Desa Maba Sangaji: Tanah Adat Dirusak Tambang, Warganya Ditersangkakan saat Melawan

Desa Maba Sangaji: Tanah Adat Dirusak Tambang, Warganya Ditersangkakan saat Melawan

Warga Adat Maba Sangaji
Sejumlah warga adat Maba Sangaji, Halmahera Timur, Maluku Utara dibawa oleh Polda Maluku Utara usai melakukan aksi protes damai di area tambang PT Position, Jumat (16/5/2025). (Diakronik/Aliansi Masyarakat Adat Menggugat)

Sebanyak 27 warga adat Maba Sangaji, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara (Malut) ditangkap oleh aparat kepolisian pada Senin (19/5/2025). Penangkapan ini merupakan buntut dari aksi penolakan aktivitas tambang yang dilakukan oleh warga terhadap PT Position.

Dari 27 warga yang ditangkap, Polda Malut menetapkan 11 orang di antaranya sebagai tersangka kasus dugaan premanisme bersenjata tajam. Seluruhnya kini ditahan di Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Malut.

Penolakan warga adat Maba Sangaji terhadap aktivitas tambang PT Position pada Jumat (16/5/2025) bukan tanpa alasan. Warga menilai, aktivitas perusahaan yang memproduksi bijih nikel itu telah merusak hutan adat dan sungai yang menghidupi mereka selama bertahun-tahun.

Berdasarkan hasil pemantauan Sajogyo Institute bersama warga Maba Sangaji per 17 April 2025, aktivitas tambang yang dilakukan PT Position sudah berlangsung sejak akhir 2024, tepat di area kawasan hutan yang semula difungsikan oleh warga adat Maba Sangaji sebagai kebun pala dan aneka tanaman produktif lainnya.

Lokasi Tambang PT Position Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara. Foto diambil pada tanggal 16 April 2024.

Peneliti Energi dan Agraria Sajogyo Institute, Be’n Habib, mengatakan total pembabatan hutan adat Maba Sangaji telah mencapai 730 hektar. Bahkan, pembabatan hutan itu terjadi dalam kurun waktu tujuh hari.

โ€œHanya dalam tujuh hari, pembongkaran hutan telah mencapai 700-hektar, kehancuran sangat cepat,โ€ kata Habib saat dihubungi, Senin (19/5/2025).

Tak hanya kawasan hutan yang rusak, sungai Maba Sangaji yang menjadi air utama bagi warga adat Maba Sangaji tercemar limbah tambang. Padahal, sungai tersebut telah digunakan oleh warga dari berbagai kampung di Halmahera Timur selama bertahun-tahun untuk kebutuhan konsumsi rumah tangga.

โ€œSungai Maba Sangaji ini adalah sungai induk paling besar di Halmahera Timur, yang mengaliri banyak kampung. Dan juga beberapa ada anak-anak sungai yang nantinya bergabung ke sungai induk Maba Sangaji. Semua anak sungai tersebut telah rusak semua. Ikan-ikan dan udang-undang sudah musnah semua,โ€ jelas Habib.

Ia mengungkapkan, sungai Maba Sangaji telah keruh berwarna kecoklatan dan penuh lumpur, termasuk beberapa anak sungai Maba Sangaji, yakni sungai Kaplo, Tuntungan, dan Samlowos. Bahkan, pada 2024 lalu, bencana banjir melanda desa Maba Sangaji untuk pertama kalinya sejak PT Position beroperasi.

โ€œBanjir itu tidak pernah ada sebelumnya. Karena itu kami menyebutnya ini adalah bentuk kejahatan lingkungan. Perusahaan pantas dipidana, terutama jika dilihat melalui kacamata hak atas air, maka pihak perusahaan telah mengakibatkan warga adat Maba Sangaji tidak bisa mendapatkan lagi hak atas air yang layak,โ€ tuturnya.

Tumpukan lumpur bekas di sepanjang batang sungai Maba Sangaji. Sungai berwarna kecoklatan. Foto hasil dokumentasi Aliansi Masyarakat Adat Menggugat pada 16 April 2025.

Sejak sungai Maba Sangaji dan anak-anak sungai mengalami kerusakan, lanjut Habib, warga tani yang biasa menggarap lahan di hutan pun sudah tidak bisa lagi mengambil air dari aliran sungai. Sehingga, warga harus membawa air minum dari rumah.

โ€œBiasanya mereka kalau mau ke kebun tinggal berangkat saja ke hutan. Sejak ada aktivitas pertambangan itu, air sungai sudah tidak bisa lagi diminum,โ€ terangnya.

Habib menegaskan, warga adat Maba Sangaji berhak untuk mempertahankan ruang hidup mereka. Sebab, secara status hukum, ia mengatakan wilayah operasi tambang PT Position berada dalam status Hutan Produksi Terbatas (HPT). Oleh karena itu, wilayah tersebut dapat diberikan kepada pihak mana pun yang hendak menggarap lahan tersebut.

โ€œWilayah Izin Usaha Tambang (IUP) milik PT Position berada di area masyarakat kesukuan Maba Sangaji. Dan kawasan hutan tersebut diakui secara historis oleh warga sebagai wilayah adat,โ€ tegas Habib.


Aksi Protes dan Penangkapan Warga Adat Maba Sangaji

Aksi penolakan tambang nikel PT Position pada Jumat lalu, bukan yang pertama kali dilakukan warga adat Maba Sangaji dan warga terdampak lainnya. Mereka telah melakukan penolakan sejak April 2025 lantaran warga tidak pernah mendapatkan informasi apapun tentang aktivitas pertambangan.

Koordinator aksi Aliansi Masyarakat Adat Menggugat, Amin Tasim, mengungkapkan lahan kebun warga secara tiba-tiba sudah dibabat oleh PT Position dan diberi ganti rugi secara sepihak dengan nilai Rp2.500 per meter.

Peristiwa itu mendorong warga adat Maba Sangaji untuk menemui langsung pihak manajemen perusahaan pada 16-18 April 2025. Saat itu terjadi perundingan antara warga dengan pihak manajemen perusahaan yang dibekingi oleh aparat kepolisian dan tentara.

Dalam perundingan itu, lanjut Amin, warga mendesak agar PT Position menghentikan operasi tambang mereka sementara waktu sampai adanya rapat desa. Sebagai jaminannya, warga meminta kunci mesin alat berat untuk dibawa pulang dan akan dikembalikan ketika proses rapat desa mencapai kesepakatan.

Kedua belah pihak pun bersepakat. Warga kemudian meninggalkan lokasi wilayah tambang PT Position.

โ€œ16 April 2025 itu warga adat Maba Sangaji menuntut hak tanah yang digusur oleh PT Position. Di tanggal itu, kunci mesin itu dikasih oleh karyawan PT Position. Jadi bukan diambil paksa,โ€ kata Amin saat dihubungi, Senin (19/5/2025).

โ€œKunci itu dibawa oleh warga agar pihak perusahaan PT Position mau datang ke Desa Maba Sangaji untuk menjelaskan tentang status lahan warga yang tergusur. Karena warga desa tidak tahu hak-hak mereka,โ€ lanjutnya.

Namun, setelah beberapa jam kemudian, warga mendapatkan surat pemanggilan dari aparat kepolisian. Surat tersebut ditujukan kepada 11 warga adat Maba Sangaji yang sebelumnya mendatangi lokasi tambang PT Position.

Menurut Amin, surat tersebut tidak dikirimkan secara langsung kepada 11 orang tersebut, melainkan dititipkan kepada warga. Alhasil, 11 orang tersebut tidak memenuhi panggilan tersebut. Pasalnya, warga adat Maba Sangaji menilai pengiriman surat tersebut menyalahi prosedur.

Meski begitu, 11 warga tersebut mengaku kerap didatangi aparat desa dan pihak kepolisian. Berdasarkan laporan kronologi yang diterima oleh Diakronik.com, bahkan Bupati Halmahera Timur juga mendesak agar 11 warga Maba Sangaji yang dipanggil aparat kepolisian segera mendatangi kantor polisi.

Selang beberapa hari kemudian, pada 28 April 2025, perangkat desa Maba Sangaji menyelenggarakan rapat secara mendadak. Agendanya membahas tentang pemberian uang tali asih sebagai bentuk ganti rugi lahan.

Dalam pertemuan tersebut, pihak aparat desa menyebarkan lembar daftar hadir yang berisi nama, jabatan, dan tanda tangan. Namun, warga menyebut daftar hadir yang dibagikan itu ternyata dipakai oleh pihak aparat desa sebagai dasar persetujuan warga untuk menerima pembayaran uang tali asih.

Merasa tertipu, rapat yang semula berlangsung damai lantas berakhir ricuh. Warga kemudian merobek berkas daftar hadir tersebut.

Esok harinya, dua orang warga dijemput paksa oleh aparat kepolisian untuk diinterogasi di rumah pribadi aparat polisi tersebut. Mengetahui kejadian tersebut, beberapa warga berinisiatif untuk menjemput dua warga tersebut dan membawanya kembali pulang ke rumah.

Namun, pada 30 April 2025, dua orang warga tersebut kembali dijemput oleh aparat kepolisian dan keduanya diancam dapat dikenakan pasal berlapis. Pada hari yang sama, Polda Malut juga kembal menerbitkan surat pemanggilan pertama sebagai saksi atas dugaan tindak pidana pemerasan atau ancaman atas peristiwa pada 18 April 2025. Surat tersebut kemudian dilayangkan kepada tiga orang warga adat Maba Sangaji.

Sikap PT Position yang dinilai tidak terbuka dan cenderung memilih cara-cara intimidasi, mendorong 27 orang warga kembali mendatangi lokasi tambang PT Position pada Jumat (16/5/2025). Terlebih, PT Position telah melakukan penyerobotan lahan milik warga.

โ€œMenurut warga, PT Position telah melakukan penyerobotan lahan. Sebab, warga tidak pernah benar-benar mendapatkan informasi yang jelas. Makanya, masyarakat adat mengklaim PT Position sudah melakukan penyerobotan lahan. Lagipula, izin operasi tambang itu ada batasannya berapa hektar. Ini yang terjadi malah semua hutan digunduli,โ€ jelas Amin.

Dalam aksi tersebut, warga melakukan sumpah adat dan menancapkan bendera sebagai simbol penolakan aktivitas tambang. Namun, aksi damai itu berujung dengan penangkapan oleh aparat kepolisian. Seluruh massa aksi ditangkap dengan dalih terlibat aksi premanisme bersenjata tajam.

Tak hanya itu, warga yang melakukan aksi tersebut juga mengalami tindak kekerasan dari aparat kepolisian. Berdasarkan foto yang diterima Diakronik.com, beberapa warga mengalami luka lebam di wajah, dada, dan bagian atas pelipis. Ada pula warga yang mengalami luka robek di bagian kaki.

Salah seorang warga mengalami luka akibat kekerasan aparat kepolisian di bagian kaki. Foto diperoleh dari warga Aliansi Masyarakat Adat Menggugat saat korban ditahan di kantor Polda Maluku Utara, Senin (19/5/2025).

โ€œWarga itu ditangkap tanggal 16 Mei 2025. Setelah itu mereka ditahan di Polsek Wasile Selatan hingga 17 Mei. Tanggal 18 Mei 2025 itu, kita mendapat informasi mereka sudah dipindahkan ke kantor Ditreskrimum Polres Ternate. Akan tetapi, pada 19 Mei 2025 kita mendapat kabar kembali, mereka telah dipindahkan dan ditahan di kantor Polda Maluku Utara,โ€ ungkap Amin.

Peneliti Sajogyo Institute, Be’n Habib menilai, praktik kekerasan dan intimidasi yang dialami oleh warga adat Maba Sangaji merupakan cara kerja dari industri ekstraktivisme. Sebagai industri dengan karakter ekstraktivisme, lanjut Habib, PT Position memiliki kecenderungan menduduki suatu kawasan secara total.

Sejumlah warga adat Maba Sangaji, Kecamatan Kota Maba, Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara ditahan oleh Polda Maluku Utara usai melakukan aksi protes damai di area tambang PT Position. (Diakronik/Aliansi Masyarakat Adat Menggugat)

Ia menilai tuduhan premanisme Polda Malut kepada warga adat Maba Sangaji merupakan preseden buruk bagi warga adat yang mempertahankan ruang hidup yang sehat.

โ€œPadahal, sudah jelas mereka adalah warga yang dirugikan karena hutan dan sungai tempat mereka menggantung hidup telah tercemar akibat aktivitas tambang PT Position,โ€ jelasnya.

Hingga berita ini dimuat, sebanyak 11 warga adat Maba Sangaji masih ditahan di Polda Malut. Mereka dijerat dengan beberapa pasal, di antaranya; Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Kepemilikan Senjata Tajam Tanpa Izin dengan ancaman hukuman hingga 10 tahun penjara; Pasal 162 UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara, yaitu tindakan menghalangi atau merintangi kegiatan usaha pertambangan yang telah memiliki izin, dengan ancaman pidana 1 tahun penjara, dan; Pasal 368 ayat 1 Jo Pasal 55 ayat 1 KUHP terkait dugaan tindak pemerasan dan pengancaman.

Editor: Hastomo Dwi Putra

ARTIKEL LAINNYA

Temukan Artikel Anda!