SUDAH 60 TAHUN sejak peristiwa itu terjadi. Namun, awal malapetaka yang berlangsung pada akhir September dan awal Oktober ini selalu diingat dan dibicarakan banyak orang, termasuk pembunuhan massal yang menyertainya.
Peristiwa tersebut lantas dikenal dengan beragam nama, mulai dari Gerakan 30 September (G30S), Gerakan 1 Oktober (Gestok), Gerakan 30 September (Gestapu), hingga G30S/PKI sebagaimana versi Orde Baru.
Sebagai bagian dari sejarah Indonesia, peristiwa itu menjadi materi pembelajaran di sekolah, tentu dengan narasi tunggal yang diracik Orde Baru, dan sialnya, masih bertahan hingga era reformasi.
Pembelajaran yang lebih demokratis justru terjadi di luar kelas, tatkala setiap orang dari kalangan mana pun berhak menyelisik G30S.
Berkelindan dengan itu, tragedi G30S merupakan peristiwa politik nasional yang kemudian berdampak langsung pada lengsernya Presiden Sukarno, yang dikudeta secara “merangkak” oleh Soeharto dari kalangan militer.
Dalam peristiwa tersebut, militer menuding PKI menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas terbunuhnya para jenderal dan berupaya mengkudeta Presiden Sukarno, yang saat itu hubungan keduanya sangat mesra.
Akan tetapi, meletusnya G30S juga tidak dapat dilepaskan dari konteks politik global, yakni perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Kedua negara tersebut berlomba-lomba menyebarluaskan pengaruh dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, hingga militer ke negara-negara yang dicap sebagai Dunia Ketiga.
Pada saat itu, Bung Karno memiliki kedekatan dengan Moskow atau Blok Timur, yang lantas membuat AS dan Blok Barat meradang.
Mereka lantas menjalankan taktiknya untuk melengserkan Bung Karno yang memuncak pada G30S dan peristiwa setelahnya—pembunuhan, pembuangan, dan pembuian terhadap jutaan orang tanpa proses hukum.
Keterlibatan AS dan para sekutunya pun belakangan terbukti dalam putusan International People’s Tribunal (IPT) 1965 yang berlangsung di Belanda pada 2015.
Dalam melancarkan skenario anti-komunisme, juga anti-Sukarno, AS membangun kontak atau jaringan dengan militer di Indonesia.
Kelompok militer kemudian menjadikan G30S sebagai dalih melakukan kudeta “merangkak” terhadap Sukarno.
Pangkalnya, setelah peristiwa pembunuhan para jenderal, angin berembus kencang ke kelompok militer, sehingga menjadikannya sebagai pemain tunggal dalam perpolitikan nasional.
Naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan membuatnya melakukan tindakan-tindakan luar biasa, seperti merekayasa cerita terkait peristiwa G30S melalui film atau narasi di pendidikan.
Selain itu, demi melancarkan niatnya, ia pun melakukan penyesatan atau pemalsuan sejarah, yang kemudian wajib dipercaya banyak orang.
Contoh pemalsuan sejarah yang dimaksud adalah pesta seks Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), penyiksaan terhadap para jenderal sebelum dibunuh, hingga keterlibatan Sukarno dalam G30S, yang mana semua itu tidak pernah terbukti hingga hari ini.
Namun, terlepas dari tidak terbuktinya propaganda tersebut, praktis selama 32 tahun menjadi presiden, Soeharto sukses membangun fondasi yang membentuk perspektif generasi sesuai kehendaknya, bahwa PKI adalah dalang G30S.
Tak hanya itu, PKI dan komunisme pun sukses ia jadikan dalih untuk dimanfaatkan menjadi alat gebuk yang ampuh dalam meredam, memberangus, dan memenjarakan suara-suara kritis.
Akan tetapi, setelah lengsernya Orde Baru, lahirlah narasi-narasi alternatif yang ditulis sejumlah sejarawan, baik nasional maupun internasional, tentang sejarah yang dibengkokkan selama Orde Baru berkuasa.
Beragamnya perspektif sejarah membuat generasi setelahnya berpikir kritis, analitis, dan tidak menjadikan teks sejarah sebagai teks yang tabu untuk dibicarakan setiap saat.
Tentara dan Pembunuhan Massal
Selama di bangku sekolah, G30S hanya membahas penculikan atau pembunuhan tujuh jenderal, yang diikuti pelarangan Marxisme-Leninisme, pembubaran PKI, dan peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto.
Hal itu tentu saja mencerminkan bagaimana suatu peristiwa hanya dilihat dalam bingkai kekuasaan dan pergulatan elite semata.
Nyatanya, dampak malapetaka G30S melampaui itu. Narasi sejarah versi negara yang dijadikan rujukan kurikulum sekolah tidak membahas apa yang benar-benar terjadi: pembunuhan massal di sejumlah daerah, seperti di Jawa dan Bali.
Dalam melakukan pembasmian dan pembunuhan massal terhadap orang-orang kiri, peran militer sangat jelas terlihat dan sistematis. Salah satu tokoh yang berperan penting ialah Sarwo Edhie yang saat itu mengepalai Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD).
Ia melakukan pelatihan paramiliter atau warga sipil yang dipersenjatai untuk melakukan penangkapan dan pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dicurigai atau diduga sebagai komunis atau orang kiri, termasuk Sukarnois.
Sebagian besar yang dilatih berasal dari kalangan nasionalis sempit dan kelompok agama fanatik. Adapun strategi tersebut dilakukan karena wilayah Jawa Tengah yang luas, tetapi di saat yang bersamaan pasukannya sangat terbatas.
Dengan cara itu, penumpasan pun sukses dilakukan sampai ke desa-desa demi membersihkan pengaruh orang-orang kiri.
Setiap malam, tentara melakukan penggerebekan rumah-rumah dan meminta mereka naik ke atas truk tentara, membawanya pergi ke luar kota sebelum fajar.
Para korban kemudian banyak dibawa dan ditahan di penjara yang terletak di pinggir kota. Sebagian besar mati perlahan karena kelaparan, lainnya ada pula yang langsung dieksekusi mati tanpa tahu apa kesalahannya.
Bahkan, di suatu kawasan di Desa Djelok, Jawa Tengah, para petani diminta oleh lurah untuk menggali sebuah lubang besar satu hari sebelumnya operasi penghilangan paksa.
Lalu, para korban dibariskan di bibir lubang dan ditembaki dalam hitungan menit. Beberapa dari mereka kemungkinan dikubur dalam kondisi masih hidup!
Sementara itu, di Jawa Timur dan Bali, kelompok tentara melakukan strategi penghasutan kepada warga sipil untuk melakukan penangkapan dan pembunuhan massal, ketimbang mengotori tangan mereka sendiri.
Mereka membangun narasi ketakutan: bahwa PKI akan melakukan pembunuhan besar-besaran, suatu propaganda yang di kemudian hari tidak pernah terbukti.
Dalam periode pembantaian, agensi intelijen AS, Central Intelligence Agency (CIA), mengirimkan bantuan militer, seperti jip, senjata api ringan, dan radar komunikasi kepada Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Soeharto.
Bantuan yang paling efektif ialah radio radar yang digunakan Soeharto untuk mengatasi kesulitan hubungan dengan satuan-satuan Angkatan Darat di berbagai daerah.
Surat kabar atau media massa di Indonesia saat itu nyaris tidak ada yang memberitakan pembantaian massal tersebut. Angkatan Darat telah memberangus semua pers, kecuali surat kabar milik institusinya sendiri dan yang terafiliasi dengan mereka.
Para pers militer ini, hampir 100% hanya memberitakan penumpasan PKI yang tanpa kekerasan, pemecatan orang-orang yang dituduh PKI, dan demonstrasi mahasiswa yang mendorong pembubaran PKI.
Di samping mengontrol pers nasional, tentara atau Angkatan Darat juga membatasi ruang gerak jurnalis atau media luar negeri.
Para juru bicara militer selalu menyangkal akan kebenaran pembunuhan massal yang mereka komandoi. Mereka mengelak dan menyebut itu hanya kasus kekerasan biasa yang merupakan bentuk reaksi masyarakat yang spontan.
Nyawa Manusia Bukan Sekadar Statistik
Yang terburuk dari tragedi kemanusiaan ialah selalu melihat korban sebagai kumpulan angka statistik belaka, alih-alih memberikan perlindungan dan keadilan bagi mereka beserta keluarganya.
Dibunuhnya satu orang manusia yang tak bersalah sudah terlalu besar, apalagi jika ratusan ribu atau bahkan satu juta lebih nyawa manusia yang terenggut untuk tumbal kekuasaan.
Sementara itu, yang tangannya kotor dan penuh darah naik ke singgasana tertinggi kekuasaan di republik ini. Kepemimpinannya diawali dan diakhiri dengan pertumpahan darah, serta hilangnya nyawa manusia yang tak terhitung jumlahnya.
Kini, dosa-dosanya ingin diputihkan, juga namanya dibersihkan dengan memberikan gelar pahlawan.
Nyatanya, Soeharto adalah momok impunitas di negeri ini. Ia tak pernah diadili atas kejahatannya saat menjadi penguasa.
Sementara itu, para korban dan keluarganya menghabiskan sisa hidup dengan diskriminasi dan stigma negatif sebagai “anak PKI” atau orang yang telah melakukan pengkhianatan terhadap negara.
Sampai hari ini, para korban atau keluarganya pun belum mendapatkan pemenuhan dan pemulihan hak-haknya sebagai warga negara.
Inilah letak persoalan yang sesungguhnya, bahwa rakyat dipaksa menelan propaganda: negara ini adalah bangsa yang besar.
Namun, dalam nalar yang paling sederhana, rakyat juga tahu, bangsa yang merasa besar ini masih juga belum bernyali untuk bertanggung jawab atas kesalahannya kepada seluruh korban, baik yang dibunuh, dibui, disiksa, dihilangkan, diperkosa, maupun direbut paksa status kewarganegaraannya.