YLBHI Nilai Tragedi Kanjuruhan Bisa Disebut Pelanggaran HAM Berat

YLBHI Nilai Tragedi Kanjuruhan Bisa Disebut Pelanggaran HAM Berat

Pelanggaran HAM Berat
Wakil Ketua YLBHI Arif Maulana saat mengisi diskusi bertajuk ‘1.000 Hari Tragedi Kanjuruhan’ di Pamitnya Meeting, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Minggu (29/6/2025).

Wakil Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana menilai Tragedi Kanjuruhan berpotensi kuat untuk dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Menurutnya, peristiwa ini memenuhi unsur kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 juncto Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa pelanggaran HAM berat mencakup kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Merujuk pada peraturan itu, Arif menjelaskan kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi ketika ada tindakan atau perbuatan yang bentuknya adalah serangan terhadap warga negara secara sistematis dan meluas, yang dilakukan oleh negara maupun aparaturnya.

“Di antaranya mungkin relevan dengan kasus Kanjuruhan, yaitu pembunuhan, penyiksaan, dan lain-lain, yang itu mengakibatkan warga negara menjadi korban,” kata Arif saat ditemui usai mengisi diskusi bertajuk ‘1.000 Hari Tragedi Kanjuruhan’ di Pamitnya Meeting, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Minggu (29/6/2025).

Mantan Direktur LBH Jakarta itu menilai, berdasarkan unsur-unsur yang ada dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, maka sangat dimungkinkan untuk menyebut Tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM berat.

“Jadi merujuk pada ketentuan tersebut, sebetulnya sangat dimungkinkan untuk melihat kasus, atau menangani kasus Kanjuruhan itu dari kejahatan HAM berat,” ujarnya. 

Lebih lanjut, Arif mengatakan penetapan Tragedi Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM berat juga harus dilihat dari berbagai kasus kekerasan negara melalui aparaturnya yang pernah terjadi.

Kekerasan itu, lanjut Arif, kerap menggunakan senjata api, seperti halnya gas air mata, dan ditujukan kepada masyarakat yang sedang berkumpul, baik itu suporter atau mereka yang menyampaikan pendapat di muka umum.

“Itu sering terjadi. Sehingga kalau kemudian dilihat secara sistematis, dan ditarik bukan hanya satu peristiwa Kanjuruhan, itu sangat memungkinkan (disebut sebagai pelanggaran HAM berat),” ungkapnya.

Merespons kemungkinan penetapan kasus Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM berat, Arif menjelaskan bahwa itu menjadi wewenang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Menurutnya, Komnas HAM harus melakukan penyelidikan pro justicia secara mendalam terhadap kasus Kanjuruhan. 

Hasil penyelidikan itu, lanjut Arif, kemudian diserahkan kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk dilakukan penyidikan lebih lanjut. Jika hasil penyidikan menunjukkan adanya unsur pelanggaran HAM berat, maka Kejagung akan melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan HAM.

“Tapi, sepanjang proses itu belum dilakukan, ya, tidak bisa,” ujar Arif. 

Namun, ia menilai tidak ada keseriusan dari Komnas HAM dan Kejagung untuk menetapkan kasus Kanjuruhan sebagai pelanggaran HAM berat.

“Saya tidak melihat ada upaya serius dari lembaga-lembaga tersebut untuk melihat kasus Kanjuruhan dari kacamata kejahatan HAM,” tuturnya.

Dengan begitu, kata Arif, kasus Kanjuruhan hanya berhenti sebagai tindak pidana umum di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dengan putusan yang tidak adil. Ia juga menyayangkan proses hukum itu yang belum mampu menyentuh aktor-aktor di level pengambil kebijakan.

“Karena yang kemudian dituntut pertanggung jawaban hanya pelaku lapangan, yaitu aparat, ketua panitia pelaksana, dan security officer,” jelas Arif.

“Tapi rantai komando tidak dituntut pertanggung jawaban,” imbuhnya.


Unsur Pelanggaran HAM dalam Tragedi Kanjuruhan

Dilansir dari Hukumonline, Tim Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM pernah menyimpulkan bahwa sedikitnya ada 7 bentuk pelanggaran HAM dalam kasus Kanjuruhan. Pertama, penggunaan gas air mata dalam proses pengamanan pertandingan di dalam stadion merupakan bentuk penggunaan kekuatan berlebih.

Kedua, absennya hak memperoleh keadilan sebab proses penegakan hukum yang dilakukan belum mencakup semua pihak yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pertandingan dan kompetisi.

Ketiga, lebih dari 135 korban yang meninggal dunia di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, merupakan pelanggaran hak untuk hidup. Keempat, banyaknya korban yang mengalami luka ringan maupun berat merupakan pelanggaran terhadap hak atas kesehatan.

Kelima, adanya pelanggaran hak atas rasa aman, di mana tidak adanya penanganan maksimal terhadap pertandingan yang berisiko tinggi. Keenam, banyaknya anak yang menjadi korban merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak atas anak.

Ketujuh, pengabaian terhadap panduan PBB tentang Bisnis dan HAM merupakan bentuk pelanggaran prinsip HAM.

Kawan Redaksi

Editor: Hastomo Dwi Putra
Reporter: Aditya Wahyu

ARTIKEL LAINNYA

Share

Temukan Artikel Anda!