Maraknya dukungan internasional terhadap masyarakat Palestina atas serangan militer Zionis jadi bukti nyata kecaman warga dunia atas kolonialisme yang dilakukan Israel. Dukungan itu dapat menjadi pengingat bahwa dalam teritori nasional, rakyat Papua juga mengalami kolonialisme yang serupa dengan Palestina.
Sejak 1940-an, terhitung sudah 75 tahun Palestina dijajah oleh tentara Zionis Israel. Begitu pun operasi militer Indonesia di Papua yang terjadi sejak 1960-an hingga kini.
Mengutip TribunNews, pada 2021, anggota Komisi I DPR RI, Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin membeberkan sebanyak 13 operasi militer di Papua telah terjadi sejak tahun 1966 sampai 2000.
Afifah dari Perempuan Mahardhika menekankan pentingnya melihat fenomena kolonialisme di berbagai wilayah lewat kerangka kapitalisme global, khususnya penjajahan yang dialami masyarakat Palestina dan Papua.
“Kita tidak bisa mewujudkan kemerdekaan Papua Barat tanpa kemerdekaan Palestina. Begitu pula sebaliknya. Solidaritas kita harus lintas batas,” ujar Afifah saat menjadi pemantik diskusi bertajuk Dunia Tanpa Penjajahan dan Perang: Solidaritas Tanpa Batas dari Papua hingga Palestina! di Gedung LBH Jakarta, Jakarta Pusat, Minggu (17/8/2025).
Selain Afifah, Yokbeth Felle, perwakilan dari media alternatif Aneta-Papua juga hadir sebagai pemantik dalam diskusi ini. Ia mengajak peserta diskusi untuk melakukan solidaritas yang sama kepada rakyat Papua, seperti apa yang rakyat Indonesia lakukan terhadap Palestina.
“(Memberi dukungan) bukan dengan senjata, tetapi dengan apapun yang bisa dilakukan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Yokbeth mengatakan kemerdekaan di Papua tidak akan pernah dapat terwujud tanpa kemerdekaan bagi perempuannya. Sebab, perempuan Papua mengalami masalah kekerasan yang berlapis akibat dari operasi militer yang dilakukan Indonesia.
“Bagaimana kondisi perempuan harus mengungsi ke hutan dalam kondisi hamil atau menstruasi. Bagaimana mereka sangat ketakutan dan tertekan dan mereka harus membawa anak-anak mereka ke hutan. Kami juga dituduh sebagai teroris,” ujar Yokbeth sambil menangis tersedu.
“Apakah berita-berita ini sampai kepada telinga orang-orang Indonesia?” tanya Yokbeth lebih lanjut.
Bukan hanya masalah berlapis para perempuan di Papua saja. Kolonialisasi yang dilakukan Indonesia telah menyentuh akar kebudayaan rasisme yang mendalam. Bukan hanya soal fisik, tapi juga soal mental atas kebudayaan asli mereka sendiri.
“Rasisme yang diciptakan negara terhadap orang Papua itu sangat terstruktur, bukan hanya soal dianggap monyet dan sebagainya. Hingga akhirnya orang Papua merasa kebudayaannya jauh lebih tertinggal daripada kebudayaan yang lain,” ujarnya.
Senada, Nadine Sherani dari Komite untuk Orang Hilang dan Anti Kekerasan (KontraS) mengingatkan peserta diskusi untuk menolak segala bentuk kolonialisme yang terjadi di seluruh belahan dunia, dari Palestina, Sudan, Myanmar, hingga Papua.
“Free free Palestine! From the river to the sea, Palestine will be free! Papua bukan tanah kosong! Papua, merdeka!” ujar Nadine, meneriakkan jargon.
Sembari mengutuk keras segala macam bentuk penjajahan, Nadine menyampaikan tentang mimpi serta harapan untuk seluruh wilayah yang mengalami penindasan karena dijajah.
“Menjadi manusia seutuhnya. Manusia (yang) memiliki akses sumber daya, menjadi manusia yang berproses dalam nasib mereka sendiri. Tidak ada lagi kependudukan di atas tanah Palestina, seperti halnya di Papua,” ujarnya.
Adapun acara diskusi bertajuk Dunia Tanpa Penjajahan dan Perang: Solidaritas Tanpa Batas dari Papua hingga Palestina! ini merupakan bagian dari rangkaian acara Panggung Merdeka 100% yang digelar oleh Perempuan Mahardhika bertepatan dengan momentum HUT ke-80 RI pada Minggu (17/8/2025). PM mengusung Panggung Merdeka 100% ini dengan tema Delapan Dekade Kemerdekaan: Merebut Kembali Arah Politik Indonesia untuk Bebas dari Eksploitasi, Kekerasan, dan Kemiskinan.
Acara Panggung Merdeka 100% ini dihadiri oleh berbagai elemen aktivis serta masyarakat yang bergerak di berbagai isu, mulai dari isu lingkungan, ketenagakerjaan, hingga perempuan. Acara ini dimulai pada pukul 11.00 WIB yang terdiri dari empat sesi diskusi, pameran arsip gerakan perempuan, panggung musik, dan ekspresi seni.