Kriminalisasi Septia: Tidak Sekadar Melawan Jhon LBF, Septia Menggugat Pengabaian Hak-Hak Buruh di Tempat Kerja

Kriminalisasi Septia: Tidak Sekadar Melawan Jhon LBF, Septia Menggugat Pengabaian Hak-Hak Buruh di Tempat Kerja

Kriminalisasi Septia
Ilustrasi tentang pembungkaman kebebasan berpendapat yang dilakukan kepada Septia Dwi Pertiwi (Diakronik/Bujang Bingung)

Septia Dwi Pertiwi, eks buruh PT Hive Five (PT Lima Sekawan), telah mengalami pelbagai pelanggaran hak-hak perburuhan selama 22 bulan bekerja di perusahaan milik Henry Kurnia Adhi alias Jhon LBF. Pelanggaran-pelanggaran itu disuarakan oleh Septia melalui akun X pribadinya pada November 2022, setelah ia resmi mengundurkan diri pada Oktober 2022.

Dalam unggahannya, mantan staf pemasaran PT Hive Five itu menceritakan pengalamannya tentang pelanggaran hak-hak perburuhan selama ia bekerja, seperti pemotongan gaji, pemecatan sepihak, jam kerja panjang, tidak diberikannya slip gaji, tidak adanya upah lembur, hingga pembayaran iuran BPJS Ketenagakerjaan yang tidak sesuai dengan masa kerja dan besaran upah sesuai kontrak kerja.

Merasa malu dengan unggahan mantan pekerjanya tersebut, Jhon LBF yang juga kreator konten di media sosial, melaporkan Septia dengan Pasal 27 Ayat (3) Jo Pasal 36 Jo Pasal 51 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, atas dugaan pencemaran nama baik. Surat panggilan pemeriksaan dari Polda Metro Jaya pertama kali diterima oleh Septia pada 27 Januari 2023. Sidang penangguhan penahanan kemudian dilakukan pada 19 September 2024 lalu.

Kini, Septia berstatus sebagai tahanan kota. Sementara, dalam waktu dekat sidang putusan kasus Septia akan dilakukan pada 22 Januari 2025 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).

Sejak awal proses persidangan kasus Septia berlangsung, pelbagai organisasi rakyat dan akademisi memberikan dukungan agar Septia dibebaskan dari segala dakwaan yang menjeratnya. Tagar #BebaskanSeptia berkumandang di jagat maya dan dalam orasi-orasi aksi massa.

Sesama rakyat, memang sudah sepatutnya saling bersolidaritas, tanpa memandang โ€œbenderaโ€ organisasi dan bersikap sinis. Pasalnya, negara abai dalam memberikan keadilan bagi Septia. 

Negara yang seharusnya hadir untuk mengawasi pelanggaran hak-hak perburuhan, justru cenderung berpihak kepada pemilik modal. Padahal, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), melalui lembaga Pengawas Ketenagakerjaan yang mewakili institusi negara, memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan dunia kerja yang adil bagi buruh. Sebab, relasi buruh dengan majikan merupakan hubungan kerja yang tidak setara. Namun, sebaliknya institusi ini justru mengambil sikap netral atau pada beberapa kasus cenderung berpihak dengan pengusaha.

Salah satu contoh konkret โ€œhubungan manisโ€ antara negara dan pengusaha ini terlihat ketika Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer mengisi sebuah forum diskusi di kantor Jhon LBF pada 21 Desember 2024. Dilihat dari kanal Youtube Jhon LBF, Immanuel tampak begitu akrab dengan pengusaha tersebut. Bahkan, dalam kesempatan itu pula, Immanuel menyebut Jhon LBF lebih cocok menjadi menteri ketimbang pengusaha.

Padahal, ungkapan tersebut berpotensi melanggar beberapa Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2024, seperti asas ketidakberpihakan, asas kecermatan, dan asas tidak menyalahgunakan kewenangan.

Di sisi lain, momen pertemuan tersebut sebenarnya bisa digunakan oleh Wamenaker untuk melakukan tugas pengawasan pelanggaran norma ketenagakerjaan, yang diduga dilakukan oleh Jhon LBF kepada Septia. Tugas itu merupakan mandat Pasal 6 Huruf (a) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 164 Tahun 2024 tentang Kementerian Ketenagakerjaan. Namun, tampaknya hal itu tidak ia lakukan.

Sebaliknya, Immanuel justru menjadikan momentum tersebut sebatas kegiatan pertunjukan dengan mendengarkan cerita John LBF, seakan-akan sedang memberikan klarifikasi atas pemberitaan yang mengarah padanya, terutama mengenai kasus kriminalisasi Septia. Peristiwa tersebut mengindikasikan, bahwa penguasa dan pengusaha bersatu untuk menindas yang lemah di bawah rezim upah murah.

Padahal, sebelum mengunjungi kantor Jhon LBF, Immanuel bertemu dengan Septia dan sejumlah buruh di depan kantornya pada 10 Desember 2024. Di hadapan Septia dan buruh lainnya, Immanuel menyatakan siap membekingi hak-hak Septia yang dilanggar. Bahkan, ia memberikan garansi sebesar satu juta persen.

Sikap Immanuel yang cenderung berpihak pada Jhon LBF mengindikasikan bahwa negara melegitimasi praktik pembungkaman buruh yang dilakukan oleh pengusaha. Padahal sangat jelas terdapat dimensi pelanggaran pidana perburuhan pada kasus Septia, sebagaimana terungkap dalam fakta-fakta di persidangan dengan agenda pembacaan nota pembelaan Septia pada 18 Desember 2024.

Negara seharusnya berpihak pada buruh, sekali lagi karena relasi antara buruh dengan pemilik perusahaan yang tidak setara. Namun, kenyataannya jauh panggang dari api, kritik yang seharusnya dijamin oleh undang-undang justru dikriminalisasi dengan pasal karet yang acapkali digunakan oleh penguasa untuk membungkam kebebasan berpendapat. Apabila kondisi ini terus terjadi, pemenuhan hak-hak perburuhan akan sulit terwujud.


Rezim Upah Murah dan Pemiskinan Buruh

Kontrol perusahaan melalui perangkat hukum merupakan bukti konkret penundukan buruh di bawah rezim upah murah. Tentunya, Septia bersuara bukan tanpa sebab. Pangkalnya berhulu dari masalah perburuhan yang ia alami, sehingga membuatnya resah untuk bersuara. Tujuannya agar kondisi tersebut tidak menimpa buruh lainnya.

Berdasarkan fakta-fakta persidangan, Septia bekerja dalam kondisi kerja yang tidak layak, seperti pembayaran upah di bawah Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta, pemotongan upah sepihak, tidak adanya slip gaji, jam kerja panjang, hingga tidak dibayarkan iuran BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan upah yang dijanjikan pada kontrak kerja dan masa kerja

Parahnya, kondisi kerja eksploitatif ini tidak hanya dialami Septia semata, tetapi juga dialami oleh dua mantan buruh lainnya, yakni NI dan AKA. Keduanya merupakan mantan buruh Hive Five yang memberikan kesaksian saat persidangan agenda nota pembelaan pada 18 Desember 2024.

Seandainya pun dalam kasus Septia tidak ada pelanggaran pembayaran upah di bawah ketentuan UMP, sebelum putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 168/PUU-XX1/2023, regulasi mengenai penetapan upah minimum di Indonesia sejak lama telah bermasalah. Bermula dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan hingga perubahan yang terakhir, yaitu PP Nomor 51 Tahun 2023, setelah disahkannya UU Cipta Kerja. Singkatnya, penetapan upah minimum di Indonesia telah dilimpahkan melalui mekanisme pasar: dengan menggunakan variabel penghitungan berdasarkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks harga tertentu, serta kemampuan hidup buruh dengan status lajang. Sehingga, penetapan upah minimum tidak didasarkan pada kebutuhan hidup layak dan mempertimbangkan tanggungan hidup buruh. 

Sebagai contoh, pada PP Nomor 51 Tahun 2023, kenaikan upah minimum diatur berdasarkan perhitungan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks harga tertentu. Indikator-indikator tersebut bersifat sangat dinamis karena dipengaruhi oleh banyak faktor. Tingkat inflasi, misalnya, faktor yang mempengaruhinya adalah karena dinamika nilai tukar rupiah serta harga minyak dunia.

Regulasi pengupahan yang tidak berdasarkan pada komponen kebutuhan hidup layak, pada akhirnya memaksa buruh bekerja dengan jam kerja yang lebih panjang, alih-alih untuk mempercantik angka statistik pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini tampak jelas melalui hasil survei Komite Hidup Layak pada 2023, yang menyebutkan rata-rata pengeluaran rumah tangga buruh untuk jenis makanan dan nonmakanan sebesar Rp9.299.666,65 per bulan. Sementara, rata-rata pendapatan rumah tangga buruh hanya sebesar Rp3.240.696,00 per bulan.

Defisit pendapatan tersebut membuat buruh harus bersiasat untuk tetap bertahan hidup. Beberapa cara kemudian dilakukan, seperti mengurangi konsumsi alias mengirit makan, memperpanjang jam kerja, memobilisasi anggota rumah tangga untuk bekerja, menjual harta kekayaan, hingga terjerat utang di lembaga-lembaga keuangan nonperbankan.

Tentu, negara sudah memperkirakan angka pengutang yang akan melambung. Maka, pada 2022, pemerintah mengesahkan UU Perlindungan Data Pribadi untuk menjamin keamanan data pribadi bagi pengguna jasa pinjaman online (pinjol). Di bawah rezim upah murah, skema seperti ini lazim digunakan pemerintah sebagai โ€œjaring pengaman sosialโ€ untuk memperbaiki statistik pendapatan nasional yang anjlok.

Di sisi lain, agaknya sulit untuk menerima pernyataan Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Roeslani pada awal Desember 2024 lalu, bahwa rezim upah murah telah berakhir. Lantaran, menurutnya, pemerintah telah menaikkan UMP 2025 sebesar 6,5 persen. Masalahnya, sebelum adanya kenaikan UMP ini pun, tak sedikit perusahaan yang menerapkan pembayaran upah di bawah ketentuan upah minimum kepada buruhnya, di samping juga pelanggaran lainnya.

Berharap kepada Kemnaker untuk tetap menjalankan fungsinya sebagai pengawas dunia kerja memang terdengar cukup naif. Sebab, negara sendiri yang melegitimasi praktik upah murah melalui berbagai regulasi. Negara sendiri yang memperburuk kondisi ekonomi mereka, dengan jaminan upah murah bagi pemilik modal yang ingin berinvestasi, hingga mempermudah pengusaha untuk melakukan pemecatan kepada buruhnya.

Kasus kriminalisasi yang dialami Septia, seharusnya menjadi cermin bagi para pejabatan negara di Indonesia dalam menangani permasalahan pencemaran nama baik, yang kerap dilaporkan oleh pengusaha terhadap buruhnya. Hal yang termudah adalah dengan membuat daftar pertanyaan. Jika sulit, saya akan membantunya.

Pertanyaan pertama, kenapa kasus kriminalisasi seperti Septia terus berulang? Kedua, apakah ini mencerminkan buruknya kondisi kerja di Indonesia dan ketidakpastian pemenuhan hak-hak buruh, sehingga mereka menyuarakan kritiknya di media sosial? Ketiga, apakah ini menunjukkan lemahnya fungsi pengawasan ketenagakerjaan dalam menindak pelanggaran norma hukum perburuhan?

Tiga pertanyaan tersebut saya rasa cukup sebagai panduan bagi para pejabat ketenagakerjaan di Indonesia sebelum mereka bekerja, selagi masih baru beberapa ratus hari bekerja sejak pergantian kabinet pemerintahan baru.   

Dengan menjawab tiga pertanyaan tersebut, saya rasa para pejabat negara ini akan paham apa yang dilakukan Septia. Melalui cuitannya, Septia tidak hanya sedang menggugat Jhon LBF selaku elite perusahaan, tetapi secara sistematis juga menggugat negara yang abai terhadap pemenuhan hak-hak dasar buruh di tempat kerja. Oleh karena itu, sudah sepatutnya Septia dibebaskan dari segala dakwaan. Bahkan, sudah sepatutnya Septia tidak pernah didakwa dalam kasus pencemaran nama baik karena menyuarakan haknya.

Editor: Syaukani Ichsan

ARTIKEL LAINNYA

Brutalitas Negara dan Sejumlah Alasan Mengapa Polisi Dibenci
Menuju Negara Leviathan dalam Selubung Demokrasi: Wacana Penambahan Kodam dan RUU Penyiaran
Klub Sepak Bola Alternatif: Sebuah Harapan dan Autokritik
Rumah Kaca Dago Elos, Keadilan Membusuk

Temukan Artikel Anda!