Gelombang protes di berbagai wilayah di Indonesia sudah berlangsung nyaris sepekan. Aksi massa yang mulanya tertuju pada melambungnya gaji dan tunjangan anggota DPR, kemudian memasuki babak baru usai seorang pengemudi ojek online (ojol), Affan Kurniawan, tewas dilindas polisi dengan kendaraan taktis (rantis) Brimob Polda Metro Jaya.
Saat itu, pada Kamis (28/8/2025) sekitar pukul 19.25 WIB, Affan diketahui tengah mengantar pesanan makanan untuk pelanggan di kawasan Rumah Susun Bendungan Hilir II, Jakarta Pusat. Bersamaan dengan itu, aparat kepolisian tengah membubarkan paksa para demonstran yang sebelumnya telah bertarung melawan gas air mata di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta.
Saat hendak menyeberang jalan, Affan ditabrak rantis Brimob yang sedang melaju ngebut di tengah ribuan demonstran. Affan pun langsung tersungkur di hadapan mobil lapis baja itu. Tanpa pikir panjang, sang sopir justru dengan tega melindas pemuda berusia 21 tahun itu dan meninggalkan kerumunan.
Setelah mendapatkan perawatan medis selama beberapa jam, Affan dinyatakan meninggal dunia di RSCM, Jakarta Pusat. Bagi kedua orang tua, kakak laki-laki, adik perempuan, dan para sahabatnya, sosok Affan yang penuh senyum di balik helm hijaunya kini, hanya bisa dikenang melalui ingatan.
Kematian Affan Kurniawan bukan hanya menjadi memoar kelam tentang brutalitas aparat dalam menangani aksi protes, tetapi juga mencerminkan kondisi kerja buruk yang dialami oleh para buruh ojol dengan tingkat risiko kematian tinggi dalam bekerja.
Ada banyak faktor yang berkontribusi meningkatkan risiko kematian buruh ojol dalam bekerja. Pertama, tempat kerja buruh ojol adalah di jalanan dengan medan yang tidak bisa diprediksi. Ini menjadi faktor risiko kerja yang harus ditanggung sendiri oleh buruh ojol. Jika menolak perintah kerja (order), maka konsekuensinya performa akun menurun alias “anyep”, yang berdampak pada pendapatan.
Kedua, sistem pengupahan buruh ojol yang eksploitatif lantaran berbasis pada satuan hasil atau trip perjalanan. Sebagai gambaran: semakin panjang waktu kerja dan semakin jauh jarak yang ditempuh, maka akan semakin tinggi pula kemungkinan pendapatan yang diperoleh.
Di atas kondisi kerja itulah para buruh ojol menciptakan perputaran ekonomi nasional. Maka, tidak heran jika pada malam itu Affan secara kebetulan berada di tengah kerumunan massa aksi untuk mengantarkan makanan karena dia dan keluarga, yang menjadi tanggungannya, juga harus makan.
Kematian Affan Kurniawan menjadi gambaran jelas dari bentuk kekerasan ekonomi berlapis, yakni kondisi kerja buruk dan kegagalan negara dalam menjamin penghidupan serta pekerjaan layak.
Ironisnya, Affan mati dibunuh tepat 11 hari setelah Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan ke-80 pada 17 Agustus 2025 lalu. Kemerdekaan yang seharusnya dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia justru hanya dinikmati oleh pejabat dan pemegang kuasa.
Bagi mereka, kemerdekaan dapat ditemukan di segala tempat, baik di atas kasur, di dalam mobil, di meja makan, maupun di lobi hotel bintang lima. Tapi tidak bagi Affan. Kemerdekaan bahkan tidak ia temukan di bawah kolong mobil seberat 12 ton yang dia bayarkan melalui pajak setiap harinya.
Pajak untuk “Menembak”
Affan hanyalah satu di antara 286 juta rakyat Indonesia yang diwajibkan negara membayar upeti feodal alias pajak. Negara kemudian membelanjakan pajak itu untuk berbagai keperluan, salah satunya untuk pengadaan rantis Polri.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Trend Asia dan KontraS, dari tahun 2020 hingga 2024, setidaknya Polri menggelontorkan dana Rp1,93 triliun untuk pembelian kendaraan taktis dan kendaraan khusus dengan total 98 unit. Rentang harga per unit dari masing-masing kendaraan ini berkisar antara Rp3-75 miliar.
Anggaran Korps Bhayangkara yang naik juga tak luput dari sorotan. Meskipun menjadi salah satu lembaga yang terkena dampak kebijakan efisiensi anggaran pada 2025, nyatanya anggaran Polri terus naik dalam 5 tahun terakhir.
Pada 2022, realisasi anggaran Polri dari APBN sebesar Rp114,24 triliun, 2023 sebesar Rp119,85 triliun, dan 2024 sebesar Rp136,56 triliun.
Sementara itu, perkiraan (outlook) anggaran Polri dari APBN 2025 sebesar Rp138,54 triliun. Dalam RAPBN 2026, anggaran belanja untuk Polri sebesar Rp145,65 triliun atau naik 5,12 persen dari outlook 2025.
Penambahan anggaran Polri pada 2026 jelas tidak merujuk pada evaluasi rentetan peristiwa kekerasan hingga penghilangan nyawa yang diduga dilakukan aparat selama belakangan ini. Pada 2019, massa aksi yang menyuarakan #ReformasiDikorupsi ditembaki gas air mata, dipukul, ditendang, bahkan beberapa di antaranya meregang nyawa saat aksi di DPR dan di sejumlah wilayah.
Kemudian pada 2020, demonstran penolak Omnibus Law menghadapi kekerasan yang berulang dari aparat kepolisian.
Tragedi kemanusiaan terkelam dalam sejarah sepak bola Indonesia pun terjadi pada awal Oktober 2022. Sebanyak 135 orang tewas dan ratusan orang lainnya luka-luka usai aparat kepolisian menembakkan gas air mata secara membabi buta ke arah tribun Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur.
Dari sekian rentetan peristiwa itu, Polri tetap tidak mau berbenah diri. Berdasarkan Laporan Tahunan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) 2024, Polri tercatat menjadi institusi yang paling banyak diadukan oleh masyarakat terkait dugaan pelanggaran HAM. Berdasarkan laporan ini, Polri diadukan sebanyak 751 kali ke Komnas HAM, diikuti Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat sebanyak 490 aduan.
Angka aduan terhadap Polri tersebut memang tercatat turun jika dibandingkan dengan tren pada tahun 2023, yakni sebanyak 771 aduan atau hanya berkurang 20 aduan. Tetapi, baik 2023 maupun 2024, Polri menjajaki posisi teratas sebagai institusi yang paling banyak diadukan masyarakat terkait dugaan pelanggaran HAM.
Deretan angka dalam statistik yang dicatat Komnas HAM tersebut menjadi pengingat bahwa Polri tidak butuh direformasi karena mereka sendiri tidak menginginkannya. Aparat kepolisian masih menebar teror ke warga sipil karena mereka tidak bertindak dengan akal sehat, melainkan dengan logika kekerasan yang akan selalu digunakan meskipun sudah dilabeli “pembunuh” sekalipun.
Hal ini tercermin dari bocornya instruksi Kapolri Listyo Sigit Prabowo kepada personelnya terkait pengamanan aksi massa di kawasan Markas Komando (Mako) Brimob Polda Metro Jaya, Kwitang, Jakarta Pusat, Sabtu (30/8/2025) petang. Sigit memerintahkan personelnya agar tak ragu menembak warga yang berani masuk ke dalam Mako Brimob, baik dengan timah panas maupun peluru karet.
Perintah itu mencuat di media sosial tak lama setelah Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan Sigit dan Panglima TNI Agus Subiyanto untuk menindak tegas massa aksi yang dianggap anarkis.
Arahan Prabowo ini justru membuat aparat kepolisian semakin brutal. Di kawasan Kwitang, lampu jalanan dipadamkan dan kepolisian menembakkan gas air mata, mengejar, memukuli, dan menendang para demonstran. Kemudian di depan Gedung DPR, Senayan, polisi menembakkan gas air mata secara membabi buta. Di Jakarta Utara, seorang jurnalis dari salah satu media televisi nasional dilaporkan mengalami intimidasi oleh aparat.
Menurut temuan Komnas HAM, Polda Metro Jaya menangkap sebanyak 1.683 orang dalam aksi massa di Jakarta selama 25-31 Agustus 2025. Selama periode itu, ada dua orang yang terkonfirmasi meninggal dunia dalam aksi massa di ibu kota, yakni Affan Kurniawan dan Andika Lutfi Falah.
Selain di Jakarta, brutalitas aparat dalam penanganan aksi massa juga terjadi di dua kota di Jawa Tengah (Jateng), yakni Solo dan Semarang. Di Solo, kepulan gas air mata menewaskan Sumari, seorang tukang becak yang sehari-hari mangkal di kawasan Pasar Gede, pada Jumat (29/8/2025).
Sementara di Semarang, seorang mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes), Iko Juliant Junior, meninggal dunia pada Minggu (31/8/2025) usai mengalami luka dalam hingga kritis. Menurut laporan Tempo, Iko dalam kondisi tidak sadar sempat mengigau meminta ampun agar tak dipukuli.
Nasib serupa juga dialami Rheza Sendy Pratama, mahasiswa Universitas Amikom Yogyakarta, yang tewas dalam kericuhan di depan Mapolda DIY, Minggu (31/8/2025) pagi. Ayahnya, Yoyon Surono, yang memandikan jenazah anaknya, melihat tubuh sang anak penuh luka bekas penyiksaan, seperti leher belakang patah, pelipis bocor, jejak sepatu PDL di dada dan perut, hingga memar sabetan.
Tak hanya di Pulau Jawa, korban tewas dalam gelombang aksi massa selama sepekan terakhir juga terjadi di Sulawesi Selatan dan Papua Barat. Komnas HAM merincikan, sebanyak empat orang tewas di Makassar dan satu orang tewas di Manokwari.
Penanganan situasi aksi yang dilakukan Polri seakan tak pernah ada evaluasi serius meskipun sudah banyak warga sipil yang meregang nyawa.
Keberulangan Tak Berujung
Tewasnya Affan di tangan polisi memicu gerakan kelas buruh di berbagai wilayah, menjadi simbol bahwa brutalitas aparat dan ketimpangan sosial memiliki akar yang sama. Kemarahan massa tidak lagi hanya tertuju pada moncong senapan dan tameng anti-huru hara polisi. Sebaliknya, amarah itu juga mengarah pada gedung-gedung DPR, DPRD, dan kantor gubernur, simbol dari kekuasaan negara yang seharusnya berperan untuk mendistribusikan kekayaan secara merata.
Dapat dipahami pula bahwa amarah massa di berbagai wilayah tidak serta merta akibat dari penyelewengan hukum yang selama ini dilakukan Polri. Kemarahan rakyat terhadap pemerintahan Prabowo yang tereskalasi selama hampir setahun ini pun pecah lewat aksi solidaritas untuk Affan Kurniawan.
Energi rakyat dikuras habis untuk mengatur tingkat kecemasan yang kekinian semakin menjenuhkan. Kelesuan ekonomi, PHK massal, penyusutan lapangan kerja, anjloknya daya beli, hingga penyempitan ruang gerak warga sipil adalah fenomena sehari-hari yang bahkan sudah sampai pada tahap pewajaran.
Pemerintah pun tak pernah ada kemauan politik untuk mengatasi berbagai kekacauan tersebut. Pembenahan diri dan permintaan maaf seolah hanya retorika yang terus menerus diucapkan pejabat dan pemangku kebijakan ketika rakyat mulai menunjukkan kuasanya.
Seperti apa yang diucapkan Kapolri Listyo Sigit usai menemui keluarga Affan di RSCM, sesaat setelah pengemudi ojol itu tewas. Sigit mengaku sangat menyesal dan meminta maaf atas kematian Affan. Tapi, dua hari kemudian, Sigit menginstruksikan personelnya untuk tak ragu menembak warga yang masuk ke dalam Mako Brimob.
Kematian Affan adalah simbol betapa rentannya rakyat di bawah rezim Prabowo hari ini. Affan tewas sebagai korban kegagalan negara dalam mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Affan juga tewas sebagai korban kekerasan aparat yang semakin brutal meneror hidup rakyat tertindas.
Semoga tak ada lagi nyawa warga sipil yang melayang meskipun sosok pembunuh itu masih berkeliaran.