Sebelum adanya kisruh yang mengiringi pengesahan Undang-Undang (UU) TNI, rakyat Indonesia marah akan kondisi penghidupan mereka yang begitu berat. Aksi massa bertajuk #IndonesiaGelap pun muncul bak gelombang pasang yang mengamuk di berbagai wilayah.
Isu yang diangkat dalam aksi massa tersebut bukan hanya menggugat kinerja buruk pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang baru berumur jagung. Akan tetapi, juga mewakili keresahan masyarakat yang sudah disuarakan sejak pemerintahan Joko Widodo.
Kebijakan soal efisiensi anggaran, termasuk di sektor pendidikan dan kesehatan, hanyalah ujung sumbu yang memicu ledakan besar hingga saat ini.
Tekanan ekonomi yang mencekik rakyat adalah masalah utamanya. Naiknya harga kebutuhan pokok membuat mayoritas masyarakat, yang merupakan buruh upah murah, tak punya daya beli di pasar. Jangankan untuk membeli kebutuhan sekunder dan tersier, upah bulanan pun hilang sekejap mata untuk membayar berbagai tanggungan, tagihan, dan bunga utang yang menunggak.
Di tengah kondisi tersebut, pemerintah menunjukkan ketidakseriusannya dalam menghadapi isu populis. Dalam beberapa waktu terakhir, rakyat dipertontonkan dengan buruknya cara komunikasi pemerintah yang tampak tak punya empati.
Mulai dari dedengkotnya, Presiden Prabowo, yang melontarkan kata ‘ndasmu’ ketika merespons berbagai kritik terhadap program-programnya. Tak lupa, Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan, juga pernah menanggapi kritik masyarakat yang disuarakan lewat tagar #IndonesiaGelap dengan mengatakan: ‘Kau yang gelap!’.
Buruknya komunikasi pemerintah bukan barang baru. Rakyat seolah diejek atas kemiskinan yang mereka terima. Rasa lapar yang menghantui perut tiap rakyat miskin kota, ketidakpastian pendapatan pedagang kecil, dan keringat yang menetes di mesin-mesin pabrik, hanya dibalas oleh pemerintah dengan bualan kosong.
Di balik kondisi ekonomi yang tidak stabil hari ini, mulai dari naiknya harga kebutuhan pokok, PHK massal, hingga menurunnya daya beli masyarakat, pemerintahan masih saja sibuk bagi-bagi kue untuk sekadar balas budi politik.
Salah satunya adalah peresmian Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) beserta susunan pengurusnya. Bayi baru lahir yang digadang-gadang bakal mengerek ekonomi nasional ini sejatinya sudah dikritik oleh para akademisi dan pakar.
Namun, serupa babi tanpa telinga, pemerintah tak mendengar kritik itu. Bahkan, nama Mantan Perdana Menteri (PM) Thailand, Thaksin Shinawatra, masuk sebagai Dewan Penasihat, meskipun punya rekam jejak koruptif.
Di samping itu, setiap harinya masyarakat pun disuguhi berbagai tindak tanduk dan pernyataan bodoh pemerintah. Darah, keringat, dan air mata yang rakyat keluarkan tiap hari untuk membayar upeti feodal alias pajak, nyatanya hanya untuk menghidupi pejabat bodoh seperti Hasan Nasbi.
Nama tersebut mencuat ketika dia, sebagai Kepala Kantor Komunikasi Presiden, menanggapi santai ihwal teror kepala babi yang dialamatkan ke kantor Tempo.
Ada banyak dampak yang dapat ditelaah dari pernyataan Hasan yang menyarankan agar kepala babi tersebut dimasak oleh Tempo. Salah satunya soal ancaman kemerdekaan pers di bawah rezim Prabowo yang baru berusia lima bulan.
Di sisi lain, teror tersebut juga menjadi penanda profesi apa pun yang dapat mengguncang kredibilitas pemerintah, adalah gulma yang tidak pernah dikehendaki tumbuh oleh negara.
Kecemasan Ekonomi
Jika kondisi ini terus berlanjut, maka sulit untuk membayangkan masyarakat dapat hidup dengan aman secara ekonomi dalam empat tahun mendatang. Bayangkan saja, setidaknya, masih ada empat kali Hari Raya Idulfitri yang harus rakyat lewati di bawah ilusi “saling memaafkan”, termasuk memaafkan pemerintahan yang koruptif.
Dalam semangat Idulfitri ini, rasanya berat bagi rakyat untuk bisa memaafkan penguasa yang semakin mempersulit kehidupan kita, seperti sulitnya kita merogoh kocek untuk sekadar membeli baju baru di momen Lebaran.
Tak dapat dipungkiri, baju baru untuk merayakan Idulfitri merupakan simbol konsumtif masyarakat yang sudah ada secara turun-temurun. Namun apa daya, penurunan daya beli masyarakat hari ini merupakan fakta yang juga tidak bisa disangkal.
Salah satu indikator untuk mengukur kinerja konsumsi masyarakat adalah Indeks Keyakinan Konsumen (IKK). Berdasarkan data Trading Economics, IKK Indonesia turun ke angka 126,4 pada Februari 2025, dari 127,2 di Januari.
Data tersebut merupakan hasil dari memburuknya enam sub-indeks yang menjadi indikator pengukuran, di antaraya ketersediaan pekerjaan (turun 2,8 poin ke 134,2), ketersediaan pekerjaan dibandingkan enam bulan lalu (turun 1,5 poin ke 106,2), prospek ekonomi (turun 2,1 poin ke 138,7), dan ekspektasi pendapatan untuk enam bulan ke depan (turun 1,5 poin ke 143,3).
IKK mengukur harapan konsumen tentang pendapatan saat ini dan ketersediaan pekerjaan dibandingkan dengan enam bulan yang lalu, serta kondisi ekonomi umum dan harapan ketersediaan pekerjaan dalam enam bulan mendatang.
Kenyataannya, berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, sebanyak 18.610 orang terkena PHK pada Januari hingga Februari 2025. Jumlah tersebut naik lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode yang sama di tahun 2024.
Lesunya daya beli masyarakat juga tercermin dari menurunnya jumlah pemudik tahun ini. Menurut Kementerian Perhubungan, penurunan jumlah pemudik diprediksi sebesar 24% dari total 193,6 juta orang pada tahun lalu. Artinya, ada sekitar 46,4 juta warga yang diperkirakan tidak pulang kampung pada 2025.
Mungkin saja sebagian rakyat dapat menikmati turunnya harga tiket pesawat dan tarif tol selama mudik Lebaran 2025, seperti yang dijanjikan Prabowo beberapa waktu lalu. Tapi, kebijakan populis tersebut sama sekali tidak akan mengubah kondisi ekonomi rakyat.
Prabowo mungkin masih bisa sesumbar pemerintahannya dapat menggenjot pertumbuhan ekonomi hingga 8%. Namun, kita juga tidak boleh lupa bahwa era Jokowi, di mana pertumbuhan ekonomi yang rata-rata sebesar 5%, ternyata tak lebih dari sekadar angka untuk mempercantik statistik.
Pasalnya, hanya di era Jokowi, ada rakyat yang nekat menusuk perutnya sendiri karena tak kuasa menahan lapar.
Fenomena tersebut menggambarkan bagaimana masyarakat hidup dalam kondisi tidak aman secara ekonomi.
Tentu tidak ada yang mengharapkan fenomena tersebut terulang kembali. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan jika kita melihat berita tentang seseorang yang melakukan percobaan bunuh diri karena tidak mampu membeli baju lebaran baru.
Bangkitnya Dwifungsi Militer di Rezim Prabowo
Di tengah terpuruknya kondisi ekonomi nasional, DPR resmi mengesahkan RUU TNI lewat rapat paripurna pada 20 Maret 2025. Pengesahan ini dinilai untuk mengakomodasi posisi Letkol Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet.
Tak sampai di situ, lewat pengesahan RUU TNI inilah lonceng kebangkitan dwifungsi militer kembali berdentang.
Selama lebih dari tiga dekade, militer berhasil mendominasi politik Indonesia di era Orde Baru. Embrio dwifungsi militer ini lahir melalui pidato A.H Nasution, yang saat itu baru dilantik kembali menjadi KSAD pada 1955, mengenai “Jalan Tengah” di Akademi Militer Nasional, Magelang.
Merujuk Toward the People’s Army yang ditulis A.H Nasution, dalam pidatonya ia menilai angkatan bersenjata adalah kelompok fungsional yang penting, dengan alasan stabilitas dan persatuan. Konsep ini kemudian berlanjut melalui Dekret Presiden pada 5 Juli 1959, yang mengakomodasi landasan konstitusional bagi peran politik ABRI sebagai golongan fungsional.
Implementasi dwifungsi ABRI semakin mulus di rezim Soeharto. Pembentukan Partai Golkar, yang kemudian menjadi mesin politik Soeharto, juga tak lepas dari peran militer. Tokoh-tokoh militer juga diberikan jabatan strategis hingga tingkat desa.
Dominasi militer terhadap sipil akibat dwifungsi ABRI dinilai bertentangan dengan prinsip demokrasi. Sehingga, kelompok intelektual memasukkan tuntutan penghapusan dwifungsi ABRI sebagai agenda Reformasi 1998.
Kemudian, pada 20 April 2000, dwifungsi ABRI baru benar-benar dihapuskan. Prajurit diwajibkan keluar dari jalur politik dan fokus sebagai komponen utama pertahanan negara. Berlanjut pada 2004, prajurit TNI ditarik sepenuhnya dari parlemen.
Jika ditarik garis sejarah dari awal kelahiran dwifungsi militer tersebut, ada sebuah kesamaan yang dapat dilihat dari pengesahan UU TNI dewasa ini. Kelahiran dwifungsi militer sama-sama berlindung di balik tameng “stabilitas nasional”.
Saat revisi UU TNI masih dibahas di tingkat Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR, Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen Hariyanto mengatakan, revisi diperlukan untuk menyempurnakan tugas pokok militer agar efektif dan tidak tumpang tindih dengan institusi lain. Ia menegaskan stabilitas nasional harus tetap dijaga bersama.
Memang benar, Indonesia saat ini tengah berada dalam kondisi krisis. Secara politik, nilai-nilai demokrasi di Indonesia sudah berada di level yang cacat atau flawed democracy selama tiga tahun berturut-turut, menurut data The Economist Intelligence Unit (EIU).
Hal tersebut dibarengi dengan penyempitan ruang gerak masyarakat sipil atau shrinking civic space yang terjadi secara masif.
Hampir 27 tahun setelah Reformasi 1998, represi sistematis masih terasa hingga hari ini. Di bawah bayang-bayang militerisme dalam tubuh rezim Prabowo, wacana dwifungsi ABRI melalui UU TNI semakin menyempitkan ruang gerak masyarakat sipil. Bahkan, dalam penyusunan revisi UU TNI saja, masyarakat sipil tak diberikan ruang berpatisipasi.
Teror kepala babi ke kantor Tempo, tepat sehari sebelum pengesahan RUU TNI, tak ubahnya simbol negara menunjukkan kekuatan represifnya kepada masyarakat sipil. Setelah ini, nyawa masyarakat sipil di mata negara mungkin tidak lagi sebanding dengan sepotong kue yang dinikmati pejabat ketika pesta seremonial.
Korban kekerasan aparat yang meminta tolong, mungkin tidak akan lebih diperhatikan negara dibandingkan dengan joget ‘velocity’ ala Prabowo saat Hari Raya Idulfitri 2025 di Istana.
Pada akhirnya, dalam semangat Idulfitri 2025 ini, rakyat diliputi perasaan cemas di tengah memburuknya kondisi ekonomi, sosial, dan politik nasional. Ancaman resesi, teror, kebijakan yang mencederai rasa keadilan, dan pernyataan nyeleneh tanpa empati dari otoritas, membuat rakyat sulit memaafkan para pejabat. Di bawah rezim militeristik ini, rakyat mungkin akan memaafkan pemerintah setiap momen Idulfitri selama empat tahun ke depan, dengan ancaman moncong bedil di belakang kepala.