JAKARTA, DIAKRONIK – Memperingati Hari Perempuan Internasional 2024, sejumlah organisasi rakyat yang tergabung dalam Aliansi Perempuan Indonesia, melakukan aksi massa di depan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, 8 Februari 2024. Aksi tersebut diawali dengan pawai panjang, dari depan kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), yang diikuti kurang lebih 200 orang dan berakhir di depan Monas.
Peringatan Hari Perempuan Internasional 2024, menjadi momen bagi gerakan perempuan menyerukan perlawanan terhadap segala bentuk kebijakan rezim pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang dianggap masih mengesampingkan keterlibatan perempuan di dalam sistem demokrasi.
“Partisipasi perempuan masih sulit direalisasikan, karena belenggu kekerasan terhadap perempuan yang sistematis dan terstruktur,” tulis dalam pernyataan pers Aliansi Perempuan Indonesia.
Selama dua periode kepemimpinan Presiden Jokowi, Aliansi Perempuan Indonesia menilai, arah kebijakan pembangunan justru lebih berpihak pada agenda-agenda yang mendukung kepentingan oligarki. Terlihat dari beberapa produk hukum yang disahkan pada era pemerintahan Jokowi, meskipun mendapat kecaman keras dari kelompok masyarakat sipil.
Mulai dari Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020, yang kini diubah menjadi UU No 6/2023, UU No 7/2023 tentang kesehatan, UU No 1/2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan UU tentang Pemekaran Provinsi Papua, serta terakhir revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Disahkannya peraturan hukum tersebut, menurut Aliansi Perempuan Indonesia, juga disebabkan karena fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap eksekutif tidak berjalan. Alhasil, yang terjadi justru penyempitan ruang kebebasan masyarakat sipil.
“Kemerosotan demokrasi di Indonesia tergambar jelas dalam proses Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 lalu. Kita dipertontonkan ketidaknetralan Presiden hingga jajaran menterinya, serta pelanggaran etika karena adanya konflik kepentingan di Mahkamah Konstitusi,” tegas dalam pernyataan sikap.
Selain itu, aliansi juga menilai, bahwa Presiden Jokowi merupakan aktor utama yang melanggengkan praktik impunitas bagi para penjahat Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini merupakan ancaman serius, tidak hanya bagi partisipasi perempuan di dalam ruang demokrasi, namun juga kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ihwal keterwakilan perempuan dalam politik, tindakan diskriminatif terhadap partisipasi perempuan tergambar jelas dalam kontestasi Pemilu 2024 lalu. Meski keterwakilan mengenai perempuan sudah diatur dalam UU No 7/2017, juga dipertegas dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), namun komitmen pemenuhan keterwakilan perempuan dalam politik masih jauh dari apa yang harapkan.
Dilansir dari laman Kompas.id, sejak Pemilu 1955, keterwakilan perempuan Indonesia di parlemen masih cenderung minim. Riset Bank Dunia pada tahun 2019 menunjukkan Indonesia berada di peringkat ketujuh se-Asia Tenggara, dengan tingkat keterwakilan perempuan di parlemen (Kompas.id, 8 Maret 2024).
Rendahnya keterwakilan perempuan di parlemen juga berpengaruh terhadap arah kebijakan pembangunan Indonesia, khususnya yang menyangkut persoalan-persoalan perempuan. Semakin rendah keterwakilan perempuan, maka semakin persoalan perempuan tidak menjadi agenda prioritas kebijakan pemerintah.
“Isu perempuan tidak pernah dilihat sebagai persoalan serius. Bahkan, dari ketiga Paslon, tidak terlihat gagasan politik mereka untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dialami oleh perempuan,” ujar Ajeng selaku koordinator lapangan aksi Aliansi Perempuan Indonesia pada 8 Februari 2024.
Pemiskinan Struktural terhadap Perempuan
Selain masalah keterwakilan perempuan dalam konteks politik elektoral, kebijakan pasar kerja fleksibel turut memperparah kondisi perempuan di dunia kerja.
“Perempuan justru dipaksa masuk dalam lubang kemiskinan melalui kebijakan upah murah, relasi kerja informal dan tanpa pengakuan status kerja, minim perlindungan bagi penyandang disabilitas, perempuan hamil dan menyusui, serta diskriminatif pada keragaman identitas gender dan orientasi seksual,” tulis Aliansi Perempuan Indonesia dalam pernyataan pers.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2022, jumlah perempuan yang bekerja di sektor formal dan informal menunjukkan angka yang timpang. Di sektor informal tingkat prosentase perempuan sebanyak 64,43, sedangkan di sektor formal hanya 35,57 persen. Angka ini menunjukkan, bahwa perempuan buruh lebih banyak terserap di dunia kerja informal.
Kondisi kerja sektor informal membuat perempuan buruh lebih mengalami kerentanan. Sebab dalam kondisi kerja informal, perempuan buruh bekerja tanpa dilindungi oleh aturan hukum perburuhan; pembayaran upah di bawah upah minimum; bekerja dalam sistem kesehatan dan keselamatan kerja yang buruk; dan tidak adanya jaminan sosial; serta pengakuan terhadap status kerja mereka.
Hasil pemantauan Komnas Perempuan pada tahun 2022 terhadap jenis pekerjaan buruh rumahan atau perempuan pekerja rumahan di enam provinsi Indonesia, menemukan faktor penyebab kerentanan pada kondisi kerja buruh rumahan. Hal ini berdampak terhadap terjadinya pelanggaran HAM, diskriminasi dan Kekerasan Berbasis Jender, serta ketidakadilan jender.
Beberapa bentuk pelanggaran HAM tersebut diantaranya, yaitu: bekerja dalam jam panjang tanpa hak lembur; pembayaran upah di bawah ketentuan upah minimum; tidak dijaminnya pelindungan kesehatan dan keselamatan kerja (K3); ketiadaan tunjangan; tidak adanya jaminan sosial; ketiadaan perlindungan maternitas; menanggung segala risiko kerja dan beban biaya produksi; tidak adanya jaminan pekerjaan; tidak bisa menolak pekerjaan tanpa khawatir kehilangan pekerjaan; tidak berdaya untuk melaporkan kesewenangan pemberi kerja; serta tidak dapat mengakses layanan pengaduan pengawasan ketenagakerjaan.
Kondisi kerja yang semakin rentan membuat hak-hak perempuan buruh di tempat kerja terabaikan. Kebijakan pemerintah yang tidak pernah mendaulatkan perempuan buruh dan kelompok rentan lainnya, pada akhirnya hanya akan melanggengkan ketimpangan kelas.