Sebanyak 26 buruh PT Graha Fortuna Purnama yang tergabung dalam Serikat Buruh Bersatu, Federasi Serikat Buruh Karya Utama (SBB-FSBKU) melakukan aksi massa di depan pabrik, Senin, 22 Juli 2024, di Kota Tangerang, Banten. Aksi tersebut merupakan bentuk protes terhadap surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) alias pemecatan, yang dikeluarkan secara sepihak oleh manajemen perusahaan PT Graha Fortuna Purnama.
Kabar terkait pemecatan tersebut diterima oleh para buruh melalui surat PHK, yang disampaikan oleh pihak manajemen perusahaan pada 20 Juli 2024. Pengurus Pusat FSBKU, Zaenal Rusli, menduga pemecatan sepihak tersebut merupakan imbas dari penolakan serikat buruh terhadap perubahan kontrak kerja yang akan dilakukan oleh manajemen perusahaan.
“Iya, kawan-kawan tidak bersepakat atas tawaran yang diberikan oleh manajemen perusahaan, dan puncaknya kawan-kawan diberikan surat PHK,” ujarnya.
Beberapa bulan sebelumnya, PT Graha Fortuna Purnama melalui kuasa hukumnya, Kurais dan Debora Lumban Raja menyampaikan, manajemen perusahaan akan mengubah status kerja para buruh yang semula buruh tetap menjadi kontrak.
Zaenal Rusli menilai perubahan status kerja yang dilakukan oleh manajemen tidak disertai alasan yang jelas.
“Enggak ada alasan yang jelas mengenai perubahan status kerja tersebut,” imbuhnya.
Senada dengan Zaenal Rusli, salah seorang buruh yang juga menjadi korban pemecatan, yakni Subarja, mengatakan pihak perusahaan melalui kuasa hukumnya hanya memberikan informasi yang terbatas.
“Enggak ada alasan yang jelas. Perusahaan lewat pengacaranya cuma menjelaskan begitu, bahwa karyawan tetap akan diubah menjadi status kontrak aja,” ucap Subarja, bukan nama sebenarnya, ketika dihubungi oleh jurnalis Diakronik melalui sambungan telepon.
Tetap Dipecat Meski Telah Beberapa Kali Bipartit
Sebelumnya, para pengurus serikat buruh telah melakukan beberapa kali perundingan bipartit dengan pihak manajemen perusahaan. Perundingan telah berlangsung sebanyak lima kali selama dua bulan.
Dalam perundingan tersebut para buruh menolak praktik pemecatan sepihak dengan disertai pembayaran uang pesangon yang murah.
“Manajemen perusahaan menawarkan uang pesangon sebesar Rp 15 juta, yang kemudian bertambah menjadi Rp 20 juta, dan tawaran terakhir sebesar Rp 25 juta per orang,” ucap Subarja.
Bagi para buruh, pemberian uang pesangon yang tidak sesuai dengan ketentuan masa kerja merupakan bentuk pelanggaran hukum perburuhan. Lantaran, para buruh telah bekerja selama puluhan tahun di perusahaan tersebut.
“Jelas ini tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Sebab masa kerja para buruh sudah 20 hingga 40 tahun,” tegas Zaenal Rusli.
Selain itu, manajemen juga menawarkan kesempatan untuk bekerja kembali kepada para buruh korban pemecatan, namun dengan status perjanjian kerja baru menjadi kontrak (PKWT). Padahal, para buruh semula bekerja dengan status Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) alias buruh tetap.
Alih-alih menunggu tercapainya kesepakatan dalam perundingan bipartit, kuasa hukum PT Graha Fortuna Purnama justru mengirimkan surat pemecatan yang ditujukan kepada 26 buruh. Alasan pemecatan karena perusahaan mengalami kerugian selama dua tahun berturut-turut.
“Bahwa sehubungan dengan perusahaan mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut, maka PT Graha Fortuna Purnama melakukan Pemutusan Hubungan Kerja kepada karyawan, sejak tanggal 21 Juli 2024,” tulis manajemen PT Graha Fortuna Purnama dalam surat pemecatan.
Ironisnya, tiga hari setelah pengiriman surat pemecatan sepihak, manajemen perusahaan membuka lowongan kerja untuk posisi FRP Laminator sebanyak 10 orang pada 23 Juli 2024.
Tidak Ada Bukti Perusahaan Merugi
Tanpa tedeng aling-aling manajemen perusahaan mengklaim rugi. Para buruh menilai, alasan tersebut digunakan oleh manajemen perusahaan untuk memecat puluhan buruhnya. Pasalnya, perusahaan yang memproduksi tangki penyimpanan air dan pipa air ini, tidak pernah memberikan laporan keuangan hasil audit oleh akuntan publik atas kerugian yang dialaminya.
“Itu dia, kenapa dalam surat PHK ada keterangan merugi, sedangkan pihak perusahaan belum bisa menunjukkan untuk pembuktiannya,” ujar Subarja.
Zaenal Rusli menganggap, bahwa klaim kerugian selama dua tahun yang dialami oleh perusahaan merupakan alasan yang tidak masuk akal. Sebab, perusahaan yang telah berdiri sejak 1971 ini, mampu menjual hasil produksinya hingga miliar rupiah. Padahal, dalam satu hari, perusahaan hanya membayar upah buruhnya sebesar Rp 80 ribu.
Di sisi lain, Rusli juga menilai sejak UU Cipta Kerja atau Perpu No. 2 Tahun 2022 disahkan, fenomena PHK massal marak terjadi. Hal ini tidak terlepas dari hilangnya Pasal 164 ayat 1 dalam UU No. 13 Tahun 2003 sebagai syarat pembuktian kerugian. Sehingga, pengusaha lebih mudah untuk melakukan pemecatan sepihak.
Dalam Pasal 164 Ayat 1 mengatakan, “Bahwa perusahaan yang melakukan pemutusan hubungan kerja kepada buruhnya dengan alasan mengalami kerugian, harus menyertakan bukti laporan keuangan selama 2 tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.”
Atas dikeluarkannya surat pemecatan tersebut, para buruh kemudian melakukan aksi massa di depan pabrik pada Senin, 22 Juli 2024. Para buruh membentangkan berbagai poster tuntutan yang menolak pemutusan hubungan kerja secara sepihak.
“Dengan ini, kami mengambil sikap menolak PHK yang dilakukan perusahaan dan melawan sampai tuntutan-tuntutan kami dipenuhi dan menyelesaikan utang upah lembur yang belum dibayarkan,” terangnya.
Dalam aksi tersebut, para buruh juga menyoroti permasalahan lain yang terjadi di lingkungan kerja PT Graha Fortuna Purnama.
“Bahwa masalah PHK sepihak bukanlah satu-satunya permasalahan. Permasalahan lainnya tersebut meliputi upah lembur yang belum dibayar oleh perusahaan, keselamatan dan kesehatan kerja yang buruk, serta berbagai penyakit yang timbul akibat dari ketidaklayakan fasilitas K3,” tulis dalam siaran pers FSBKU yang diterima oleh Diakronik pada 23 Juli 2024.