“If I can’t dance, I don’t want to be part of your revolution,” tulis Emma Goldman dalam buku Ini Bukan Revolusiku.
Setiap kali membaca kutipan tersebut, saya selalu membayangkan bentuk peristiwa seperti apa yang memungkinkan hal itu terjadi dalam waktu yang sangat kontradiktif: revolusi sambil berdansa.
Barangkali, sulit dibayangkan dengan akal sehat, tapi saya percaya selalu ada cara untuk menciptakan dunia baru dengan gagasan yang lebih segar melalui cara-cara yang variatif, perlahan-lahan, dan dilakukan sambil bersenang-senang.
Ada beragam cara dan formulasi yang dapat dilakukan untuk mewujudkannya. Misal, pada 1893, Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD) membentuk serikat pekerja senam atau klub senam untuk mengorganisir kegiatan rakyat dan menyebarkan gagasan-gagasannya.
Tiga sampai empat kali dalam setahun, para anggota berkumpul untuk senam dan demonstrasi. Selain itu, setiap dua minggu sekali ada kunjungan senam ke komunitas lokal.
Hal tersebut merupakan upaya membangun solidaritas sekaligus memperkaya kehidupan pekerja saat mereka, secara kolektif, menciptakan gerakan untuk dunia yang lebih baik. Bayangkan saja, gagasan-gagasan tentang menciptakan dunia yang lebih adil dan setara disebarkan sambil meregangkan otot-otot, juga melenturkan tubuh!
Sementara itu, di waktu dan tempat lain, perempuan-perempuan di Maroko mendobrak peraturan yang mendiskriminasi para puan dengan bermain skateboard di jalanan! Pemicunya adalah kondisi sosial-politik di Maroko yang membuat perempuan sulit memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki.
Partisipasi perempuan di bidang sosial, ekonomi, politik, dan olahraga di negara tersebut masih sedikit atau sepenuhnya ditolak. Dengan demikian, bermain skateboard di jalanan bukan hanya selayaknya aktivitas olahraga biasa, melainkan gerakan politis, sebab sebagai wujud pemberontakan perempuan dalam melawan budaya patriarki yang mengakar di Maroko.
Meski dalam bentuk dan formulasi yang berbeda, saya menemukan semangat semacam itu dalam sebuah konser musik The Dare. Mereka terdiri dari empat personel dan seluruhnya perempuan.
The Dare memiliki gagasan-gagasan sebagai pondasi bermusik, dan selalu disebarkan di setiap aksi panggungnya. Buah-buah pikiran tersebut berkaitan dengan kesadaran terhadap isu-isu perempuan, terutama dalam lingkup konser musik.
Pada titik inilah, sebagai sebuah band, The Dare tidak sebatas bermain musik. Mereka mulai menghidupkan kembali gagasan yang nyaris dilupakan dalam ekosistem bermusik; penciptaan ruang aman bagi semua orang dan mengapuskan praktik kekerasan dan pelecehan berbasis gender di dunia kerja.
Dalam konteks dunia musik atau hiburan sejenisnya, beberapa paradigma perlu diarusutamakan, yaitu: perempuan berhak memiliki kesempatan yang sama dalam bermusik, konser musik harus menjadi ruang yang aman bagi perempuan, dan tidak ada tempat bagi seksisme, pelecehan seksual, serta kekerasan di dalam konser musik.
The Dare melakukannya dengan banyak cara. Dari membuat mini album bertema perempuan, menerjemahkan gagasannya dalam berbagai slogan, mengajak perempuan berdiri di barisan terdepan saat mereka tampil, dan mengupayakan perempuan memiliki posisi yang setara dalam berbagai kesempatan.
Sesekali, cara-cara tersebut dilakukan dengan serius, tapi tidak jarang diisi dengan candaan. Lepas dari itu, satu yang pasti, mereka melakukannya sambil bersenang-senang!
Jalan Panjang Menuju The Dare
Semua bermula dari sebuah ambisi besar. Pada 2018, Timmy Adhipa dan Sariri—akrab disapa Riri—terlibat di dalam suatu obrolan. Percakapan tersebut berkelindan dengan keinginan untuk membuat proyek musik yang nantinya diisi oleh keduanya—Riri mengisi vokal dan gitar, sementara Timmy menabuh drum.
Sebagai langkah awal, Timmy meminta Riri untuk menyanyikan lagu “Kiss Me” karya Sixpence None the Richer. Saat itulah, Timmy kagum dengan suara Riri dan merasa suaranya mampu mengalahkan karakter dari penyanyi aslinya.
Hingga kemudian untuk memastikan lagi, Timmy meminta Riri untuk menyanyikan lagu lain, yakni “Dunia Belum Berakhir” karya Shaden. Saat Riri melantunkan suaranya, keyakinan Timmy semakin bulat untuk membuat proyek musik yang menyertakan kawannya itu untuk mengisi vokal.
Namun, dalam mewujudkannya ada hambatan dan tantangan cukup serius, sehingga butuh proses panjang. Timmy mengaku, ia membutuhkan waktu lama untuk membujuk dan meyakinkan Riri. Setelah kurang lebih dua minggu, Riri akhirnya menyanggupi dan bersedia bernyanyi..
Setelah urusan pembagian posisi kelar, Timmy dan Riri mencoba membuat beberapa lagu sebagai materi awal dari album mereka. Lantas tercipta tiga lagu dengan durasi yang masing-masing sekitar 5-10 menit.
Bagan dan musik selesai, tapi Timmy dan Riri mengalami kebuntuan dalam membuat lirik lagu. Sebab, keduanya sama sekali tidak memiliki pengalaman menciptakan lirik, terutama dalam bahasa Inggris.
Di tengah kemandekan itu, Timmy berinisiatif mendengarkan lagu yang sudah dibuatnya kepada salah satu sahabatnya. Namun, alih-alih hanya mendengarkan, karibnya justru memberikan saran dan tanggapan penting, yang kemudian mengubah nyaris seluruh rencana.
“Kenapa nggak bikin all female band aja, Mas? Kasih nama Dedare, tapi cara penulisannya ‘The Dare’. Kayaknya lebih cocok dengan nuansa musiknya,” ujarnya kepada Timmy sekali waktu.
Mendengar itu, Timmy lantas bongkar pasang rencana, lalu bergerak cepat mencari personel lain. Dia lebih dulu berselancar semalam suntuk di Instagram bermodal tagar #DrummerCeweLombok.
Lewat cara tersebut Timmy bertemu dengan akun @desitaqa alias Desita, lalu mengajaknya bergabung dengan proyek The Dare. Sementara pertemuan dengan Yollan diperantarai oleh Decky Jaguar, vokalis Sundancer, yang juga merupakan sahabat Timmy.
Decky memberikan rekomendasi gitaris kepada Timmy yang dapat membantu mengisi posisi gitar, dan sosok yang dimaksud adalah Yollan. Untuk pemetik bas, dia berhasil menemukan Meiga Trisaputri dan mengajaknya bergabung.
Pertemuan Timmy dengan Meiga juga disertai oleh andil dari Riri, sebab Meiga merupakan teman sekolah Riri saat SMA. Di antara lainnya, Meiga adalah personel yang bergabung paling akhir, bahkan setelah Extended Play (EP) Inthrovvvert rilis.
Setelah proses panjang, pada 2018, terbentuklah formasi yang saat ini menjadi format penuh The Dare. Riri mengisi vokal dan gitar, Yollan pada gitar, Meiga memetik bas, dan Desita menabuh drum. Sementara Timmy sebagai manajer.
Nama The Dare dipilih bukan tanpa pertimbangan. Nama tersebut menyimpan makna yang menggambarkan respons atas ide dan kondisi personel yang seluruhnya diisi perempuan.
Dalam bahasa Sasak, kata Dedare artinya perempuan. Selain menunjukkan posisinya sebagai band perempuan, kata tersebut juga mengandung unsur kedaerahan yang menandakan dari mana mereka berasal. Sementara dalam bahasa Inggris, Dare artinya berani.
Lewat pemaknaan tersebut The Dare sadar betul posisinya sebagai perempuan. Mereka juga seolah ingin mengatakan, The Dare adalah sekelompok perempuan yang berani mendobrak segala hal dalam dunia yang didominasi oleh laki-laki.
Dan barangkali, kepekaannya terhadap perempuan itulah yang mendorong grup musik ini, menjadikan isu-isu perempuan sebagai pondasi gagasannya dalam bermusik.
Tentang “Women Who Sailed The World” dan Hal-hal di Dalamnya
Mengupayakan isu-isu perempuan disebarkan kepada banyak orang adalah satu persoalan, tapi membayangkan bagaimana dilakukannya sambil bersenang-senang adalah persoalan lain. Namun, kenyataannya selalu ada cara untuk melakukannya.
Pada 2019, The Dare merilis EP keduanya, Women Who Sailed The World. EP tersebut terdiri dari empat lagu: “Women Who Sailed The World”, “7.0”, “Semeti Medley”, dan “Blushed Star”.
Selain upaya menangkis kabar terkait bubarnya The Dare saat itu, rilisnya EP tersebut juga menandai ada beberapa hal yang menjadi pembeda dengan album sebelumnya. Perbedaan atau peralihan tersebut setidaknya berkaitan dengan bagaimana perkembangan mereka dalam bermusik.
Jika di EP pertama musik yang dimainkan masih terdengar permisif dan malu-malu, maka di EP kedua The Dare terdengar lebih matang dan berani, baik secara gaya, nuansa, sound, maupun tempo yang dimainkan.
Melalui album kedua, The Dare terlihat dan terdengar lebih percaya diri. Hal-hal demikian menandakan ada perubahan yang sifatnya progresif. Bukan hanya menggambarkan adanya kematangan konsep, tapi turut mencerminkan adanya kepercayaan diri yang meningkat.
“Sedikit flashback, kalau diperhatikan EP pertama kita, Inthrovvvert, itu kita ibaratkan sebagai seorang perempuan yang masih malu-malulah, masih mencari jati diri,” ujar Desita pada 23 Agustus 2023.
“Nah, di EP kedua ini, kita ibaratkan kalau sosok perempuan ini, itu udah lebih berani. Entah itu berani bersuara, berani menyuarakan keinginannya, lebih vokal dan siap berlayar,” tambah dia.
Dalam perubahan gaya bermusik, baik penggunaan tempo lebih cepat maupun musik yang lebih matang, Meiga menyadari hal tersebut berdasarkan pengalaman tur yang pernah dilakukan sebelumnya.
Tur tersebut memantik para personel untuk menciptakan karya yang bukan hanya mampu mengajak banyak orang untuk bernyanyi, tetapi juga bikin penonton berjingkrak-jingkrak.
“Kita ngeliat dari tour sebelumnya, kayaknya seru deh buat lagu yang bisa jingkrak-jingkrak. Akhirnya buatlah lagu ‘Woman Who Sailed The World’, yang akhirnya bisa bikin crowd yang jingkrak-jingkrak,” ujar Meiga dalam kesempatan yang sama dan ditutup dengan tawa.
EP Women Who Sailed The World diklaim sebagai album yang membicarakan tentang isu-isu perempuan. Hal tersebut setidaknya dilihat dari bagaimana judul album dipilih. Sebab, dapat diartikan sebagai tanda ada keberanian perempuan dalam mengarungi dunia, juga bagaimana mereka membungkusnya dalam kampanye-kampanye soal posisi perempuan, terutama dalam konser musik.
The Dare melihat ada persoalan serius yang dihadapi banyak perempuan, terutama dalam hal ketidaksetaraan akses yang seringkali membuat posisi para puan menjadi terpinggirkan. Mereka lantas meresponsnya dengan semangat yang diusung dalam EP keduanya.
Namun, di sisi yang lain, sebagian isinya juga dibangun berdasarkan isu yang beragam dan berkaitan dengan banyak hal dalam keseharian mereka, seperti pertemanan, lingkungan tempat tinggal, kondisi geografis, hingga isu-isu lokal yang dianggap relevan dengan kondisi yang ada.
“Rata-rata emang lagu The Dare semua mengacu ke sini (red: lingkungan). Entah itu pertemanan, terus kondisi geografis kayak lagu “7.0” tentang gempa Lombok,” terang Desita ketika menjelaskan situasi di belakang penciptaan EP Women Who Sailed The World.
Dia melanjutkan, “Terus isu lokal sini di “Women Who Sailed The World” itu sebenarnya juga ada mengangkat isu soal tenaga kerja wanita (TKW) perempuan yang banyak dari Lombok.”
Melalui EP kedua, The Dare menyadari, secara tidak langsung, lingkungan ikut memengaruhi proses kreatif dalam menciptakan karya. Irisan-irisan tersebut direpresentasikan dalam wujud lirik lagu, konsep EP, hingga gagasan yang mereka jadikan pondasi dalam bermusik.
Saya tidak mengada-ada soal ini. Misal, lagu “7.0” yang bercerita tentang gempa 7.0 skala richter (SR) nan memporak-porandakan Lombok beberapa tahun lalu. Melalui liriknya, saya merasakan ada semacam kegetiran, trauma, dan rasa takut yang membuat orang-orang hidup dalam kecemasan.
Akan tetapi, bermodal semangat yang dibawa, The Dare mencoba menyusun ulang kehidupan secara perlahan-lahan, berusaha tidak terjebak dalam bayang-bayang kehidupan yang menyedihkan, dan berharap selalu ada kemungkinan-kemungkinan baik akan datang.
Sementara lagu “Semeti Medley” diciptakan untuk menceritakan Pantai Semeti, salah satu pantai di Lombok dengan keindahan alamnya. Melalui lagu itu, The Dare seakan-akan ingin menunjukan mereka memiliki ikatan emosional dengan pantai, tempat mereka banyak menghabiskan waktu.
Namun, terlepas dari beragamnya isu dalam EP kedua, satu hal yang mereka pastikan adalah tentang bagaimana perempuan menjadi sosok yang lebih berani dalam mengarungi dunia.
Mengarungi dunia, dalam hal ini, barangkali dapat diartikan sebagai keberanian mendobrak apa-apa saja, termasuk konstruksi sosial yang kerap memandang remeh posisi perempuan dan iklim maskulinitas yang acap membuat perempuan menjadi terpinggirkan. Dengan demikian, The Dare jelas menyebarkan gagasan tersebut dengan cara yang menyenangkan!
Pertemuan antara band dengan para pendengarnya dalam tur, terutama Javakensi Tour, turut dijadikan The Dare sebagai media menyebarkan gagasan-gagasannya tentang isu-isu perempuan. Khususnya yang berkaitan dengan keberadaan perempuan dalam konser musik.
Mereka, lewat pelbagai upaya, berusaha menghidupkan lagi kesadaran tentang bagaimana seharusnya konser musik menjadi tempat yang aman dan nyaman. Cara-cara yang dilakukan mulai dari membicarakan itu dari panggung ke panggung hingga terus berkampanye di media sosial.
Lainnya, mencetak banner dengan slogan menolak segala bentuk pelecehan seksual dalam konser musik, sampai memberi kesempatan kepada penonton perempuan untuk berada di barisan paling depan.
“Perempuan dan laki-laki bebas bersenang-senang tanpa harus saling menyakiti. Konser atau gigs harus menjadi ruang yang aman dan nyaman bagi siapa pun,” ujar Meiga ketika menjelaskan maksud dari kampanye yang sering mereka lakukan dalam konser-konsernya.
Apa yang dilakukan oleh The Dare dalam setiap konser-konsernya mengingatkan saya kepada Riot Grrrl, sebuah kolektif musik di Amerika Serikat yang diisi oleh perempuan dari beberapa grup musik. Kolektif tersebut dimulai pada 1991 dan dipelopori oleh Kathleen Hanna yang merupakan vokalis dari Bikini Kill.
Gerakan tersebut muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap masyarakat patriarkis yang tidak memberikan cukup ruang terhadap perempuan, termasuk dalam ranah musik. Hal itu juga merupakan respons atas berbagai masalah yang muncul dalam konser musik: seksisme dan kekerasan seksual yang membuat posisi perempuan semakin rentan.
Pergerakan untuk menyebarkan gagasannya dilakukan dengan banyak cara: membuat manifesto yang dipublikasikan dalam zine, grup musik yang tergabung di dalamnya menciptakan lagu dengan lirik yang bersifat sangat pribadi dan membahas topik-topik nan kerap dianggap tabu masyarakat, dan mengajak para perempuan berada di barisan paling depan dalam konser-konsernya.
Melalui hal-hal demikian, setidaknya dapat dilihat keduanya memiliki kesamaan dalam menyebarkan buah pikiran: dilakukan oleh para perempuan dalam sebuah band, dimulai atas dasar keresahan terhadap masalah-masalah yang dialami perempuan dalam konser musik, dan menyebarkan gagasannya sambil bersenang-senang.
Namun, The Dare justru baru mengetahui kesamaan-kesamaan tersebut ketika menjalani tur. Mereka baru menyadari ada banyak kemiripan ketika seorang teman memberikan informasi tentang apa-apa saja yang pernah dilakukan Bikini Kill, salah satu band yang tergabung dalam kolektif Riot Grrrl.
“Kita tuh justru kaget ternyata campaign-nya itu mirip-mirip sama Bikini kill. Yang soal make a safety space for women along the concert yah. Kita baru tau karena ada teman kita yang bilang waktu itu. Terus kita kaget, eh iya kok menyerupai, ya,” ujar Desita.
Hal tersebut sebenarnya tak lepas dari apa dan siapa yang menjadi rujukan dalam bermusik. Secara gagasan dan ide, mereka mengaku banyak terinspirasi oleh tokoh-tokoh perempuan dalam skena musik, misalnya, Amelia Fletcher dari Heavenly dan Kathleen Hanna dari Bikini Kill.
Semangat dan ide-ide yang pernah dilakukan oleh berbagai tokoh yang dijadikan inspirasi tersebut secara tidak langsung menegaskan posisi The Dare sebagai perempuan. Sekaligus, melandasi gagasan dan aksi-aksi yang dilakukannya dalam membawa isu-isu perempuan dalam bermusik.
Meski apa yang mereka lakukan belum begitu maksimal, tetapi cara-cara tersebut mendapat tanggapan positif dari banyak penonton dan teman-teman di berbagai daerah. Memang tidak mudah untuk membangun kesadaran kolektif, dan kerja-kerja semacam itu membutuhkan waktu yang panjang.
Tetapi, apa yang The Dare lakukan, mulai dari merilis album terkait isu perempuan hingga kampanye-kampanye yang terus dilakukan, setidaknya menjadi bukti selalu ada jalan untuk menyebarkan gagasan-gagasan tersebut dengan cara-cara yang mengasyikkan.
Javakensi Tour dan Mengapa itu Penting
Lantunan musik terdengar begitu nyaring ketika Riri, Yollan, Meiga, dan Desita membawakan lagu-lagu mereka. Malam itu, The Dare tampil percaya diri.
Di antara kerumunan orang-orang, suara yang memantul di dinding, dan venue yang tak mampu membendung manusia, The Dare berhasil mengajak siapa saja yang datang malam itu untuk ikut bernyanyi dan terbawa dalam suasana gegap gempita.
Mereka juga mengajak para perempuan yang hadir untuk berada di barisan paling depan. Selain itu, mereka membagikan banner yang bertuliskan slogan untuk berani melawan segala bentuk pelecehan seksual di konser musik. Dengan kata lain, The Dare membuat venue menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk bersenang-senang, termasuk bagi perempuan.
Sebelas Juni 2022. Itulah pengalaman pertama saya menyaksikan The Dare dan ikut kagum dengan aksinya. Mereka tampil dalam acara Rookie Roster yang diselenggarakan Freak Gig di Bloc Bar, Jakarta.
Acara tersebut merupakan salah satu dari rangkaian tur The Dare: Javakensi Tour 2022. Tujuannya termasuk mempromosikan EP Women Who Sailed The World.
Rangkaian tur tersebut memang sudah menjadi rencana sejak awal, tapi sempat terhalang karena pandemi Covid-19. Timmy menceritakan, mulanya tur itu untuk merilis album penuh yang telah mereka buat.
Akan tetapi, pagebluk membuat agenda tur tidak mungkin dilakukan. Hingga kemudian rencana tersebut disiasati dengan cara lain, dan keinginan itu terpaksa menjadi angan-angan.
“Jadi setelah break panjang karena Yollan sedang mengandung dan harus berumah tangga, ditambah lagi dengan covid, aktivitas kami berhenti. Tapi materi untuk full album sudah rampung dan siap untuk dirilis,” katanya.
Dia menambahkan, “Hanya saja karena adanya covid, waktu untuk merilisnya tidak memungkinkan karena kami tidak mau ketika kami rilis, kami tidak bisa tur dan spark-nya tertimpa oleh isu-isu covid. Akhirnya, kami memutuskan untuk break aja dan album tersebut diganti ke format EP lagi.”
Namun, seperti kata pepatah, selalu ada jalan menuju Roma. Pada gilirannya semua bisa terjadi karena ada peluang. Ketika kondisi perlahan membaik, mereka mendapat tawaran bermain dalam acara yang akan diselenggarakan di Yogyakarta dan Bogor.
Melihat peluang itu, akhirnya The Dare memanfaatkan kesempatan dan menyusun rencana untuk merealisasikan keinginan melakukan tur. Hingga kemudian tersusunlah agenda tur 11 kota: Tangerang, Bekasi, Bogor, Jakarta (M Bloc dan Yesterday Backyard), Bandung, Magelang, Semarang, Yogyakarta, Sukoharjo, Surabaya, dan Salatiga.
“Awalnya, sebenarnya kita belum kepikiran buat ngadain tur Javakensi kemarin. Terlebih 11 kota, ya, dalam waktu dekat. Karena memang yang dikasih tau manager kita itu ada ditawari manggung di Yogyakarta sama di Bogor di bulan Juni. Nah cuma ternyata melihat peluang bisa ke tanah Jawa, ya, kenapa gak sekalian buat tur gitu. Barulah kita coba obrolin,” ujar Desita.
Ajakan manggung tersebut juga dilihat sebagai peluang untuk merealisasikan keinginan yang sempat tertunda, yaitu mempromosikan EP kedua mereka yang belum lama dirilis. “Ya, sekalian memperkenalkan EP ke-2, Women Who Sailed The World,” kata Meiga menambahkan.
Tur tersebut dilakukan secara independen. Persiapannya dilakukan dengan usaha yang panjang, mulai dari mencari modal dengan berjualan merchandise, membangun jaringan dengan banyak teman, hingga mengelola konflik dengan baik ketika terjadi masalah di tengah jalan.
Berbagai upaya yang dilakukan bukan hanya menggambarkan betapa seriusnya rencana tersebut diupayakan. Namun, turut menunjukan ke banyak orang, selalu ada cara untuk mewujudkan mimpi-mimpi besar, tur secara independen misalnya.
Dengan lain perkataan, selain membutuhkan modal yang cukup, mengupayakan tur independen juga membutuhkan tekad dan keberanian!
Javakensi Tour bukanlah tur pertama The Dare. Beberapa tahun sebelumnya, mereka pernah melakukan tur ke beberapa titik di Pulau Jawa dalam rangkaian perilisan mini album pertama: Inthrovvvert.
Tur tersebut diberi nama “Gelombang Mini Cinta Tour” dan dilakukan dalam tiga bagian. Pertama pada November 2018 di Jakarta, Bandung, dan Bogor. Kedua, Maret 2019, berlangsung di Yogyakarta, Magelang, Solo, dan Semarang. Sementara bagian ketiga pada Juli 2019 di Surabaya, Malang, dan Denpasar.
Sebagai band yang bukan berasal dari wilayah arus utama industri musik Indonesia, mereka sadar betul bagaimana memperkenalkan musiknya dan menjangkau pendengar-pendengar baru dengan cara yang dianggapnya efektif.
Di antara banyaknya tawaran yang diberikan oleh teknologi dan internet, The Dare memilih melakukan tur sebagai cara dalam mempromosikan karyanya. Keputusan tersebut terbilang berani dan krusial, sebab dapat melampaui apa-apa saja yang tidak dapat dilakukan teknologi serta internet.
Misalnya, bertemu para pendengar, mengenal orang-orang baru, dan merasakan bagaimana lagu-lagu tersebut dinyanyikan secara bersamaan dengan para penonton. Hal-hal itu nyaris mustahil terjadi, apabila mini album dirilis hanya melalui platform musik.
“Nah, ini sekalian kita bisa kenalan dengan pendengar-pendengar kita. Jadi merasa lebih intimate. Karena kita bisa ngobrol-ngobrol bareng mereka. Itu kenapa juga kita masih produksi rilisan dalam bentuk fisik,” ujar Meiga.
Begitupun Yollan, ia merasa pertemuan langsung antara musisi dengan pendengar ketika tur adalah perjumpaan yang bukan hanya menciptakan kebahagiaan bagi keduanya, melainkan menyimpan banyak kejutan.
“Aku pribadi emang lebih seneng ketemu secara langsung, mempromosikannya lebih luwes dan bisa ketemu langsung itu rasanya surprise, tiba-tiba mereka udah ada yang tau lagu, tiba-tiba pada sing a long, ya gitu lah,” katanya.
Timmy pun memiliki tanggapan serupa. Kemudahan internet, menurutnya, justru seringkali membuat band dituntut bergerak lebih cepat serta berpacu dengan algoritma dan cara kerja internet supaya musik-musiknya didengar oleh banyak orang.
Selain berpotensi kurang maksimal karena terburu-buru, cara kerja seperti itu membuat siapa saja tersisih jika tidak bekerja secara cepat. Karena alasan itulah, ia masih menjadikan tur sebagai cara yang efektif dalam mempromosikan album.
Sekaligus, menjadikan momen tersebut sebagai waktu terbaik untuk mempertemukan band dengan pendengar, juga mengupayakan seseorang untuk mengetahui lebih jauh tentang keberadaan band–band baru.
“Menurut saya, cara yang paling tepat dan ampuh dalam mempromosikan album itu adalah dengan cara tour, karena pertemuan band dengan pendengarnya lebih asik jika bertemu tatap muka secara langsung. Karena itu tour adalah cara terbaik sampai detik ini,” kata Timmy.
Keputusan menjadikan tur sebagai cara mempromosikan album itulah, yang kemudian mempertemukan saya dengan The Dare dalam rangkaian Javakensi Tour 2022.
Cara tersebut semakin menegaskan begitulah cara kerja tur yang mampu menjangkau pendengar-pendengar baru, mengupayakan mereka datang ke gigs, dan berusaha mengajak mereka berkenalan lebih jauh. Selebihnya? Silakan bersenang-senang.
Penutup
Apa yang membuat The Dare menjadi menarik (& penting) tentu bukan hanya karena musiknya, melainkan juga lantaran bagaimana mereka membungkusnya dengan konsep, ide, dan gagasan yang kuat.
Saya kagum dengan bagaimana mereka menyebarkan ide dan gagasannya: tentang semangatnya membawa isu perempuan, bagaimana mereka memantik kembali kesadaran konser musik harus menjadi tempat yang aman bagi siapa pun, bagaimana mereka menginisiasi tur secara mandiri, menyapa orang-orang baru yang mereka temui, dan mengapresiasi segala hal yang hadir di sekitarnya.
Konsistensi semacam itu membutuhkan usaha panjang, dan kita tahu hal-hal demikian tidak cukup dengan hanya niat, tetapi juga perlu diiringi oleh tindakan. Namun, satu yang pasti: mereka melakukannya sambil bersenang-senang.