Bagaimana membela hak-hak Wanita-tani

Bagaimana membela hak-hak Wanita-tani

Mengorganisir Wanita Tani
Mengorganisir Wanita Tani (Diakronik/Hastomo Dwi Putra)

Penulis: Sumarni Werdojo

Dimuat Harian Rakjat Edisi Rabu, 26 Januari 1955 halaman 3

Dalam mengorganisir kaum wanita harus difikirkan benar-benar bagaimana biasanja menggerakkan kaum wanita tani agar mereka dapat djuga ikut merasakan adanja perobahan-perobahan demokratis. Terutama untuk Indonesia dimana rakjatnja sebagian besar merupakan kaum tani, kedudukan kaum wanita tani tidak dapat begitu sadja diabaikan. Sesungguhnja kemerdekaan harus berarti lenjapnja rantai adat-adat kolot jang masih mengikat kaki dan tangan kaum wanita tani di desa-desa.

Bagi organisasi wanita jang demokratis tentu sadja setelah dapat menghimpun mereka dalam satu barisan berkewadjiban membikin program jang setjara langsung berfaedah bagi kaum wanita tani, hingga bisa menggerakkan mereka mengadakan aksi-kasi untuk perbaikan nasib.

Plan peluasan anggota dan organisasi Gerwani baru berdjalan baik djika disertai program jang konkrit dan sesuai dengan kebutuhan sehari-hari kaum wanita tani. Dalam melaksanakan suatu program harus banjak memperhatikan tentang:

  1. Keadaan penghidupan kaum wanita tani disesuatu desa.
  2. Adat-istiadat setempat.
  3. Keistimewaan chusus jang terdapat didesa.
  4. Kelemahan-kelemahan jang masih menondjol pada anggota-anggota sendiri.

Karena ampat persoalan tersebut sudah mulai diperhatikan oleh aktivis-aktivis Gerwani, maka pada umumnja peluasan anggota mendapat sambutan jang sangat memuaskan, sebab wanita desapun sudah mempunjai pengertian bahwa dengan organisasi itu kaum wanita tani akan mendapatkan tuntunan bagaimana tjara menuntut perbaikan nasib. Ini adalah sudah sewadjarnja karena selama ini mereka hidup menderita diliputi oleh berbagai matjam kesulitan.

Kaum wanita tani didesa-desa sesungguhnja memegang peranan jang penting. Dalam rumah tangga mereka tidak hanja menerima blandja begitu sadja dari suaminja dan segala sesuatu jang diperlukan untuk rumah-tangganja tetapi mereka djuga mendjadi pentjari nafkah, walaupun kewadjibannja sudah begitu berat, tetapi didalam lapangan hak waris mereka tidak mempunjai hak apa-apa. Demikianlah kepatutan hidup kaum wanita tani.

Mereka mendjadi dibadjakan oleh kepahitan hidup itu hingga mereka tetap memiliki sifat-sifat jang murni, djudjur, taat dan setia sangat nampak didalam rapat-rapat jang diselenggarakan ditiap desa, mereka dengan tidak usah diminta membawa sebagian dari hasil kebunnja atau makanan jang sengadja mereka buat, untuk serahkan bagi kepentingan rapat itu. Keredlaan berkorban dan ketaatan mereka tentu sadja harus segera diraih.

Kalau mereka sudah memberikan sesuatu sebagai tanda penghargaan, organisasi mesti dengan segera mendjelaskan arti sumbangannja bagi perdjuangan untuk kemudian ditingkatkan memberikan djalan keluar bagaimana berdjuang untuk membela nasibnja. Disamping terus-menerus dengan sabar mendjelaskan bahwa tuntutan pokok kaum wanita tani adalah berdjuang untuk memiliki tanah jang mereka kerdjakan, djuga diwajibkan kepada aktivis-aktivis organisasi melatih kaum wanita tani dalam aksi-aksi ketjil dan remeh jang dapat memperbesar semangat tolong-menolong, semangat persatuan, semangat memetjahkan segala sesuatu untuk mengatasi segala matjam kesulitan dan mempertinggi melitansi mereka.

Sering terdengar dalam telinga bahwa didesanja tidak ada objek sebab tidak ada sengketa tanah. Suatu kenjataan dilupakan bahwa sampai kini kaum wanita tani masih mengalami perbedaan upah untuk tiap matjam pekerdjaan, misalnja untuk pekerdjaan menjiangi rumput (matun) atau tanam padi upah untuk laki-laki R. 2.00 sedangkan untuk wanita R. 1.50. Djelasnja tenaga wanita hanja dihargai ¾ tenaga laki-laki. Hal jang demikian tentu menundjukkan betapa tidak adilnja peraturan jang berlaku.

Diskriminasi sematjam itu tidak dapat dibiarkan untuk berdjalan terus, aktivis-aktivis organisasi harus lebih menguasai hubungan agraria didesa jang memelaratkan kaum wanita tani supaja bisa memimpin setjara baik dan merobah kegandjilan-kegandjilan jang menjolok. Untuk menjakinkan mereka bahwa stelsel jang demikian itu bukannja takdir haruslah melalui pendjelasan-pendjelasan jang mudah diterima, tlaten dan sabar dan disertai tjontoh-tjontoh jang sehari-hari mereka alami sendiri, kesabaran sangat diperlukan sebab sebagai akibat dari stelsel feodalisme kaum wanita tani bersifat lekas tunduk kepada jang memimpin dan mudah menjerah kepada takdir.

Bikinlah mereka mendjadi kritis dengan banjak mengadjak mereka membitjarakan nasibnja. Kaum wanita tani jang hidupnja sebagai buruh atau lazimnja disebut buruh tani wanita supaya dikumpulkan, diadjak berbitjara, berapa djumlah upah jang diterimanja untuk tiap matjam pekerdjaan misalnja, menanam padi, menjiangi rumput, menuai padi, mentjabut kedele, katjang dsb, dalam hal ini bisa bekerdja sama dengan organisasi tani setempat misalnja BTI.

Setelah diketahui upah jang didapat, dibitjarakan kebutuhan hidupnja berapa, supaja mengetahui bahwa upahnja sangat tidak tjukup, padahal si pemilik sawah jang tidak bekerdja mengantongi untung melimpah-limpah. Soal ini perlu mereka ketahui supaja bisa menjusun tuntutan perbaikan upah dan supaja mengerti bahwa jang membikin tjelaka mereka adalah tuantanah.

Dalam pengalaman membuktikan, bahwa pengertian tentang tuantanah masih kabur karena hubungan keluarga satu sama lain. Maka itu perlu dikemukakan bahwa tuantanah ialah orang jang memiliki tanah, tetapi tidak mengerdjakan tanahnja dengan tenaga kerdja sendiri, jang semata-mata hidupnja dari penghisapan atas kaum tani, terutama dalam bentuk sewatanah.

Kaum wanita tani jang hidupnja memburuh sebaiknja diatur dalam regu-regu jang misalnja terdiri dari 10 orang, kepada mereka diberi pengertian, bahwa bagi orang jang membutuhkan tenaga mereka harus lebih dulu memberitahu dan meminta tenaga jang dibutuhkan kepada regu gotong rojong tsb.

Kemudian jang akan membagi kelompok-kelompok mana jang akan mendapat giliran untuk bekerdja adalah diputuskan didalam regu-regu itu dengan maksud agar semua anggota mendapat giliran jang merata dan mentjegah djangan sampai upahnja ditekan serendah-rendahnja, singkatnja dengan regu-regu ini djuga dapat ditentukan upah pokok jang sama didesa, selain itu bagi kaum wanita tani djuga akan terlatih didalam hal:

  1. Bekerdja dengan teratur.
  2. Memperdalam kesedaran hidup berorganisasi untuk memudahkan pemasukan dalam organisasi wanita atau tani.
  3. Memikirkan nasib teman-temannja untuk mendapatkan lapangan pekerdjaan, hingga tertanam tjinta kepada sesama manusia dan semangat persaudaraan.
  4. Melawan pemerasan tuantanah jang diluar batas dengan menentukan sewa tanah dalam bentuk kerdja.
  5. Melawan Ngidjo tenaga jaitu pemberian uang beberapa bulan sebelum bekerdja dengan maksud agar bisa menekan upah lebih rendah lagi.

Latihan-latihan ketjil tersebut meskipun nampaknja remeh tetapi sangat besar artinja bagi kehidupan organisasi, dengan demikian para anggota akan terlatih didalam hal disiplin supaja kemudian bisa ditingkatkan mengadakan aksi-aksi jang lebih tinggi lagi ialah mengachiri kekuasaan tuantanah terhadap tanah jang dipergunakan sebagai sumber exploitasi. Mulailah dengan aksi-aksi ketjil dan remeh tapi hasil.

Catatan: Redaksi Diakronik.com menuliskan kembali esai Sumarni Werdojo yang dimuat Harian Rakjat tanpa mengubah penggunaan kata dan struktur kalimat. Pemuatan ulang sebagai bagian kerja-kerja kliping yang kami lakukan.

Editor: Redaksi Diakronik

ARTIKEL LAINNYA

Nyali Pena Puan Sumatra: Dari Reformis sampai Revolusioner di Negeri Jajahan
Gerakan PRD di Nganjuk Setelah Peristiwa Kudatuli 1996
Pawai Terakhir Mayday, Gagalnya Istana Buruh, dan Lintang Kemukus 1965
Pergerakan Sekerdja

Temukan Artikel Anda!