Iyashikei: Upaya Pemulihan Jepang atas Tragedi Kolektif

Iyashikei: Upaya Pemulihan Jepang atas Tragedi Kolektif

Iyashikei
Cuplikan salah satu anime bergenre iyashikei, Non Non Biyori (Anime News Network)

Manusia terbentuk dan terbentur oleh berbagai macam peristiwa setiap detiknya. Persilangan tersebutlah yang akan melahirkan kita di detik ini, entah bagaimanapun bentuknya. Seiring waktu berjalan, persepsi dan treatment manusia atas luka yang diterima semakin berkembang dan bervariasi.

Beberapa tahun belakangan, genre iyashikei dalam anime dan manga mulai naik daun. Istilah iyashikei ini muncul ke permukaan beriringan dengan masyarakat dunia yang melek atas isu kesehatan mental. Ketika pandemi Covid-19, anime dan manga iyashikei menjadi pilihan sebagai obat atas terjadinya bencana global yang menyerang seluruh aspek kehidupan manusia, khususnya masalah psikis. Bila disederhanakan, iyashikei merupakan anime healing.


Yang Fana Adalah Waktu, Iyashikei Abadi

Iyashikei muncul sebagai reaksi atas terjadinya bencana di Jepang. Pada awal tahun 1990, Jepang mengalami “dekade yang hilang” atau lost decade akibat ketidakstabilan ekonomi pada 1980. Kemudian pada 1995, Jepang mengalami bencana “Gempa Bumi Besar Hanshin” dan serangan teroris “Insiden Gas Bawah Tanah Sarin.” Situasi ekonomi, sosial, dan politik Jepang yang kacau ini membuat iyashikei dianggap sebagai obat bagi masyarakat.

Iyashikei merujuk pada orang-orang yang memberikan perasaan hangat dan damai sehingga membuat orang lain melupakan masalahnya. Dalam konteks ini, ada baiknya saya mengutip langsung apa yang disebutkan oleh Paul Roquet sebagai berikut:

“Iyashi is a nominalization of the verb iyasu, meaning to heal or mend both physically and psychologically. The term first appeared in the context of anthropologist Ueda Noriyuki’s medical ethnography of a Sri Lankan village entitled “Akumabarai—Iyashi no kosumorojii” (later published as Ueda Noriyuki, Kakusei no nettowa¯ku [Tokyo: Katatsumurisha, 1990]). This term was picked up by a Yomiuri shinbun journalist covering the event and emerged— seven years later—as a popular expression in advertising and other media. The term was eventually extended to include humans as well, describing an iyashi-kei (healing-type) person who radiates a feeling of peacefulness and makes all those they encounter forget their troubles and feel at ease. This use of the term fi rst emerged in reference to female television talk-show personalities and later expanded to include actresses, fashion models, comedians, politicians, and even scholars.1

Dalam lingkup karya fiksi, novel buah tangan Haruki Murakami berjudul Hear the Wind Sing (1979) menjadi salah satu dari deretan karya fiksi yang merefleksikan fenomena iyashikei. Sedangkan pada ranah anime, beberapa karya yang lahir di antaranya Omoide Poroporo (1991), Yokohama Kaidashi Kikou (1998), Mushishi (2005), ataupun Aira the Animation (2005).

Iyashikei membawa nafas mono no aware, sebuah istilah yang mengacu pada pemahaman dan penghargaan mendalam atas suatu proses kehidupan. Mono no aware merupakan bagian dari perjalanan kebudayaan masyarakat Jepang. Motoori Norinaga, salah seorang filsuf era Edo mengembangkan ajaran ini lewat Kojiki-den (Commentaries on the Kojiki)2 yang di kemudian hari menjadi fondasi awal gagasan hukum dan agama di Jepang.

Masyarakat Jepang sendiri tumbuh bersama tragedi kolektif. Secara geografis, Jepang rentan dengan bencana alam, seperti gempa bumi, tsunami, angin topan, letusan gunung berapi, hingga gelombang pasang. Jepang juga menjadi satu-satunya negara yang berjuang atas bencana kemanusiaan bom atom Hiroshima dan Nagasaki. Atas dasar itu, mono no aware menjadi teman baik masyarakat Jepang.


Iyashikei dan Praktiknya dalam Dunia Anime

Secara sekilas, anime bergenre iyashikei selingkup dengan anime slice of life yang kental dengan penceritaan kehidupan harian, kisah romansa, drama, maupun komedi. Pembeda utama dari keduanya terletak pada cara masing-masing anime ini menyampaikan pengalaman emosi sebagai katarsis. Poin utama inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa anime iyashikei adalah anime untuk healing.

Pada subbab ini, pembahasan mengenai iyashikei akan saya bagi dalam tiga fase, yakni era ‘90, 2000, dan 2010. Tentu saja periodesasi ini tidak mutlak dan benar adanya karena semuanya hanya berlandaskan pada pandangan pribadi saya yang sangat amat jauh dari kata kompeten.

Jejak iyashikei dalam anime bisa dilihat dari Omoide Poroporo (Only Yesterday) yang rilis di tahun 1991. Lewat anime ini, rasa-rasanya kita harus memetakan kembali bagaimana diri kita di masa lalu untuk menjawab bagaimana diri kita di masa sekarang. Sebab, cara kita bersikap dan memandang dunia terbentuk dari rentetan kejadian di hidup yang tak ada hentinya.

Sejujurnya, pencatatan Only Yesterday sebagai anime iyashikei sulit untuk ditemukan, termasuk situs MyAnimeList.3 Hingga pada sebuah blog pribadi Zeria, anime ini dicantumkan dalam pembahasan iyashikei.4

Beranjak pada tahun 1998, anime lain yang patut diperhitungkan adalah Yokohama Kaidashi Kikou (YKK). Anime YKK merupakan adaptasi dari sebuah manga yang terbit pada tahun 1994 dengan judul yang sama. Manga YKK sendiri oleh Zeria disebut sebagai gerbong awal iyashikei.5

YKK membangun dunia ceritanya dengan nuansa apokalips dan sci-fi. Jika dibandingkan dengan Omoide Poroporo, pembangunan dunia YKK berbanding terbalik 180 derajat. Namun dengan hal seperti itu, YKK sama sekali menjauhkan dari kesan futuristik. YKK menghadirkan persoalan relasi antar manusia, alam, dan sekitarnya. Sekiranya, anime ini ingin mengatakan bagaimana membuka lembaran baru atas kesalahan di masa lalu.

Dua anime tersebut merupakan sekilas pandang mengenai anime iyashikei yang hadir pada era ’90. Secara umum, anime yang lahir pada era tersebut memang masih banyak membawakan persoalan yang terjadi di masyarakat Jepang, seperti apokalips, perang dunia, sci-fi, bencana, dan isu kemanusiaan. Sebut saja Princess Mononoke (1997), Neon Genesis Evangelion (1995), Serial Experiments Lain (1998), Ghost in the Shell (1995), Perfect Blue (1997), hingga Heisei Tanuki Gassen Ponpoko (1994). Atas dasar itu juga yang melahirkan anime iyashikei dengan irisan yang sama.

Tentu saja hal tersebut berlaku di YKK yang bersentuhan dengan sci-fi. Irisan Omoide Poroporo sukar sekali untuk disandingkan dengan kebanyakan anime lainnya yang lahir di era ’90. Persoalan ini hanya bisa kita sandingkan dengan Heisei Tanuki Gassen Ponpoko dan Hotaru No Haka (1988). Hal ini didasari pada sutradara dari Omoide Poro, Isao Takahata dan corak dari studio anime tersebut dilahirkan –studio Ghibli- yang cukup keras dalam membahas isu sosial.

Gelombang kedua iyashikei dalam anime terjadi dalam rentang waktu 2000-2010. Fase ini dihiasi oleh Mushishi (2005), Aria the Animation (2005), Hidamari Sketch (2007), Natsume Yuujinchou (2008), hingga So Ra No Wo To (2010). Isu yang diangkat dalam gelombang kedua anime iyashikei ini mulai bergeser ke arah setting dunia supranatural ataupun kehidupan sekolah (school life).

Pada kasus anime Mushishi, penyampaian dalam anime iyashikei tidak digambarkan dengan model cerita seperti Omoide Poroporo atau YKK. Anime ini bercerita mengenai perjalanan seorang ahli supranatural dalam mengatasi hal-hal ghaib. Setiap episodenya, penonton disuguhkan dengan bagaimana sebuah tragedi hadir sedekat urat nadi. Mushishi menempatkan tragedi seperti daging sapi dan ke arah manakah pisau kita akan terpatri.

Perkara supranatural juga diaminkan oleh anime Natsume Yuujinchou.6 Menonton Natsume berarti kita juga belajar untuk menolak hukum alam: kita bertemu seseorang di hari ini tanpa tahu dia kemarin seperti apa. Di sini, kita berkenalan dengan Natsume Takashi secara utuh, yakni dengan melihat masa lalunya dan dia di masa sekarang.

Aria the Animation sendiri menjadi anime iyashikei pada gelombang kedua yang mengambil jalur di luar kehidupan sekolah dan supranatural. Fokus anime ini menggambarkan perasaan setiap orang yang ingin merasakan kehangatan dan kedamaian. Anime ini memperlihatkan bagaimana dari hal-hal kecil yang ada di sekitar menjadi satu hal yang lebih bermakna.

Aria berbeda jauh dengan Mushishi yang terkesan melankolis dan sendu. Sederhananya, bayangkanlah kehidupan di Kota Air Venesia, sangat cerah bukan?

Hal menarik lainnya dapat kita temukan di Hidamari Sketch yang membawakan cerita kehidupan sekolah dan So Ra No Wo To dengan gagasan anti-war yang juga anti-mainstream. Jika pada umumnya film atau anime dengan konsep anti-war menarasikan bagaimana hancurnya kehidupan manusia akibat perang, So Ra No Wo To menjelaskan bagaimana berartinya kehidupan tanpa adanya perang.

Perkara Hidamari Sketch, saya tidak akan berbicara banyak karena kalian akan melihat bagaimana studio Shaft memperlakukan animenya secara ciamik. Namun secara cerita, saya pikir Hidamari Sketch menjadi penanda perubahan pada anime iyashikei di gelombang selanjutnya.

Pada gelombang ketiga, era 2010 dan seterusnya, iyashikei mengalami perubahan cukup signifikan yang ditandai dengan hadirnya tema anime Cute Girls Doing Cute Things. Selain itu, lingkungan sosial karakter utama pada gelombang ketiga ini didominasi oleh perempuan dan berpusat pada dunia school life ataupun interaksi manusia dengan alam. Hal ini tertuang di anime Non Non Biyori (2013), Tamako Market (2013), Gochuumon wa Usagi desu ka? (2014), Danchigai (2015), Konohana Kitan (2017), hingga Yuru Camp (2018).

Pembangunan cerita dalam gelombang ketiga ini berlangsung secara linear dengan komedi sebagai topping-nya.

Terakhir, pada pencatatan di situs MyAnimeList, iyashikei tidak mempunyai kategori maupun genre tersendiri. Konsep mono no aware banyak masuk ke dalam anime dengan tema slice of life. Hingga sekitar tahun 2021, iyashikei dipecah dari slice of life.7


Catatan Kaki

  1.  Paragraf tersebut saya kutip secara utuh karena saya takut akan terjadi kesalahpahaman dalam terjemahannya ↩︎
  2.  Kojiki-den mengacu pada ulasan Motoori terhadap Kojiki (Record of Ancient Matters), sebuah karya tulis tertua mengenai legenda, mitos, sastra lisan, dan sejarah Jepang hingga era Kaisar Suiko. Dalam kata pengantarnya, disebutkan bahwa Kojiki ditulis oleh Ō no Yasumaro ↩︎
  3. Bagi saya pribadi, situs MyAnimeList merupakan situs yang cukup baik dan rapih dalam pengarsipan data anime sehingga rujukan pertama saya ada pada situs tersebut ↩︎
  4. Dalam situs pribadinya https://floatingintobliss.wordpress.com Zeria menuliskan dua artikel mengenai Iyashikei yang masing-masing berjudul “Iyashikei: The genre of catharsis” dan “Iyashikei: The Genre of Healing – An Attempt at a Definiton.” Jilid kedua tulisannya pernah dialihbahasakan dan diunggah pada situs KAORI Nusantara ↩︎
  5. Silahkan kunjungi https://floatingintobliss.wordpress.com/2016/01/11/iyashikei-the-genre-of-catharsis/ yang dirilis pada 11 Januari 2016 ↩︎
  6. Natsume Yuujinchou mempunyai tujuh serial dimana seri ketujuhnya direncanakan akan rilis pada akhir tahun 2024 ↩︎
  7. Sejauh ingatan saya, situs MyanimeList sempat mengalami perubahan sekitar tahun 2021 ke atas, yakni pengelompokan anime menjadi lebih detail seperti sekarang yang bahkan mempunyai pengelompokan berdasarkan demografi umur ↩︎
Editor: Hastomo Dwi Putra

ARTIKEL LAINNYA

Kerentanan Buruh Gig Economy: Menjadi Ojol Tidak Fleksibel dan Eksploitatif
Politik Oligarki Perpanjangan Jabatan Kepala Desa dan Kekuasaan di Pedesaan
Melacak Situs Resistensi dalam Film Suara Mama Fin (2016) dan Kisah Ema (2020)
Merebut Kuasa Representasi, Gerakan Perlawanan Papuan Voices

Temukan Artikel Anda!