UU Cipta Kerja: Implikasi Regulasi dalam Meningkatkan Kerentanan Buruh Ojol Perempuan

UU Cipta Kerja: Implikasi Regulasi dalam Meningkatkan Kerentanan Buruh Ojol Perempuan

Ojol Perempuan Melakukan Aksi Off Bid di Kementerian Ketenagakerjaan RI karena Minimnya Perlindungan, termasuk di UU Cipta Kerja.
Sejumlah ojol perempun melakukan aksi off bid massal menuntut THR ojol, taksol, dan kurir di depan kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta, 17 Februari 2025. Sumber: Diakronik.com.

Dua tahun lalu, Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU, resmi disahkan.

Bila dilihat dari namanya, dapat diasumsikan beleid tersebut dibuat untuk menciptakan lapangan kerja, sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh rakyat Indonesia. Namun, kalau tujuannya benar demikian, mengapa pengesahan UU ini melewati berbagai rintangan dan penolakan dari masyarakat? 

Pada Oktober 2020, UU Cipta Kerja sebenarnya telah disahkan. Belum genap dua tahun, tepatnya hingga Mei 2022, pengesahan versi lama regulasi ini pun “sukses” membuat 17.000 buruh mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), sebagaimana catatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang dimuat BBC Indonesia.

Semenjak iterasi UU Cipta Kerja, sebagian besar dari buruh yang mengalami PHK menyampaikan tindakan tersebut dilakukan secara sepihak. Hal ini dapat diartikan PHK dilakukan oleh pemberi kerja tanpa adanya diskusi dengan buruh.

Dengan dampak yang signifikan terhadap dunia kerja, maka menjadi wajar apabila masyarakat protes dan melakukan demonstrasi untuk menunjukkan besarnya kekecewaan terhadap pemerintah yang telah memberikan kekuatan pada regulasi yang merugikan hajat hidup orang banyak tersebut.


UU Cipta Kerja dan Gelombang PHK

Advokasi masyarakat tidak hanya di jalanan, tetapi juga berlangsung hingga meja hijau di Mahkamah Konstitusi (MK). Pada 25 November 2021, MK pun mengabulkan sebagian uji formil terhadap UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, dengan menyatakan regulasi tersebut inkonstitusional bersyarat.  

“Menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan’,” ucap Anwar Usman, kala itu masih Ketua MK, saat membacakan putusan.

Ia melanjutkan, “Menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini.”

Beleid kontroversial tersebut kemudian melalui proses “revisi” lewat Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Dan pada 2023, iterasi baru terhadap UU Cipta kerja disahkan. 

Sayangnya, UU ini masih belum dapat merealisasi namanya sendiri. Walaupun dengan nama tersebut UU seharusnya memberi keringanan dan berpihak kepada kaum buruh di Indonesia, nyatanya ia mengandung berbagai aturan yang tidak hanya merugikan buruh secara langsung, melainkan juga memberikan kewenangan lebih kepada perusahaan atau pemberi kerja. 

Kewenangan tersebut tidak digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan buruh melalui peningkatan kondisi kerja, melainkan memberikan perusahaan kesempatan untuk mengeksploitasi buruhnya melalui penghapusan libur panjang wajib dan penegasan aturan terhadap tenaga alih daya yang dapat mengancam sekuritas kerja buruh tetap.

Argumen tersebut merujuk putusan MK pada 31 Oktober 2024 terhadap gugatan UU Cipta Kerja dengan nomor perkara 168/PUU-XXI/2023, sebagaimana dimuat Tempo

Lantas pada 2025, kabar tentang PHK bukan lagi hal yang jarang ditemui. Dari berita yang dipublikasikan Tempo pada Mei lalu, di periode Januari-April 2025, Partai Buruh dan Koalisi Serikat Pekerja mencatat 70.000 buruh mengalami PHK. 

Hal tersebut terjadi karena berbagai faktor, misalnya perusahaan yang mengganti status buruh tetap dengan buruh adi daya yang lebih murah dari segi jaminan sosial dan upah. Dalam industri yang menghasilkan komoditi seperti pabrik, hal ini kemungkinan didorong oleh terjadinya mekanisasi pekerjaan. 

Mekanisasi ini berarti pekerjaan yang sebelumnya dikerjakan oleh manusia, kini dikerjakan mesin, sehingga kebutuhan buruh manusia tidak hanya berkurang, tetapi juga berubah. Demikian merujuk Harry Braverman dalam Labor and Monopoly Capital: The Degradation of Work in the Twentieth Century.

Dengan lain perkataan, manusia yang sebelumnya dibutuhkan dalam proses secara langsung kini hanya menjadi monitor yang mengawasi dan memperbaiki mesin. Kondisi tersebut membuat perusahaan tidak banyak membutuhkan buruh operasional, dan kebutuhan mereka berganti menjadi buruh intelektual, seperti insinyur atau operator. 

Dalam karyanya, Braverman turut membahas dampak mekanisasi terhadap pembagian kerja. Ia menyatakan, dengan pergeseran ini dunia kerja terutama di industri manufaktur, maka kelak akan ada banyak peningkatan buruh intelektual. Akan tetapi, bagaimana nasib para buruh yang digantikan oleh mesin? 

Pada bagian lain dalam buku yang sama, Braverman menjelaskan industri jasa menjadi bagian penting dalam ekonomi karena kecepatan industri tersebut berkembang. Bahkan, ia mengatakan jika “industri jasa lebih unggul dari industri manufaktur” dan industri jasa memiliki masa depan yang lebih cerah darinya. 

Menurutnya, hal tersebut terjadi karena meningkatnya peminat atau jumlah buruh yang bekerja dalam industri jasa. Peningkatan ini berlangsung karena terjadinya penyempitan lapangan kerja di industri lain, sehingga kegagalan yang terjadi di industri produksi dapat memberdayakan industri jasa. 

Merefleksikan pemikiran Braverman dengan kondisi Indonesia saat ini, dengan industri manufaktur yang semakin meningkatkan efisiensi produksinya melalui penggunaan mesin pada setiap tahap produksi, ditambah dengan naiknya industri jasa yang diiringi dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, maka dapat terlihat dunia kerja Indonesia sedang mengalami transisi. 

Buruh yang sebelumnya merupakan bagian dari siklus produksi pabrik terganti oleh sistem yang lebih efisien, sehingga ia terpaksa pergi dan beradaptasi dengan industri jasa. Di Indonesia, salah satu pekerjaan di industri ini yang paling terjangkau bagi banyak orang adalah menjadi pengemudi ojek online atau ojol


Rentan Ojol Perempuan: Potret Dampak UU Cipta Kerja di Tingkat Paling Bawah

Salah satunya adalah Ibu Reni, pengemudi ojol yang saya temui dan pernah mengalami PHK pada 2019, sebelum terjadinya gelombang PHK massal akibat disahkannya UU Cipta kerja pada 2020 dan 2023. Ia sebelumnya bekerja sebagai buruh di suatu pabrik, dan setelah mengalami PHK pada usia 36 tahun, ia tidak memiliki banyak opsi untuk mencari pekerjaan lain. 

Ia menjelaskan, dengan usianya, sulit mendapatkan kerja di manapun, terutama aturan batasan usia melamar kerja yang juga menjadi poin kontroversi di dunia kerja Indonesia. Walaupun begitu, ia tetap membutuhkan uang untuk menafkahi keluarganya, sehingga ia bergeser dan mendaftarkan dirinya sebagai pengemudi ojol. 

Sebagai pengemudi ojol, Ibu Reni bergantung kepada aplikator sebagai penghubung antara dirinya dengan pelanggan. Namun, aplikator tidak selamanya berada di sisinya. Sebagai pengemudi perempuan, ia mengalami berbagai kesulitan dan kendala dalam melakukan pekerjaannya, baik dari aplikator, sesama pengemudi, bahkan pelanggan. 

Secara sosial, karena dirinya merupakan perempuan yang bekerja di lapangan kerja yang didominasi oleh laki-laki, ia menyatakan pernah mengalami pelecehan verbal dari para pengemudi lain.

Contoh pelecehan yang dialami, misalnya menyampaikan jika ia seharusnya di rumah saja sebagai istri dan tidak bekerja, menyetel video porno di dekatnya dengan suara yang besar sehingga ia dapat mendengarnya, dan berbagai tindakan lainnya. 

Pelecehan atau diskriminasi berdasarkan gender ini turut ia rasakan dari penumpang, di mana pesanan yang ia dapat berisiko dibatalkan oleh penumpang lelaki hanya karena ia perempuan. Di sisi lain, bila mereka tidak membatalkan pesanan, Ibu Reni juga berisiko mengalami pelecehan fisik oleh penumpangnya. 

Di luar itu, berdasarkan pengamatannya, ia menjelaskan adanya hubungan eksploitatif antara aplikator dengan pengemudi perempuan. “Perempuan yang tidak bersuami dan tidak bekerja, dia akan lebih mudah dikuasai oleh aplikator,” katanya.

Menurutnya, aplikator mengetahui potensi eksploitasi tersebut. Hal ini ia lihat dari narasi yang digunakan untuk membujuk perempuan menjadi mitra mereka. 

“Aplikator bernarasi bahwa mereka adalah pahlawan yang menghidupi perempuan tidak bersuami agar bisa menyekolahkan anaknya tanpa meninggalkan keluarga, padahal mereka sedang diberikan upah murah,” ucap Ibu Reni. 

Upah murah yang ia maksud merupakan pesanan dengan upah yang sangat kecil—sebesar Rp5.000 atau Rp6.000 per pesanan. Pesanan-pesanan tersebut lebih sering diterima oleh pengemudi perempuan dibandingkan pengemudi laki-laki karena mereka merasa terpaksa; upah kecil lebih baik daripada tidak menerima sama sekali. 

Pengalaman dan hambatan yang dirasakan Ibu Reni ini tidak berlaku kepada dirinya saja, melainkan juga ribuan buruh lain. Pasalnya, ribuan buruh yang mengalami PHK setelah UU Cipta Kerja dan tidak mendapatkan pekerjaan formal kemudian memilih menjadi pengemudi ojol. 

Dari ribuan orang tersebut, perempuan yang memilih pekerjaan ini harus bekerja di bawah kondisi eksploitatif yang seakan-akan menjadi “bagian” dari ekosistem pengemudi ojol. Kondisi ini belum ditambah dengan aspek sosial di Indonesia yang meletakkan perempuan pada posisi rentan. 

Ojol perempuan tidak hanya bekerja di bawah kondisi tersebut, mereka juga harus membagikan waktu dengan beban ganda yang dimilikinya, baik sebagai ibu, istri, maupun beban ganda lain yang menurut “norma sosial” hanya diserahkan pada perempuan. 

Norma ini juga mengganggu performa mereka. Sebab, sebagai perempuan, mereka dapat mengalami risiko pembatalan pesanan karena penumpang yang tidak percaya atau tidak ingin diantar jemput oleh perempuan. 

Ojol perempuan juga belum aman karena, sebagaimana disampaikan sebelumnya, mereka rentan menjadi korban pelecehan seksual, baik di tempat perkumpulan ojol oleh pengemudi lain, pelanggan saat berada di jalan, hingga di rumah tatkala mereka dikatakan seharusnya tidak bekerja. 

Di sisi lain, banyaknya orang menjadi pengemudi ojol pun sejalan dengan apa yang dikatakan Braverman mengenai buruh jasa, di mana sebagian besar dari mereka bekerja di industri ini karena menurunnya lapangan kerja di industri lain dengan indikasi maraknya PHK. Dalam kasus Ibu Reni, industri tersebut adalah industri produksi. 

Ibu Reni pun menjadi ojol karena melihat banyak orang yang berada di situasi serupa dengannya memilih pekerjaan tersebut. Namun, perpindahan dari industri yang melemah ke industri yang berkembang tidaklah mudah. 

Dari kasus Ibu Reni, kita menjadi tahu bahwa ia masih harus mengalami segala bentuk diskriminasi dari segala arah. Kondisi tersebut potensial pula dialami buruh ojol perempuan lain yang menjadi ojol karena mengalami PHK setelah pemberlakukan UU Cipta kerja.

Syahdan, kita pun tiba pada satu simpul: bahwa tanpa adanya regulasi atau peraturan yang melindungi buruh, eksploitasi terhadap buruh akan ada di industri apa pun!

Kawan Redaksi

Editor: Akbar Ridwan

ARTIKEL LAINNYA

Share

Temukan Artikel Anda!