Kondisi kerja yang buruk membuat Paulus didiagnosa penyakit tuberkulosis. Penyakit itu baru diketahuinya ketika ia sering mengeluhkan rasa sesak dan batuk tiada henti kepada sang istri. Alih-alih mendapatkan jaminan kesehatan, pria 51 tahun itu justru dipecat secara sepihak oleh perusahaan, tepat tujuh bulan setelah diagnosa.
PT Graha Fortuna Purnama (PT GFP) berdiri sejak tahun 1977. Pabrik ini memproduksi tangki dan pipa berbahan Fiberglass Reinforced Plastic (FRP). Perusahaan ini juga menyediakan jasa pemasangan pipa serta tangki berbahan FRP.
Selama 47 tahun beroperasi, pabrik yang berkantor pusat di Pluit, Jakarta Utara ini tumbuh menjadi industri raksasa yang menyuplai produk berbahan FRP ke perusahaan-perusahaan besar. Dilihat dari laman resmi PT Graha Fortuna Purnama, beberapa perusahaan besar yang menjadi klien mereka di antaranya Chevron, Djarum, Hyundai, IKPT, Pertamina, Mayora, Petronas, Unilever, dan sebagainya.
Beberapa produknya dapat ditemukan di situs belanja daring seperti Tokopedia dengan harga jual produk yang variatif. Misalnya, untuk jenis pipa berbahan FRP dengan kode produk Elbow FRP 90 DN 400 (16″) dibandrol dengan harga Rp6.000.000.
Dua produksi lainnya seperti tangki air berukuran 2.000 liter, dijual dengan harga Rp7.950.000. Sedangkan, produk pijakan kaki (FRP goulded grating) dijual dengan harga Rp14.000.000 per meter. Sementara, produk termurahnya yaitu benang jahit karung. Produk ini dijual dengan harga Rp4.000 per 150 gram.
Namun, dengan tingginya harga jual dan minat perusahaan besar untuk membeli produk mereka, tidak membuat PT Graha Fortuna Purnama menyediakan kondisi kerja yang layak kepada para buruhnya. Harga jual produksi ini juga dibangun di atas pelanggaran hak normatif perburuhan lainnya.
Sebagai pabrik manufaktur berbahan FRP, PT Graha Fortuna Purnama wajib menyediakan kondisi kerja yang layak kepada para buruhnya karena mereka dihadapkan pada bahan-bahan kimia berbahaya. Menurut Salmoen Wargadinata (2005), FRP adalah salah satu jenis komposit serat yang menggunakan pengikat plastik, atau dapat dikatakan serat sebagai penguatnya (filler) dan plastik sebagai pengikatnya (resin).
Di sisi lain, melansir muifatt.com, apabila serat kaca dihirup secara langsung dapat menyebabkan iritasi pada hidung dan mata manusia. Lebih lanjut, paparan serat kaca juga dapat menyebabkan rasa sesak, batuk dan iritasi pada paru-paru jika tidak menggunakan masker sesuai standar.
Kondisi Kerja Buruk
Direksi PT Graha Fortuna Purnama sendiri sempat terseret ke meja hijau karena terlibat kasus korupsi pada 2016. Saat itu, posisi direktur utama PT Graha Fortuna Purnama dipegang oleh Khossan Katsidi. Ia dinyatakan bersalah dalam kasus pengadaan instalasi air bersih di Kabupaten Padang Pariaman pada tahun 2011, dengan total kerugian negara sebesar Rp4,6 miliar.
Dalam sidang kasasi pada 29 Mei 2017, hakim MA menganulir putusan peradilan tingkat pertama dan menjatuhkan vonis 7 tahun penjara kepada Khossan. Ia juga divonis hukuman denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan dan wajib membayar uang pengganti sebesar Rp1,9 miliar.
Kasus korupsi yang menjerat PT GFP hanyalah salah satu dari operasi kotor bisnis mereka. Dalam bentuk yang lain, mereka juga turut andil dalam mempertahankan kondisi kerja yang tidak layak untuk para buruhnya. Seperti halnya yang dialami Paulus, pria 51 tahun yang menjadi korban pemecatan sepihak PT GFP.
Saya menemui Paulus pada Rabu, 27 Juli 2024 lalu, ketika Paulus bersama serikat buruh tempat kerjanya, Serikat Buruh Bersatu-Federasi Serikat Buruh Karya Utama (SBB-FSBKU), melancarkan aksi pendudukan di depan pabrik PT GFP, Tangerang. Aksi protes tersebut dilakukan tepat seminggu setelah surat pemecatan terhadap 26 buruh dilayangkan pihak perusahaan.
Sebagai bentuk protes, Paulus bersama 25 buruh yang dipecat mendirikan tenda atau posko di depan pabrik. Cara itu mereka lakukan agar manajemen pabrik tidak kabur dengan menjual berbagai mesin produksi secara diam-diam.
Kasus pemecatan sepihak buruh PT GFP merupakan puncak dari tindak kebengisan manajemen perusahaan. Terlebih, para buruh mengaku, berada dalam kondisi kerja yang buruk selama bekerja. Paulus contohnya, selama 31 tahun bekerja menghirup bahan kimia dan kecipratan serat gelas sewaktu memproduksi pipa dan tangki di PT Graha Fortuna Purnama.
Paulus bekerja tanpa menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) yang layak. Ia bekerja hanya bermodalkan baju berlengan panjang milik pribadi. Tanpa pelindung mata, masker gas dan sarung tangan yang layak. Padahal, Paulus sehari-harinya dihadapkan dengan bahan-bahan kimia yang hanya berjarak sekitar satu meter dengan dirinya.
Tak ada perbaikan dari manajemen pabrik selama bertahun-tahun. Sementara, Paulus hanya bisa menertawakan kondisi kerjanya, “Kalo di dalem PT Graha kan maskernya cuma masker yang debu itu lho. Masker biasa, nyebutnya masker medis ya.”
“Sarung tangan ada memang, dan diharuskan pakai lengan panjang. Tapi sarung tangan kain, bukan sarung tangan karet,” imbuh Paulus.
Melansir Fiberglassandresin.com, setidaknya ada empat APD yang dibutuhkan dalam pemroduksian barang berbahan fiberglass. Pertama, masker respirator berfungsi untuk melindungi diri dari uap dan partikel debu fiberglass. Kedua, sarung tangan nitril, digunakan untuk melindungi tangan dari bahan kimia campuran dan serat fiberglass yang kecil.
Ketiga, pelindung Mata fungsinya untuk mencegah resin atau katalis masuk ke mata. Terakhir, pakaian pelindung diri, berfungsi untuk menghindari terjadinya kontak langsung dengan bahan kimia berbahaya dan serat fiberglass.
Cipratan bahan kimia campuran resin selalu menembus sarung tangan berbahan kain yang ia gunakan. Parahnya, kata Paulus, sarung tangan kain belum tentu selalu disediakan. Karena itu, ia dan para buruh lainnya sering bekerja dengan kondisi tangan telanjang.
Kulit seperti ditusuk-tusuk, gatal-gatal kemerahan dan iritasi akibat terkena cipratan serat gelas, menjadi makanan pokok para buruh PT Graha Fortuna Purnama. Rasanya, “Seperti saat menebang pohon bambu, atau berjalan di ladang jagung,” kata Paulus.
Bekerja dengan bahan kimia tak bisa dihindari. Selama puluhan tahun Paulus terus terpapar cipratan serat gelas.
“Pernah tangan saya merah-merah iritasi, panas, tapi nanti hilang. Itu kena bahan baku resin, yang sudah dicampur katalis. Serat gelas itu menempel, lewat pori-pori. Itu kalo yang nggak biasa, setengah hari saja sudah bisa keluar kerja,” lanjut Paulus.
Bak jauh panggang dari api, kondisi kerja yang sehat dan aman di PT GFP sulit dirasakan oleh para buruh. Pasalnya, Paulus mengaku tidak pernah menyaksikan petugas Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) atau safety officer selama ia bekerja. Padahal, peran mereka adalah menjaga standar K3 terpenuhi di tempat kerja, sehingga manajemen pabrik tidak melakukan pembiaran terhadap kondisi kerja yang buruk.
Absennya petugas K3 dan tidak adanya APD yang layak pun berimbas buruk bagi para buruh. Cipratan-cipratan cairan bahan kimia pada tangan telanjang cenderung susah dihilangkan. Akibatnya, para buruh terpaksa mengatasi masalah itu dengan cairan kimia yang sedianya untuk membersihkan alat. Hal ini dilakukan agar cipratan kotoran di tangan lekas menghilang.
“Ada juga para pekerja yang cuci tangan menggunakan aseton [dampak dari tidak adanya petugas K3]. Aseton itu kan buat bersihin alat-alat yang ada. Karena di situ kan ada banyak bahan baku tambahan,” tambah Paulus.
Di PT GFP, Paulus bekerja sebagai operator di bagian quality and control (QC). Ia harus memastikan proses pencampuran bahan kimia, laminasi, pembasahan resin, hingga pengujian ketahanan kebocoran pada pipa atau hydrotest yang sesuai dengan standar operasional perusahaan.
Serupa tentara yang dikirim ke medan perang tanpa perlengkapan, seperti itulah kondisi kerja buruh PT GFP. Buruh yang bekerja tidak bisa menghindari penggunaan bahan kimia. Celakanya, perusahaan tak mau ambil pusing.
Hingga Akhirnya Terkena Penyakit Paru
Sejak 1993 bekerja, keluhan batuk dan rasa sesak di dada ia rasakan sejak tahun 2019. Setiap malam dan dini hari, Paulus mengalami batuk-batuk berdahak dan sesak napas. Ia sering mengeluhkan rasa itu kepada istrinya. Tetapi, ia pikir kejanggalan itu hanya penyakit yang biasa saja.
“Kaya sesak juga, di waktu malam. Kaya apa, ya, napasnya itu kaya ada yang nahan. Pokoknya (juga) sekitar jam tiga jam empat menjelang subuh itu batuknya lumayan dan berdahak,” ujarnya.
Saat memasuki tahun 2020, tepat dimulainya era pandemi Covid-19 di Indonesia, Paulus sempat menduga batuk-batuk dan sesak napas yang ia alami sebagai bagian dari virus itu. Tetapi, setelah beberapa kali melakukan pemeriksaan virus, ia selalu lolos dengan hasil negatif.
Ia tidak hanya bekerja di Tangerang, beberapa kali Paulus ditugaskan ke luar kota juga luar pulau. Pekanbaru, Batang, dan terakhir di Gresik. Saat di Gresik pada Januari 2024, ia ditugaskan ke salah-satu perusahaan untuk melakukan pemasangan pipa dan tangki.
Ada dua orang yang dikirim sebelum Paulus. Kedua-duanya melewati proses pemeriksaan medis atau Medical Check Up (MCU) yang menjadi persyaratan kerja perusahaan tersebut. Namun, dua orang teman Paulus gagal lolos tes akibat penyakit yang diderita.
Kala itu tubuh Paulus diperiksa menggunakan berbagai peralatan uji kesehatan, termasuk juga proses pemeriksaan bagian dalam tubuh atau rontgen. Hasilnya, Paulus dinyatakan, tidak lolos tes dan harus dipulangkan kembali ke Tangerang.
“Pas cek di paru-paru, saya juga nggak tau lah kalau saya punya penyakit ini tiba-tiba. Nah, saya cek, setelah seminggu, saya dinyatakan tidak lolos, dalam arti paru-paru saya ada flek-flek putih banyak. Intinya, kata dokter saya terkena TB [Tuberculosis],” ujar Paulus.
Paulus masih tidak percaya dengan hasil pemeriksaan kesehataan saat itu. Dokter lalu menyarankan Paulus untuk melakukan pemeriksaan MCU tingkat lanjut. Sontak, Paulus menyampaikan hal tersebut ke perusahaan.
Laporan tersebut diterima perusahaan. Tetapi, bukannya difasilitasi untuk melakukan pemeriksaan tingkat lanjut, Paulus malah disuruh pulang ke Tangerang oleh perusahaan. “Pak Paulus pulang aja,” ujar Paulus, menirukan manajemen perusahaan.
Alhasil, setelah berdiskusi dengan istrinya, Paulus memutuskan untuk melakukan pemeriksaan secara mandiri di rumah sakit kampung halamannya, Yogyakarta. Hasil pemeriksaan menyatakan hal yang sama, bahwa Paulus terkena penyakit tuberkulosis.
Paulus dirujuk ke puskesmas dekat tempat ia tinggal di Tangerang. Setiap dua minggu sekali, ia mengambil obat di puskesmas itu. Obat ini harus rutin diminum setiap hari selama enam bulan. Dokter menyarankan dengan mengonsumsinya langsung tiga butir di pagi hari, dua jam sebelum makan.
Paulus dipecat dalam kondisi tubuh yang mesti rutin meminum obat selama enam bulan. Pemecatan sepihak itu buntut dari protes ia dan para buruh terkait perubahan status kerja. Lewat kuasa hukumnya, PT GFP berencana mengubah status buruh tetap menjadi kontrak. Kini, ia dan para buruh lain sedang menuntut haknya atas pemecatan sepihak perusahaan. Di satu sisi, buruh PT GFP berhak memperoleh pemenuhan kembali hak kesehatannya sebagai manusia; bukan disetarakan dengan mesin pabrik.