Aliansi Masyarakat Adat Menggugat membantah klaim kepolisian bahwa 11 warga adat Maba Sangaji yang ditetapkan sebagai tersangka dalam aksi penolakan aktivitas tambang PT Position di Halmahera Timur, Maluku Utara (Malut), melakukan aksi premanisme bersenjata tajam.
Koordinator aksi Aliansi Masyarakat Adat Menggugat, Amin Tasim, menyebut tuduhan tersebut tidak berdasar. Sebab, kata dia, warga sehari-harinya memang membawa parang sebagai alat kerja mereka di kebun.
“Parang yang dibawa warga bukan untuk mengancam, tapi alat kerja yang biasa mereka bawa ke hutan. Mereka petani, bukan preman,” kata Amin saat dihubungi, Senin (19/5/2025).
Amin menilai penetapan status tersangka warga adat Maba Sangaji oleh Polda Malut tidak dapat membuktikan adanya unsur pelanggaran tindak pidana. Oleh karena itu, ia mendesak Polda Malut segera membebaskan 11 warga adat Maba Sangaji yang ditangkap saat melakukan aksi pada Jumat (16/5/2025) tersebut.
Peneliti Energi dan Agraria di Sajogyo Institute, Be’n Habib, menilai tuduhan premanisme Polda Malut kepada warga adat Maba Sangaji merupakan preseden buruk bagi warga adat yang mempertahankan ruang hidup yang sehat.
“Padahal, sudah jelas mereka adalah warga yang dirugikan karena hutan dan sungai tempat mereka menggantung hidup telah tercemar akibat aktivitas tambang PT Position,” ujar Habib dalam kesempatan terpisah, Senin.
Habib pun membantah Polda Malut yang menyudutkan warga sebagai preman. Menurutnya, penolakan aktivitas tambang nikel PT Position merupakan gerakan warga adat Maba Sangaji sekaligus warga terdampak.
“Wilayah Izin Usaha Tambang (IUP) milik PT Position berada di area masyarakat kesukuan Maba Sangaji. Dan kawasan hutan tersebut diakui secara historis oleh warga sebagai wilayah adat,” jelas Habib.
Tak hanya dituding terlibat aksi premanisme, warga yang melakukan aksi tersebut juga mengalami tindak kekerasan dari aparat kepolisian. Berdasarkan foto yang diterima Diakronik.com, beberapa warga mengalami luka lebam di wajah, dada, dan bagian atas pelipis. Ada pula warga yang mengalami luka robek di bagian kaki.

Habib menilai, praktik kekerasan dan intimidasi yang dialami oleh warga adat Maba Sangaji merupakan cara kerja dari industri ekstraktivisme. Sebagai industri dengan karakter ekstraktivisme, lanjut Habib, PT Position memiliki kecenderungan menduduki suatu kawasan secara total.
“Nah termasuk hutan ini, mereka (PT Position) punya kebutuhan untuk pendudukan teritorial secara total, maka mereka membutuhkan aparatur kekerasan, TNI atau Polisi, untuk mengontrol mobilisasi orang-orang atau menjaga wilayah operasi tambang, agar tidak mengganggu jalannya pengerukan tambang,” ucap Habib.
Sebelumnya, sebanyak 27 warga adat Maba Sangaji, Kecamatan Kota Maba, Halmahera Timur, Maluku Utara, ditangkap aparat kepolisian, Senin (19/5/2025), buntut dari aksi penolakan tambang oleh warga terhadap aktivitas tambang PT Position.
Dalam aksi yang berlangsung pada Jumat (16/5/2025) sekitar 27 warga melakukan aksi protes damai di area konsesi tambang milik PT Position. Mereka melakukan sumpah adat dan menancapkan bendera sebagai simbol penolakan aktivitas tambang.
Namun, aksi damai itu berujung dengan kericuhan. Aparat kepolisian melakukan penangkapan kepada seluruh massa aksi.
Kabid Humas Polda Malut Kombes Bambang Suharyono mengatakan, dari 27 warga yang ditangkap, sebanyak 11 warga telah ditetapkan sebagai tersangka.
Bambang menyebut para tersangka diduga melanggar beberapa pasal, di antaranya; Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Kepemilikan Senjata Tajam Tanpa Izin dengan ancaman hukuman hingga 10 tahun penjara; Pasal 162 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara, yaitu tindakan menghalangi atau merintangi kegiatan usaha pertambangan yang telah memiliki izin, dengan ancaman pidana 1 tahun penjara, dan; Pasal 368 ayat 1 Jo Pasal 55 ayat 1 KUHP terkait dugaan tindak pemerasan dan pengancaman.

Sebagai informasi, dilansir dari laman resmi PT Harum Energy (HRUM), PT Position merupakan entitas anak tidak langsung dari PT Harum Energy yang berdiri sejak 2007 dan beroperasi di wilayah Halmahera Timur, Maluku Utara.
Melalui situs Minerba One Data Indonesia (MODI), diketahui, PT Position telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi Mineral Logam, dengan jenis produksi bijih nikel bernomor 61/1/IUP/PMA/2017.
IUP tersebut berlaku selama 20 tahun, terhitung sejak 12 Desember 2017 hingga 12 Desember 2037, dengan wilayah operasi tambang seluas 4.017 hektar.
Meskipun izin diperoleh sejak 2017, aktivitas penambangan baru berjalan pada akhir 2024, tepat di area kawasan hutan yang semula difungsikan oleh warga adat Maba Sangaji, Kecamatan Maba Tengah, Kabupaten Halmahera Timur, sebagai kebun pala dan aneka tanaman produktif lainnya.
Berdasarkan hasil pendokumentasian Aliansi Masyarakat Adat Menggugat per 17 April 2025, total pembabatan hutan Maba Sangaji telah mencapai 730 hektar.

Tak hanya kawasan hutan yang rusak, sungai Maba Sangaji yang menjadi air utama bagi warga adat Maba Sangaji tercemar limbah tambang. Padahal, sungai tersebut telah digunakan oleh warga Maba Sangaji selama bertahun-tahun untuk kebutuh konsumsi rumah tangga.
Hasil pemantauan Sajogyo Institute bersama warga Maba Sangaji menemukan bahwa sungai tersebut telah keruh berwarna kecoklatan dan penuh lumpur. Bahkan, pada 2024, bencana banjir melanda desa Maba Sangaji untuk pertama kalinya sejak PT Position beroperasi.
Sejak sungai Maba Sangaji dan anak-anak sungai mengalami kerusakan, warga tani yang biasa menggarap lahan di hutan, kini sudah tidak bisa lagi mengambil air dari aliran sungai. Sehingga, warga harus membawa air minum dari rumah.