Jaringan Solidaritas Keluarga Korban Kanjuruhan (JSKK) bersama komunitas Justice for Tragedy 135 (JFT135) menggelar doa bersama dalam rangka memperingati 1.000 hari Tragedi Kanjuruhan di Pamitnya Meeting, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Jumat (27/6/2025).
Acara ini merupakan rangkaian kegiatan dari pameran bertajuk “1.000 Hari Kanjuruhan: Seharusnya Tak Lega Setiap Laga” yang berlangsung sejak Kamis (26/6/2025) sampai Minggu (29/6/2025).
Rizal, salah satu perwakilan JSKK menyebut acara doa bersama ini adalah upaya untuk mengingat para korban dan mendorong keadilan bagi keluarga korban Tragedi Kanjuruhan. Sebab, menurutnya, hingga kini mereka belum kunjung mendapatkan keadilan.
“Mungkin kalau dibilang, hari demi hari sudah dilewati. Hingga menginjak 1000 hari ini, tapi keadilan belum didapatkan oleh keluarga korban di Malang,” kata Rizal.
Ia mengungkapkan, peringatan 1.000 hari Tragedi Kanjuruhan ini menjadi momentum yang sangat sakral bagi keluarga korban. Namun, ia menyayangkan hal itu tidak diikuti dengan keseriusan pemerintah dalam menuntaskan kasus.

“Dalam arti pemerintah, dan bahkan sekelas Presiden pun, tidak pernah mendengar suara kita,” ucap Rizal yang juga salah satu korban selamat dalam Tragedi Kanjuruhan.
“Padahal tragedi Kanjuruhan ini adalah tragedi kemanusiaan yang sangat besar,” imbuhnya.
Dalam peristiwa yang menewaskan lebih dari 135 korban jiwa itu, Rizal merupakan salah satu korban yang berhasil selamat. Rizal bercerita, saat peristiwa berdarah itu terjadi pada malam 1 Oktober 2022, Rizal berhasil lolos dari maut usai berdesak-desakan dengan ratusan orang lainnya.
Namun, lanjut Rizal, ayah dan kedua adiknya yang malam itu juga datang ke Stadion Kanjuruhan, Malang, tak berhasil selamat dari peristiwa itu.
Ia juga mengungkapkan kekecewaannya kepada pemerintah lantaran tak serius dalam menyelesaikan kasus yang telah berjalan hampir 3 tahun ini. Menurutnya, selama ini pemerintah juga tak pernah mendengar suara korban.
“Saya juga merasa kecewa, karena saya sendiri telah kehilangan Ayah dan kedua adik saya. Seolah-olah nyawa itu dianggap seperti biasa, keadilan kayak gak ada,” tegasnya.
Perwakilan JSKK itu berharap pemerintah mau bertanggung jawab dan mengusut tuntas kasus tersebut. Tanggung jawab itu, kata Rizal, juga harus diikuti dengan permintaan maaf kepada korban dan keluarga korban.
“Untuk negara, bisa meminta maaf ke keluarga korban. Soalnya sampai saat ini belum pernah ada permintaan maaf,” ujar Rizal.
Rizal juga menuntut pihak yang terlibat sebagai eksekutor, termasuk aparat kepolisian yang menembakkan gas air mata dalam peristiwa itu, untuk dihukum seberat-beratnya.
Sedangkan untuk pihak penyelenggara seperti PT Liga Indonesia Baru (LIB) dan PSSI, kata Rizal, juga harus melakukan pembenahan dalam mengelola sepak bola di Indonesia. “Mereka (PT LIB dan PSSI) harus berbenah agar jangan sampai Tragedi Kanjuruhan ini terjadi lagi, terulang lagi di kemudian hari,” tuturnya.

1.000 Hari Tragedi Kanjuruhan, Keadilan Buntu
Tragedi Kanjuruhan terjadi usai pertandingan sepak bola antara Arema FC melawan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, 1 Oktober 2022. Dalam tragedi ini, lebih dari 135 orang meninggal dunia, 96 orang luka berat, dan 484 orang luka ringan akibat gas air mata yang ditembakkan aparat kepolisian ke arah tribun penonton.
Terdapat lima orang yang ditetapkan sebagai terdakwa atas peristiwa itu, yakni mantan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi, mantan Danki 1 Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan, dan mantan Kabag Ops Polres Malang Kompol Wahyu Setyo Pranoto dari pihak kepolisian, serta Ketua Panitia Pelaksana Arena FC Abdul Haris dan Security Officer Suko Sutrisno.
Namun, AKP Bambang dan Kompol Wahyu divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dalam persidangan yang digelar pada 13 Maret 2023. Alasannya, kedua polisi itu dianggap tidak terbukti melakukan tindakan pidana pasal 359, pasal 360 ayat 1, dan pasal 360 ayat 2 KUHP, sebagaimana tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Hakim Mahkamah Agung (MA) kemudian membatalkan vonis bebas AKP Bambang dan Kompol Wahyu. Di tingkat kasasi, AKP Bambang divonis 2 tahun penjara, sedangkan Kompol Wahyu divonis dua tahun enam bulan penjara.
Sedangkan tiga terdakwa lainnya hanya mendapatkan hukuman penjara dengan waktu yang singkat. Hasdarmawan dan Abdul Haris hanya dihukum penjara masing-masing selama 1 tahun 5 bulan. Sementara Suko Sutrisno dihukum 1 tahun penjara.
Kemudian, MA memperberat hukuman Abdul Haris menjadi 2 tahun penjara. Adapun satu tersangka lainnya dari pihak swasta, yakni Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (LIB) Akhmad Hadian Lukita, hingga saat ini belum diseret ke pengadilan lantaran berkasnya tak kunjung dilengkapi Polda Jawa Timur.