Diakronik.com – Sidang lanjutan kasus kriminalisasi Mulyanto kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Pontianak pada 13 dan 16 Mei 2024 dengan agenda pemeriksaan saksi fakta. Lembaga Bantuan Hukum Kalimantan Barat (LBH Kalbar) menilai keterangan para saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) tersebut tidak memperkuat bukti dakwaan terhadap Mulyanto.
Untuk diketahui, Mulyanto merupakan Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Serikat Pekerja-Pejuang Lintas Khatulistiwa (SP-Pelikha) Kabupaten Sambas. Ia didakwa melakukan penghasutan dan mengajak massa buruh PT Duta Palma Group untuk melakukan kekerasan kepada aparat saat aksi mogok kerja di Kabupaten Bengkayang, Kalbar, pada 19 Agustus 2023.
Dalam sidang lanjutan yang digelar pada 13 Mei 2024, ada enam saksi fakta yang dihadirkan oleh JPU. Namun, hanya empat saksi yang diperiksa lantaran proses persidangan molor, yang seharusnya dilaksanakan pukul 09:00 WIB menjadi pukul 12:30 WIB.
Salah satu dari empat saksi fakta yang dihadirkan adalah anggota kepolisian bernama Slamet Widodo. Sedangkan tiga orang lainnya, yakni Darius, Hamka, dan Sugito merupakan satpam perusahaan.
Dalam keterangannya, Slamet Widodo mengaku mendengar Mulyanto mengucapkan kalimat “kami akan bertahan sampai mati.” Menurutnya, pernyataan Mulyanto itu membuat situasi menjadi semakin tidak kondusif saat aparat berusaha membubarkan massa yang terlibat dalam aksi mogok kerja pada 19 Agustus 2023.
Ihwal keterangan Slamet tersebut, Asisten Pengabdi Bantuan Hukum (APBH) Bagian Advokasi LBH Kalbar Ihsan Madi menilai, ucapan Mulyanto adalah hal yang wajar.
“Kalimat tersebut dapat dianggap wajar, dalam konteks mempertahankan diri saat massa dipaksa bubar di tengah usaha memperjuangkan hak-hak normatif mereka,” ujar Ihsan saat dihubungi Diakronik, Selasa (21/5/2024).
Sementara, Aliansi Buruh Sambas-Bengkayang (ABSB) menilai keterangan ketiga saksi fakta lainnya, yang merupakan petugas keamanan perusahaan tersebut, tidak mampu memperkuat bukti adanya tindakan provokasi yang dilakukan oleh Mulyanto pada saat kerusuhan mogok kerja.
“Bahwa kalimat ‘Maju … maju … serang … serang’ yang dituduhkan kepada Mulyanto untuk mengkoordinir massa melakukan kerusuhan oleh para saksi fakta, bukan berasal dari Mulyanto, melainkan berasal dari suara kerumunan massa yang tidak diketahui dengan pasti,” tulis siaran pers ABSB yang diterima Diakronik pada Kamis (16/5/2023).
Setelah keterlambatan jadwal pada sidang 13 Mei 2024 yang mengakibatkan hanya empat saksi yang diperiksa, sidang lanjutan kasus kriminalisasi Mulyanto kembali digelar pada 16 Mei 2024. Sidang digelar dengan agenda pemeriksaan pokok perkara keterangan saksi JPU.
Dalam sidang kali ini, JPU menghadirkan alat bukti berupa potongan video yang disorot dari arah massa aksi menghadap aparat. Video tersebut menunjukkan adanya seseorang yang berteriak “Maju… maju… lawan… lawan….”. Saksi fakta yang dihadirkan JPU menduga teriakan tersebut dilakukan oleh Mulyanto.
Selain saksi fakta, sidang pada 16 Mei 2024 juga menghadirkan saksi ahli bahasa dari Penyuluh Bahasa Indonesia Balai Bahasa, Kalbar, yakni Harianto. Ia diminta untuk memberikan analisis terhadap potongan video yang dihadirkan oleh JPU.
Melalui potongan video yang ditunjukan oleh JPU itu, ABSB menilai keterangan para saksi fakta lemah lantaran tidak mampu membuktikan bahwa teriakan tersebut diserukan oleh Mulyanto.
“Alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan hanya potongan video alias tidak lengkap. Saksi tidak dapat menjelaskan hubungan antara konteks luar bahasa dan maksud tuturan melalui penafsiran terhadap situasi yang terjadi,” tegas Asisten Pengabdi Bantuan Hukum (APBH) Bagian Advokasi LBH Kalbar, Ihsan Mahdi.
Selain itu, ABSB juga menilai potongan video tersebut tidak menguatkan adanya perintah secara langsung dari Mulyanto untuk melakukan kerusuhan dalam aksi mogok kerja pada 19 Agustus 2023.
“Perlu diketahui bahwa pragmatik dalam linguistik adalah cabang ilmu yang mempelajari bagaimana konteks mempengaruhi makna dalam komunikasi. Pragmatik menitikberatkan pada cara pemahaman makna, tidak hanya berdasarkan struktur bahasa seperti sintaksis dan semantik. Namun, juga berdasarkan konteks penggunaan bahasa dalam situasi nyata,” terang siaran pers ABSB.
“Maka menjadi pertanyaannya, apakah bisa tanpa informasi yang cukup tentang situasi yang terjadi, kalimat ‘Maju, maju, lawan, lawan’ yang dituduhkan oleh saksi adalah instruksi literal? Bisa jadi itu hanya sebagai bentuk ekspresi kekecewaan semata atau sesuatu ungkapan lainnya yang tidak ada kaitannya dengan perkara yang dituduhkan,” imbuh ABSB.