalam posisi rentan. Rasanya tak elok bila perlawanan hanya dilihat dalam bentuk pawai demonstrasi atau praktik diplomasi semata. Hal lain juga tidak kalah penting, membangun ruang aman dan solidaritas untuk mendorong keadilan bagi perempuan-perempuan Papua.
Papuan Voices berusaha menghajar ketimpangan yang direproduksi media sekaligus menyamarkan gagasan dan ide mereka. Ketimpangan hasil reproduksi media arus utama akan selalu mempengaruhi cara pandang kita terhadap orang Papua.
Apabila representasi media arus utama dijadikan legitimasi untuk menganggap orang Papua tak ubahnya ‘monyet’, maka kita sudah melakukan kekerasan kepada mereka. Identitas berbasis ras, etnis, dan gender yang melebur dalam film dokumenter mereka, adalah proses menghadirkan suara-suara orang Papua sebagai bentuk perlawanan.
Mungkin banyak dari kita yang sudah merasa muak, jengkel dan payah terhadap kondisi yang terjadi Papua. Begitu juga dengan para inisiator Papuan Voices—jika boleh dikata—yang marah karena ketidakadilan terhadap orang-orang Papua. Diskriminasi kepada orang Papua memang menjadi situs penindasan, tetapi di situ pula benih-benih perlawanan yang telah ditabur kelompok dominan kian tumbuh dan mengakar. Protes dalam bentuk apapun harus dilakukan, sebab dominasi selalu melahirkan penindas yang mesti dipermalukan.