Aliansi Perempuan Indonesia (API) melakukan deklarasi Manifesto Politik Perempuan Gugat Negara secara daring pada Sabtu (21/12/2024). Acara ini dihadiri oleh Septia Dwi Pertiwi dan organisasi serta komunitas perempuan dari berbagai sektor.
API menilai rezim baru Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam program kerja 100 hari Asta Cita tidak menilai situasi kekerasan perempuan dalam kondisi darurat. Diskriminasi dan kekerasan perempuan yang kian hari semakin meningkat tidak jadi perhatian rezim baru hari ini.
“Rezim Prabowo-Gibran hanya melanjutkan kebijakan rezim lama Jokowi dan menganggap kekerasan yang dialami perempuan tidak penting,” ujar Mutiara Ika Pratiwi, perwakilan Perempuan Mahardika.
Kasus kriminalisasi yang dialami Septia Dwi Pratiwi adalah salah-satu contoh. Ia adalah seorang buruh perempuan yang dikriminalisasi mantan atasannya di PT Hive Five milik John LBF. Padahal, yang ia lakukan hanya berkomentar pada laman status X seseorang, mengenai pengalaman diskriminasi yang ia alami sewaktu bekerja di perusahaan tersebut.
“Gaji di bawah UMP, pemotongan gaji tanpa alasan [jelas], tidak adanya slip gaji, tidak adanya BPJS,” ujar Septia, via Zoom.
Senada dengan itu Eca, perwakilan Arus Pelangi, menyampaikan keprihatinan dan dukungannya kepada Septia yang tengah mengalami kriminalisasi oleh mantan atasannya: John LBF.
“Hanya karena ia menyuarakan pendapatnya, tapi mendapatkan diskriminasi,” ujarnya.
Lebih lanjut, menurut Eca, hal tersebut dapat terjadi karena penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan John LBF.
“Karena seorang yang memiliki uang dan kekuasaan,” ujarnya.
Untuk itu, Fani perwakilan API, menyampaikan manifesto politik ini juga bertujuan memberi dukungan terhadap setiap perempuan yang mengalami diskriminasi dan kekerasan di mana pun.
“Pesan dari manifesto ini adalah perjuangan yang menyuarakan semua perempuan yang mendapat diskriminasi,” ujarnya.
Septia pun berharap, semoga ke depannya tidak ada lagi suara-suara perempuan yang disingkirkan hanya karena jenis kelaminnya. “Karena wanita itu selalu dianggap lemah. Harus nurut, tidak boleh membantah. Padahal kita berhak bersuara, memilih apa pun yang kita mau untuk hidup kita,” ujarnya.