Petani di Desa Cisarua, Desa Curugbitung, dan Desa Nanggung, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, terancam kehilangan tanah yang sudah mereka garap sejak 1997. Pasalnya, PT Hevea Indonesia tengah berupaya memperpanjang izin Hak Guna Usaha (HGU) di atas tanah yang telah mereka telantarkan selama bertahun-tahun itu.
Duduk perkara konflik agraria yang melibatkan 1.460 kepala keluarga ini, setidaknya dapat ditelusuri sejak 1980-an. Kronologis yang disusun Perkumpulan Petani Aliansi Masyarakat Nanggung Transformatif (Amanat), menyampaikan tanah di tiga desa itu merupakan bekas tanah perkebunan kolonial atau erfpacht yang diredistribusi Gubernur Daerah Tingkat I Jawa Barat pada 5 September 1983.
Namun, pada 8 Juli 1988, tanah seluas 310,783 hektare ini dikonversi menjadi HGU atas nama PT Cengkeh Zanzibar dengan masa berlaku hingga 31 Desember 2013. Dalam perkembangannya, kepemilikan HGU beralih kepada PT Hevea Indonesia melalui mekanisme jual beli.
Di sisi lain, masyarakat mulai berladang pada lahan HGU PT Hevea Indonesia sejak 1997. Saat itu, lahan tersebut sudah ditelantarkan.
“(Pada) 1997, masyarakat mulai berladang pada lahan HGU PT Hevea Indonesia yang kala itu sudah ditelantarkan dan menjadi semak belukar sekalipun masih terdapat sebagian pohon karet yang tidak terurus,” demikian Perkumpulan Petani Amanat dalam draf Kronologi Perjuangan Hak atas Tanah, diterima pada Senin (6/5/2024).
Berselang 13 tahun atau pada 15 September 2010, PT Hevea Indonesia kembali melirik tanah di tiga desa itu. Diketahui, perusahaan mengajukan permohonan perpanjangan HGU kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan total luas yang diajukan 310,783 hektare. Hal ini dilakukan setelah bupati Bogor menerbitkan Surat Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B) kepada perusahaan tersebut satu bulan sebelumnya.
Berbekal Surat IUP-B itu, PT Hevea Indonesia lantas mulai melakukan landclearing pada Juni 2011 dengan membasmi sisa tanaman karet, ladang milik petani, ternak, dan segala sesuatu di atas lahan HGU-nya untuk persiapan penanaman kelapa sawit.
“Kegiatan sepihak ini menimbulkan reaksi keras dari petani. Sejumlah kerusuhan pun terjadi di ladang antara petani penggarap dan pekerja perkebunan,” ungkap Perkumpulan Petani Amanat.
Konflik antara Perkumpulan Petani Amanat dengan PT Hevea Indonesia semakin memanas. Bahkan, bentrok fisik kerap terjadi saat PT Hevea Indonesia melakukan pembasmian lahan garapan pada 2012. Lahan yang sudah dibersihkan itu kemudian ditanami kelapa sawit.
Berbagai audiensi pun digelar Kantor Pertanahan Bogor dan pihak terkait lainnya sejak 2012. Perkumpulan Petani Amanat juga telah melayangkan aduan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) agar Kantor Wilayah BPN Jawa Barat menghentikan proses perpanjangan HGU PT Hevea Indonesia.
Namun hingga saat ini, penerbitan HGU untuk PT Hevea Indonesia masih terus diupayakan oleh Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) bersama Pemerintah Kabupaten Bogor. Di sisi lain, para penggarap yang tergabung dalam Perkumpulan Petani Amanat tetap menolak alokasi untuk penerbitan HGU baru karena lahan tersebut telah menjadi ruang hidup masyarakat.
“Di samping itu, PT Hevea Indonesia sudah tidak menguasai lahan dan menjalankan usaha perkebunannya, sehingga dinilai sudah tidak memiliki dasar hukum untuk memperpanjang atau memperbaharui HGU-nya,” tulis Perkumpulan Petani Amanat.
Karut Marut Konsesi Tanah Eks Kolonial di Masa Kini
Proses pemisahan petani dari tanahnya, seperti dihadapi oleh petani di Kecamatan Nanggung saat ini, dianggap mirip dengan sistem ekonomi kolonial. Dalam kasus ini, pemerintah Indonesia justru memberikan konsesi tanah kepada perusahaan alih-alih petani.
Menurut akademisi sosiologi pedesaan Institut Pertanian Bogor (IPB) Satyawan Sunito, tanah-tanah erfpacht di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Kecamatan Nanggung, memiliki masa konsesi sejak era kolonialisme Belanda selama 75 tahun. Akan tetapi, ketika izin berlakunya habis, pemerintah Indonesia justru memberikan perpanjangan masa konsesi kepada perusahaan.
“Perkebunan-perkebunan (eks Belanda) sebetulnya tahun-tahun 1990-an itu sudah berakhir konsesinya karena 75 tahun. Tetapi oleh Republik ini, kemudian sistem perkembangan itu, yang sebetulnya tipikal sekali sistem ekonomi kolonial, kemudian diteruskan sebagai salah satu sektor ekonomi yang penting sekali oleh Indonesia, oleh Republik ini,” kata Satyawan saat ditemui di Bogor, Jawa Barat, Senin (6/5/2024).
“Artinya tanah-tanah itu kemudian bukan kembali ke penduduk-penduduk desa, di mana tanah-tanah itu berada setelah selesai (konsesinya). Tetapi kemudian dikonsesikan kembali oleh pemerintah Indonesia kepada perusahaan-perusahaan, antara lain bekas-bekas perusahaan asing itu juga ke perusahaan-perusahaan nasional,” sambungnya.
Akibatnya, kata Satyawan, tanah-tanah eks perkebunan Belanda yang habis masa konsesinya tidak pernah kembali kepada petani lokal. Anggota Dewan Pembina Sajogyo Institute ini mengatakan, pemerintah Indonesia justru memberikan akses kepada perusahaan untuk mengajukan perpanjangan atau memperbaharui HGU di tanah tersebut.
Menurutnya, luas tanah untuk pertanian di Indonesia sudah sedemikian menipis karena telah dibagi-bagi untuk kepentingan administrasi desa. Hal itu semakin diperparah karena perusahaan diberikan kemudahan untuk memperpanjang ataupun memperbaharui HGU di tanah tersebut.
“Indonesia itu kan habis dibagi desa, batas-batas administrasi desa, dan di banyak daerah, terutama yang berbukit-bukit, bergunung-gunung, mungkin 40% lebih dari daerah administrasi desa itu masuk kawasan hutan, bisa hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi,” jelas Satyawan.
“Sisanya itu kemudian daerah desa itu yang bisa dimanfaatkan. Tapi daerah desa yang bisa dimanfaatkan untuk pertanian juga enggak terlalu banyak dan sebagian itu kemudian dikuasai juga oleh HGU-HGU tersebut, sehingga yang tersisa bagi petani itu tidak banyak,” imbuhnya.
Satyawan menuturkan, kondisi tersebut lantas memaksa petani untuk mencari pekerjaan di kota dengan kemampuan yang terbatas. Bahkan, lanjutnya, tak sedikit warga desa yang memutuskan untuk menjadi tenaga kerja di luar negeri.
“Anda bisa bayangkan ibu-ibu, anak-anak perempuan yang kemudian harus pergi ke tempat-tempat jauh seperti ke timur tengah untuk mencari sesuap nasi itu karena di tempatnya sendiri enggak tersedia sumber penghidupan yang baik. Itu yang menjadi masalah yang di mana-mana kemudian menjadi konflik,” terang mantan Kepala Pusat Studi Agraria IPB itu.
Alih-alih memanfaatkan tanah yang dikuasainya, perusahaan justru menelantarkannya begitu saja. Menurut Satyawan, penelantaran ini karena perusahaan tidak mampu membiayai operasional usahanya, termasuk untuk membayar upah buruhnya.
“Coba bayangkan, perkebunan yang seperti PT Hevea Indonesia ini, 200 hektare mau ditanami sawit. Apa yang akan dihasilkan dari sawit sebesar 200 hektare di daerah yang agak bergunung-gunung di Nanggung, tapi ngotot sekali dia (PT Hevea Indonesia) pertahankan,” tuturnya.
Selain karena kekurangan biaya operasional, lanjut Satyawan, pertimbangan PT Hevea Indonesia untuk kembali memperpanjang HGU-nya adalah spekulasi harga tanah di Kecamatan Nanggung, mengingat letaknya yang tak jauh dari Jakarta. Sebab, lanjutnya, hampir semua usaha perkebunan besar di Jawa Barat justru gagal dan pada akhirnya ditelantarkan.
Alhasil, Satyawan menuturkan, pihak perusahaan justru membangun usaha yang tidak sesuai dengan HGU-nya, misalnya tempat wisata.
“Karena itu mereka ngotot sekali mempertahankan dan dengan kontak-kontak mereka di atas dan sebagainya, mereka sampai sekarang berhasil mempertahankan, walaupun terlantar dan walaupun petani-petani di desa-desa itu eggak punya tanah. Jadi kriminal banget,” tegas Satyawan.
Di sisi lain, petani selalu membutuhkan tanah. Ia menegaskan, sejatinya tanah untuk petani. Menurutnya, menelantarkan tanah sementara para petani membutuhkannya adalah tindakan kriminal.
“Dan seringkali pendudukan (tanah) itu didukung oleh perangkat desa, oleh kepala desa, dan sebagainya karena mereka sadar bahwa petani-petani membutuhkan tanah selagi tanah itu ditelantarkan begitu saja,” tegas Satyawan.
Sementara itu, Satyawan menyebut pemerintah daerah (pemda) pun memiliki kesamaan kepentingan dengan PT Hevea Indonesia. Mantan Dosen Fakultas Ekologi Manusia IPB ini, menduga ada transaksi timbal balik antara pemda dengan perusahaan tersebut.
“Kepentingan dari pemda yang mungkin diuntungkan kalau ada pemodal besar nongkrong di situ, kan bisa ‘diporotin’ apa saja kalau pemda perlu duit, kalau bupatinya sendiri perlu duit, atau apa segala macam, mereka bisa ketok kan ‘lu bales jasa dong’. Jadi ada kesamaan kepentingan,” tutur Satyawan.