Kisah Buruh Gudang: Eksploitasi Waktu Luang dan Tragedi Hampir Keracunan

Kisah Buruh Gudang: Eksploitasi Waktu Luang dan Tragedi Hampir Keracunan

Perusahaan gudang, outsourcing, tanpa jaminan, tanpa kontrak, bangunan, eksploitasi
Eksploitasi Buruh. Diakronik/Qanish

Tragedinya terjadi lima tahun lalu, di salah satu gudang mainan dan pakaian anak bilangan Jakarta Pusat. Kejadian keracunan itu berlangsung saat sore hari, ketika ia mengerjakan pekerjaan yang bukan bagian dari tugasnya.

Pria itu bernama Ahmad—bukan nama sesungguhnya—yang menceritakan kisah getir tersebut. Pria bertubuh gempal, tak terlalu tinggi, dan berkulit sawo matang ini, tidak menyangka bakal menelan pengalaman pahit di usianya yang waktu itu masih belasan tahun.

Semua kisah bermula selepas ia dinyatakan lulus sekolah menengah atas (SMA) pada 2018. Sesaat mengantongi ijazah, Ahmad sesungguhnya sama seperti pelajar kebanyakan: ingin kuliah di kampus negeri.

Tak mengherankan keinginan tersebut muncul di dalam dirinya, sebab dia merasa biaya belajar di salah satu universitas negeri lebih murah ketimbang kampus swasta. Motivasinya pun kian melambung kala pikirannya dibekap asumsi lulusan negeri lebih mudah dapat pekerjaan.

Ahmad pun bergegas menyiapkan segala berkas yang dibutuhkan untuk ujian. Seleksi masuk bersama kampus negeri dan ujian mandiri ditempuhnya. Namun, nahasnya ia dinyatakan tidak lulus.

Tidak ingin larut dalam kegagalan, Ahmad memantapkan diri untuk mengikuti tes lagi di tahun berikutnya. Sebelum menunggu jadwal tes pada 2019, ia pun sibuk mencari pekerjaan.

Sialnya, Ahmad tak punya keahlian khusus. Pengalaman kerja pun masih nihil. Alhasil, bekal ijazah SMA tidak cukup meyakinkan pemberi kerja. Ia pun terpaksa harus gigit jari.

Sampai kemudian jadwal ujian masuk kampus negeri 2019 dibuka kembali, Ahmad mendaftarkan diri lagi. Akan tetapi, lagi-lagi ia harus kecele karena gagal untuk kesekian kalinya.

Tidak mau dirundung kesedihan, Ahmad pun lekas-lekas berdamai dengan keinginannya. Ia lantas memutuskan untuk kuliah di kampus swasta, mengambil kelas karyawan.

“Kuliah, ‘kan, untuk cari kerja setelah lulus. Lalu, kenapa gua enggak kerja lebih awal (saat kuliah) daripada harus nunggu lulus,” ucap Ahmad kepada Diakronik.com belum lama ini.

Bukan tanpa alasan Ahmad memilih keputusan itu, semuanya berpangkal pada beban ekonomi keluarga. Sebagai anak pertama, ia menyadari kewajibannya yang harus menggantikan orang tua menjadi tulang punggung.

Ia tinggal di rumah kontrakan dengan kedua adik dan orang tuanya. Kesadaran tersebut muncul tatkala menyadari situasi orang tuanya yang kian pelik. Bapak dari pemuda yang menginjak usia 24 di tahun ini, adalah pedagang pakaian di salah satu pusat perbelanjaan kawasan Jakarta Selatan. Sedangkan ibunya seorang ibu rumah tangga. 

Sebagai pedagang, orang tua Ahmad tentu mengalami pasang surut dalam penjualan. Situasinya makin rumit seiring perkembangan teknologi di sektor jual-beli, yang bikin pendapatan kian menurun karena tidak bisa beradaptasi. Biaya rumah tangga, sewa kontrakan, dan sekolah anak berjalan berdampingan dengan kondisi ini.

Kenyataan ini bikin Ahmad dibelenggu dengan kekhawatiran akan krisis yang bisa terjadi di masa depan. Pada titik itulah etos kerjanya muncul. “Gua lihat dari sisi faktor keluarga, kalau memang dagangannya sudah enggak selaris dulu. Jadi, memang secara statistik menurun,” ungkap pria kelahiran 2000 ini.

Pemuda yang bisa-bisa sakau karena tak makan olahan gulai Padang selama seminggu itu, akhirnya berstatus sebagai mahasiswa di salah satu kampus swasta Jakarta pada 2019. Mula-mula, ia tak jauh beda dengan mahasiswa lain yang kerap kongkow di kampus.

Barulah setelah beberapa minggu menyandang status mahasiswa baru, seorang temannya menawarkan pekerjaan admin gudang di salah satu perusahaan bilangan Jakarta Pusat. Waktu itu, orang tua Ahmad masih mampu membiayai, tapi lantaran ingin meringankan beban, ia mengiyakan tawaran tersebut.

Ahmad pun lekas menyiapkan persyaratan yang diminta temannya. Kala itu, syarat yang perlu dipenuhi amat mudah, hanya berbekal kartu identitas dan foto diri.


Tanpa Kontrak dan Jaminan Kerja

Tak sampai sepekan setelah persyaratan diberikan kepada temannya, Ahmad dipanggil ke lokasi yang kelak menjadi tempatnya bekerja. Peristiwa ini terjadi di akhir September 2019.

Setibanya di sana, Ahmad ujug-ujug diberitahu sudah diterima lewat perusahaan outsourcing melalui kenalan temannya. Dalam momen itu, ia tidak pernah disuruh menyetujui kontrak apa pun dari awal sampai akhir bekerja.

Ahmad bekerja tanpa kesepakatan upah, jaminan kerja, maupun penjelasan tugas apa saja yang mesti ia lakukan sebagai admin gudang. Semuanya disampaikan oleh pihak perusahaan gudang dan outsourcing hanya lewat lisan.

Ahmad sempat diberitahu, status kerjanya saat itu memasuki masa percobaan tiga bulan dengan upah Rp3,9 juta per bulan. Baru kemudian, setelah tiga bulan ia akan diangkat sebagai buruh kontrak. Lagi-lagi, persoalan ini hanya disampaikan secara lisan.

Tanpa ba dan bu, Ahmad langsung disuruh bekerja saat itu juga. Ia diberitahu apa saja yang mesti dilakukan sebagai admin gudang. Mula-mula, barang jual yang telah dikurasi berdasarkan tiap cabang akan dipindai menggunakan mesin scan barcode yang telah disediakan. 

Hal tersebut bertujuan untuk mendata barang apa saja yang ada di dalam satu karung. Setiap selesai satu karung, Ahmad akan mencetak kertas hasil data scan dan memasukkannya ke dalam tiap karung yang berisi barang yang sudah ia susun. 

Berikutnya, karung-karung ia jahit menggunakan mesin khusus dan kemudian dijatuhkan ke lantai satu. Lantai tersebut tak lain adalah tempat karung-karung barang yang siap diantar truk ekspedisi.

Aktivitas tersebut dilakoninya selama tiga bulan. Ia bekerja dari Senin sampai Jumat. Saban gawe, ia harus menyisihkan waktu 10 jam lamanya.

Selama bekerja, Ahmad dan buruh-buruh diwajibkan menaruh tas dan gawai di lantai satu, sedang ruang kerjanya di lantai dua. Dia bilang, “Mungkin takut (karena ada) indikasi orang ngambil barang kali, ya, (dan) bisa dimasukin ke tas. Walaupun sudah dipasang CCTV (closed-circuit television).”


Sistem Nombok dan Upah

Sistem nombok pertama kali Ahmad dengar saat diterima untuk bekerja. Pihak outsourcing dan perusahaan menyampaikan, setiap satu sampai dua minggu sekali, akan ada laporan jumlah barang yang terkirim dari kantor cabang. 

Sebagai buruh tanpa jaminan dan kontrak tertulis, Ahmad dan buruh lainnya harus menyisihkan upah Rp300-Rp400 ribu setiap bulannya. Biasanya, hal ini terjadi karena barang kurang atau lebih. 

Laporan tersebut disampaikan kepada pihak manajemen, sebelum pihak perusahaan menyampaikannya kepada Ahmad, baik barang yang kurang atau hilang maupun kelebihan jumlah atau jenis barang yang terkirim di tiap cabang. 

Dengan kata lain, Ahmad dan buruh lainnya, harus tanggung jawab atas semua itu. Padahal, belum tentu kesalahan itu dilakukan mereka.

“Nah, awalnya memang dibilang kesepakatannya adalah ketika barang itu dicek setiap bulan, (lalu) dapat laporan dari cabang yang dikirim, ada barang kurang dan lebih itu dicatat. Nanti setiap gajian dipotong sesuai nilai barang yang kurang maupun lebih. Jadi, memang nominal upahnya enggak pasti, berubah-ubah,” terangnya. 

Selang satu atau dua bulan bekerja, pihak outsourcing datang ke perusahaan gudang mengunjungi para buruh. Mereka menyampaikan, untuk mengatasi kekurangan maupun kelebihan barang kirim, sistem deposit harus diberlakukan. 

Skema tersebut lagi-lagi membebankan para buruh gudang seperti Ahmad. Semula, mereka nombok dengan mengetahui hasil penghitungan lebih dulu dan membayarnya di akhir saat gajian.

Sedangkan sistem deposit, mengharuskan mereka membayar Rp300 ribu di awal sebelum gajian. Alibi pihak outsourcing, sebagai antisipasi kelebihan atau kekurangan barang kirim yang dilaporkan setiap pekan. 

Keberadaan sistem deposit sejatinya tidak menggantikan model nombok setelah buruh diupah setiap bulannya. Kata Ahmad, kalau uang deposit yang dibayarkan di awal kurang dari total jumlah barang yang lebih atau kurang, ia tetap disuruh bayar lagi saat itu juga. 

Sudah bekerja diawasi puluhan CCTV, disuruh menaruh tas dan gawai pada lantai yang berbeda, mereka juga yang disuruh jadi garda terdepan perusahaan untuk mengatasi kerugian barang kiriman setiap bulan. 

“Kalau saat itu kita disuruh nombok juga, itu kita dikurangi lagi gajinya. Karena, deposit ini kan ditahan di awal sama outsourcing duitnya, bukan buat langsung potong gaji duitnya (saat gajian),” terangnya.


Model Eksploitasi Waktu Luang

Di sisi lain, cuma lewat perjanjian lisan, Ahmad mesti absen fingerprint dan buku di tempat kerja pukul 7.30. Telat satu menit saja, bisa-bisa ia dihardik atasannya yang selalu memantau lewat CCTV dan laporan absen. 

Tetapi sesampainya di kantor sesuai jam masuk, Ahmad nyatanya tidak langsung bekerja. Ia dan seluruh buruh lainnya harus bersih-bersih kantor dulu, sebelum menjalankan tugas sesuai divisi kerja pada 08.00. 

“Nah, gua masuk itu 7.30, (tapi) gua enggak langsung kerja. Mungkin (istilahnya) gua piket kali, ya. Itu gua disuruh nyapu dulu, bersih-bersih dulu lah sekitar 30 menit,” terang Ahmad.

Kata Ahmad, pihak perusahaan dan outsourcing sengaja menyuruh para buruh datang 30 menit sebelum alat bisa beroperasi di jam 08.00. Di kantornya, tak seorang pun boleh terlihat tidak “mengerjakan sesuatu”.

Kondisi jumlah petugas kebersihan yang hanya 1-2 orang, membuat skema tersebut dapat berjalan. Kalau tidak, sampah-sampah akan mengganggu aktivitas kerja.

“Jadi kalo alatnya belum bisa, gua belum bisa ngapa-ngapain dong sebagai admin gudang. Saat itu, gua (punya) waktu kosong kan. Nah, (di situ) gua disuruh ngisi waktu (buat bersih-bersih),” jelasnya. 

Perintah bersih-bersih bukan hanya terjadi di pagi hari, sebelum bekerja di ruang gudang. Kewajiban kerja sosial untuk perusahaan ini pun, juga mesti dilakoni sore hari sebelum pulang. 

Biasanya, bersih-bersih di sore hari membutuhkan waktu lebih lama karena kumpulan sampah setelah kerja. Dalam menjalankan tugas tanpa upah tambahan, Ahmad kerap diminta membersihkan ruangan gudang dan keuangan di lantai dua. 

Aktivitas menyapu, mengepel, buang sampah, dan mengelap kaca-kaca besar pun digarapnya. Tak habis sampai di sana, halaman parkir kendaraan setali tiga uang dilumat Ahmad sampai bersih. 

“Gua ngiter piketnya, enggak di ruangan gua doang. Jadi, piket itu sifatnya secara umum saja. Eh, sorry-sorry tadi gua lupa nyampein, piket gua tuh sampe luar-luar (pelataran kantor),” terangnya sambil tertawa.

Model eksploitasi lain juga terjadi di bulan terakhir ia bekerja, tepatnya akhir Desember 2019. Saat itu perusahaan sudah tutup buku, dengan menyelesaikan semua pendataan dan mengemas setiap barang untuk dikirimkan ke kantor cabang. 

Lantaran barang-barang siap kirim telah kosong di gudang, Ahmad dan buruh lainnya pun tidak memiliki tanggungan lagi. Namun, sialnya sang atasan tetap menyuruh mereka masuk kerja sampai waktu libur yang telah ditentukan.

Tak ada pilihan, Ahmad dan rekan-rekannya hanya bisa mengangguk. Ia pun tetap masuk dan pulang di jam kerja normal. Bedanya, kala itu, yang ia lakukan dari pagi hingga sore hanya bersih-bersih—sebuah pekerjaan yang lagi-lagi—bukan tugasnya sebagai admin.


Hampir Mati

Di hari yang sama, akhir Desember 2019, keadaan sangat suntuk dan membosankan. Ahmad berulangkali bolak-balik ke kepala gudang untuk melapor tugasnya yang telah selesai. “Itu gua bersih-bersih berulang kali, melakukan hal yang sama. Hanya agar kelihatan kerja,” katanya. 

Kalau saja Ahmad terlihat sedikit menganggur, ia khawatir bos menghampiri, memarahi, dan membentaknya. Kata Ahmad sembari tertawa, saat itu ia layaknya bot dalam sebuah game online

Ia terus melakukan hal yang sama, di tempat yang sama, walaupun area itu telah ia bersihkan. Situasi tersebut terjadi di akhir tahun saat barang-barang sudah kosong di gudang, tapi buruh diminta tetap datang ke kantor.

Sejatinya Ahmad sempat mengeluh kepada kepala gudang. Namun, ia malah disuruh mencari pekerjaan bersih-bersih yang lain agar terlihat bekerja.

Senang seperti tak sengaja menemukan uang di jalanan, Ahmad dipanggil salah seorang buruh yang telah lama bekerja di sana. Saat ia menghampirinya, rupanya ia diajak keluar gedung. 

Tubuh dan pikirannya bereaksi sangat cepat. Pikirnya, ia diajak mengantar barang menggunakan truk. “Gua kira (saat itu) disuruh ngirim barang, atau diajak ngerokok. Gua senang tuh, karena kalau di dalam gudang kan kita mau ngapa-ngapain (santai) terpantau,” ucapnya.

Ahmad segera mengiyakan ajakan orang itu, ia dipanggil Pak Jarwo. Mereka berdua akhirnya berjalan keluar bangunan. Sesampainya di luar, tidak seperti yang ia pikirkan, dirinya malah diajak ke bangunan kecil di area belakang gedung, tempat diletakkannya mesin dan tandon air. 

Mereka berdua masuk ke ruangan itu. Tepat di depan tandon air, Jarwo berkata, “Lu pakai daleman enggak?” kata Ahmad menirukan. Pertanyaan tersebut dijawabnya dengan: iya.

Tanpa ba dan bu, Jarwo menyuruh Ahmad membuka pakaiannya. Ia bingung, tak percaya, dan berkali-kali memastikan perintah itu. Berselang kemudian, dirinya baru sadar disuruh masuk ke tandon air untuk menguras dan membersihkannya dengan sikat.

Berkali-kali Ahmad ragu melakukannya, “Bersihin toren Pak? Gimana caranya Pak?” kata Ahmad menirukan pertanyaannya kepada Jarwo. “Gua kaget tuh disuruh bersihin tandon. Kok tiba-tiba disuruh bersihin tandon.”

Karena merasa tak enak hati, akhirnya Ahmad mengalah. Ia masuk ke dalam bak penampung air karena berpikir akan membersihkannya berdua dengan Jarwo. 

Akan tetapi, harapannya sirna. Bukannya berdua, Jarwo malah bertindak layaknya mandor. Lelaki itu cuma memantau Ahmad yang akhirnya menyikat membersihkan tandon seorang diri.

Selang beberapa lama, tiba-tiba Ahmad merasakan panas yang tak wajar di dalam tubuhnya. Dadanya terasa begitu sesak. Saat itu, ia memaksa dirinya untuk kuat karena takut dimarahi Jarwo. 

Beberapa menit berlalu, Ahmad tak kuat lagi menahannya. Dengan gerakan cepat, ia mengeluarkan setengah badannya pada lubang atas tandon dan memanggil Jarwo. 

“Pak ini kok badan saya panas banget, ya? Mata saya (juga) berair,” seru Ahmad dengan panik kepada Jarwo kala itu.

“Lah kenapa lu?” ucap Ahmad menirukan respons Jarwo. Seingatnya, saat itu Jarwo yang semula menjadi mandor seketika panik. Ahmad pun lekas diminta keluar dari bak penampung air.

Setelah keluar, Jarwo menghampiri tandon dan melihat ke dalam. Usut punya usut, rupanya di dalam tandon tergenang balok-balok kaporit berjumlah tujuh buah yang tidak diwadahi apa pun. 

Kata Jarwo, ucap Ahmad, seharusnya kaporit di tandon air hanya boleh diletakkan satu buah dan mesti di dalam wadah.

“Wah! Perih banget! Keluar-keluar lu, bisa mati keracunan lu, keluar-keluar,” tutur Ahmad, menirukan kepanikan Jarwo. 

Mereka segera pergi keluar dari ruangan dan menuju warung di seberang gedung. Ahmad dibelikan susu dengan harapan dapat menetralisir rasa panas dalam tubuhnya. Saat itu, matanya terus berair dan dada tetap sesak. 

“Gua kira susu (beruang)! Ternyata susu SKM (susu kental manis) harga tiga ribu!” terangnya sembari terbahak-bahak. Mau tidak mau, ia tetap meminumnya. Ia pikir, daripada tidak sama sekali.

Bagaimana tanggapan lanjut dari Jarwo? Bukannya minta maaf atas keteledorannya, Ahmad malah diberi nasihat, “Yah lu rasain dah nih, biar belajar tentang kehidupan,” ucap Jarwo bak filsuf seperti ditirukan Ahmad. 

Mulanya Ahmad begitu kesal, sebab peristiwa di dalam tandon yang panjangnya masih kalah dari liang lahad hampir saja merenggut nyawanya. Namun, belakangan kegetiran tersebut dikenangnya dalam bingkai lucu. Kini, ia menertawai pengalaman hampir keracunan kaporit itu.

Saat itu, petuah Jarwo menyoal kehidupan pun Ahmad anggap sebagai nasihat. Dia juga heran. Ia pikir, ceramah Jarwo ada benarnya untuk anak muda yang belum pernah merasakan dunia kerja.

Sore setelah ajal tidak jadi menjemput, akhirnya ditutup dengan semangkuk mie ayam. Lahap Ahmad memakannya, terlebih bukan dirinya yang bayar, tapi Jarwo. Barangkali, Jarwo tak enak hati karena tidak bisa lugas menyampaikan perasaan bersalahnya kepada Ahmad.

Akan tetapi, hal penting yang perlu diingat adalah model eksploitasi berdasarkan waktu luang kerja yang mungkin saja juga terjadi di tempat kerja mana pun. Pengalaman hampir mati keracunan itu pun menjadi penutup kisah eksploitasi yang dialami Ahmad.

Setelah libur dua bulan pasca-peristiwa hampir keracunan, pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia. Saat itu, Ahmad diberhentikan kerja sampai waktu yang tidak ditentukan. Pesan itu disampaikan lewat Whatsapp. Hingga kini, Ahmad tak pernah lagi dihubungi untuk kembali bekerja.

Editor: Akbar Ridwan

ARTIKEL LAINNYA

Hari HAM Sedunia, Buruh Desak Pemerintah Ratifikasi Konvensi ILO 190
Diskusi BPJS PBI Buruh-Ojol Banten: Minimnya Informasi dan Akibat Status Kemitraan
Survei Komite Hidup Layak: 76% Rumah Tangga Buruh Terjerat Utang karena Politik Upah Murah
Aliansi Dobbrak Buruh-Ojol Advokasi BPJS PBI Serahkan Berkas Permohonan ke Dishub Banten 

Temukan Artikel Anda!